WA 28

20.6K 2.4K 119
                                    

"Assalamualaikum," Salam itu terdengar ke belakang rumah. Fatmah yang baru saja memasang popok anaknya lengsung menegakkan tubuh seolah ingin memastikan bahwa suara itu adalah milik anak pertamanya.

"Assalamualaikum," salam itu terulang lagi, namun dengan jarak lebih dekat.

"Wa'alaikumussalam," Jawab Fatmah seraya sebelah tangannya memegang tuas pintu. Senyumnya melebar melihat Serena berdiri di depannya sekarang. Meski tidak terbilang jarang datang, namun rindu terhadap anaknya kian besar.

"Umi," Ucap Serena pelan sambil menjatuhkan diri dalam pelukan wanita yang penuh kehangatan itu. "Kangen." Bisiknya sambil sesugukan.

Tak ubahnya dengan Serena, Fatmah pun meneteskan air mata. Ia masih tidak percaya, putri cantiknya kini sudah dewasa, bahkan telah berumah tangga. "Umi juga kangen, nak. Gimana kabar kamu, sayang?" Tanya Fatmah melepaskan pelukan kemudian mencium kedua pipi anaknya.

"Alhamdulillah, baik. Umi dan Abi, bagaimana? Dedek gimana?"

"Alhamdulillah, kami baik, sayang. Itu dedeknya baru habis mandi."

Serena mengikuti Fatmah mendekat kepada Alif yang terbaring di atas ranjang. Bayi laki-laki itu semakin hari, semakin menggemaskan.

"Ini kamu versi laki-laki, Re." Kata Fatmah melanjutkan memasang pakaian kepada putranya. "Umi dan Abi cuma kebagian...." Fatmah bingung mencari apa yang mirip dari Alif dengan dirinya.

Serena langsung mencium pipit Fatmah, kemudian beralih pada Alif yang nampak menggerakkan tangan tak tentu.

"MasyaAllah, adiknya mbak semakin besar, ya." Tak tinggal diam Serena segera melantunkan sholawat sementara ia berusaha meraih bayi tersebut.

"Alif kalau sama mbak saja nggak rewel, sama Umi, MasyaAllah manjanya."

"Umi, Alif boleh Rena culik?" Tanya Serena dengan wajah polosnya. "Tapi umi jangan lapor polisi." Sambungnya cepat.

Fatmah bukannya menjawab, justru perempuan tersebut menggeleng-gelengkan kepala. "Oh iya, Re, kamu beneran tidak ada ngidam apapun, nak? Ingin makan apa gitu?"

Serena menggeleng, "belum ada, mi." Jawab Serena. "Tapi kalau selalu ingin dekat dengan Mas Rehan itu termasuk ngidam, berarti aku sudah ngidam dari dariiii kemarin." Seru Serena dengan wajah sedikit memerah malu.

Fatmah yang tak bisa menahan tawanya, akhirnya p3cah begitu saja. Serena tetaplah Serena--si polos yang untuk membuatnya bersedih saja harus berpikir ribuan kali. Lalu bagaimana mungkin....Fatmah dengan cepat menggeleng, menepis pikiran-pikiran burung yang hendak hinggap di kepalanya. Toh semuanya sudah berlalu, toh semua akan terbuang seiring dengan berjalannya waktu. Meski tidak bisa memperbaiki retak yang terlanjur ada, setidaknya sekarang baik-baik saja, bukan? Anaknya, keluarganya, tidak ada yang berubah. Serena tetaplah Serenanya.

"Umi," panggil Serena sambil melambaikan tangan di depan wajah Fatmah.

"Eh,... i...iya, nak." Fatmah gelagapan karena kedapatan melamun.

"Umi mikirin apa? Jangan ngelamun kayak gitu ah, mi. Umi ada masalah?" Tanya Serena kecil. Raut wajahnya berubah khawatir. Namun senyum hangat Fatmah menepis segalanya.

"Nggak, sayang. Umi hanya bahagia, bahagia sekali karena Serena tetap menjadi Serenanya Umi." Kata Fatmah seraya tangannya mengusap lembut di kepala Serena.

***

Malam semakin larut, namun mata Serena tak kunjung terpejam. Sedikit sesal dalam hatinya karena mengakhiri telepon dari sang suami tercinta. Namun di sisi lain, ia menginginkan agar suaminya dapat istirahat dengan cukup. Ponsel masih ia genggam, bingung antara kembali menghubungi atau akan ia biarkan saja rindu itu menumpuk.

Tak lama suara ponselnya memecahkan keheningan. Serena langsung melihat nama si penelpon, senyumnya merekah bahagia. Tanpa menunggu apapun lagi segera ia menjawab,

"Assalamualaikum, Mas." Salamnya.

"Wa'alaikumussalam, Istrinya Mas. Kok yang terlihat telinga sih, yang?"

Serena langsung melihat layar, ada suaminya di seberang sana dengan kaos putih oblong. Ia baru tersadar jika mereka sedang video call bukan telepon biasa. Serena hanya menyengir kuda sedikit malu.

"Istrinya Mas kenapa belum tidur?" Tanya Rehan.

"Kangen Mas." Serena sedikit menundukkan kepala, ia takut Rehan akan menyalahkannya sekalipun ia tahu hal itu adalah kesalahannya.

Beberapa detik terdiam sampai Serena melihat kembali ke layar. Ia pikir suaminya akan marah, namun yang teelihat adalah senyum hangat dan tulus dari Rehan. Jika tidak salah menebak, ada kerinduan di mata suaminya yang semakin menambah sesal dalam diri Serena.

"Sampai kapan mau nunduk terus?" Tanya Rehan lembut.

Mata Serena berkaca-kaca menahan tangisnya agar tidak pecah. Akhir-akhir ini ia sedikit lebih sensitif.

"Sini, coba liat Mas." Pinta Rehan sangat lembut, seolah jika ia berkata sedikit keras saja Serena akan pecah. Perlahan serena mengangkat kepalanya, melihat Rehan yang tetap tersenyum hangat.

"Mbak istri mau dibawain apa nanti?" Tanya Rehan berharap Serena memiliki sesuatu yang diinginkan.

"Mau Mas aja. Mas pulang dengan selamat dan bisa peluk Serena aja udah sangat lebih dari cukup." Jawab Serena spontan yang membuat pipinya bersemu merah.

"Kangen banget, ya, yang?" Tanya Rehan sambil terkekeh. Serena mencebikkan bibirnya, kalau sudah seperti ini Rehan senang sekali menjahilinya. Untung cinta!

"Mas kenapa belum istirahat?" Tanya Serena.

"Masih rindu sama istrinya mas ini...." Akhirnya obrolan mereka mengalir membahas berbagai hal. Hingga Serena terlelap dan tak sadar jika Rehan masih menatapnya dari seberang sana. Jika saja pekerjaannya dapat di selesaikan hari ini, ia tentu tidak akan membuang waktunya untuk sekedar istirahat di negara orang tanpa istrinya.

***

Langit sudah kembali cerah, matahari bahkan bersinar ceria. Lain halnya dengan seorang perempuan justru terlihat lesu saat keluar dari kamarnya. Nyatanya bicara menggunakan telepon dengan suaminya selama berjam-jam tidak dapat memuaskan rasa rindunya yang sudah sangat membuncah.

Ia menarik nafas panjang da berjalan lesu menuju halaman belakang rumah. Di sana sudah ada Umi dan Abinya, ada juga Ghea yang sedang menggendong Alif  padahal sudah rapi dan bersiap ke kantor.

"Aii, sini nak, sama mbak." Katanya sambil mengulurkan tangan mengambil alih si bayi yang sumringah. Tak ada penolakan dari bayi tersebut, justru menggerak-gerakkan badan karena senang.

"Padahal jarang ketemu, bisa akrab ini." Ujar Ghea yang merasa tak terima.

"Iya dong, karena Aii tau mana yang jomss, mana yang ngga. Ya, kan, adiknya mbak?" Tanya Serena retorik sambil mencium pipi gembul Alif.

Sementara itu, Fatmah dan Tariq tertawa mengejek Ghea yang sudah memelototkan mata kepada Serena. Si polos tersebut tak merasa bersalah sama sekali.

"Nanti makan malam di luar, ya anak-anak," Fatmah berujar penuh semangat.

"Mau!" Teriak Ghea girang. Kontras dengan jawaban Serena cenderung kalem.

"Boleh, Umi."

***

Hehe

Apa kabar kalian?
Nanti kita update lagi ya.. ❤❤❤

WEDDING ArtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang