"Sakit?"
"Aku nggak apa - apa."
"Gak apa - apa gimana. Ini berdarah dan kamu masih bilang nggak apa - apa?"
"Cuma luka kecil. Nanti juga sembuh. Kamu gak perlu harus sampai datang kesini."
"Ck, bisa diem gak?"
Lily seketika bungkam.
"Aku senang dengan kemandirian kamu. Cara berfikir kamu. Sikap kamu yang selalu gak mau merepotkan orang lain. Tapi ini aku. Calon suami kamu. Tolong libatkan aku juga dalam setiap moment yang terjadi dalam hidup kamu. Karena bahagiamu bahagiaku. Sebaliknya, sakitmu juga sakitku. Paham?"
Lily mengangguk seperti anak SD yang ditanya oleh gurunya setelah dijelaskan panjang lebar tentang pelajaran.
"Tapi aku beneran ... "
"Ck, bandel ya. Bisa gak sekali aja pas ditanya kamu jawabnya jangan selalu bilang aku gak apa - apa, aku gak apa - apa. Bosen dengernya."
"Ya kan emang beneran gak kenapa - napa,"Lily menciut selah Zio melempar tatapan tajam seperti siap akan menerkamnya.
"Zio?"
"Hm,"
"Menurut kamu yang bisa memisahkan dua orang yang saling mencintai itu apa? Maut?"
Zio menggeleng setelah diam cukup lama.
"Bukan ya? Terus apa?"
"Nggak ada. Bahkan kematian sekalipun gak akan bisa memisahkan aku dan kamu."
Lily mencibir. "Bohong."
"Kematian itu hanya memisahkan raga kita, sayang. Tapi cinta itu akan tetap ada disini,"Zio menyentuh dada sambil tersenyum manis pada Lily.
"Kamu ... Kenapa bisa cinta sama aku? Sejak kapan?"
"Aku bingung mau kasih alasan seperti apa. Yang aku tahu, cinta itu gak butuh alasan. Karena cinta bukan sebuah alasan. Kamu itu ... "Zio menangkup pipi Lily dengan kedua tangannya. Dipandanginya lekat wajah perempuan yang disayanginya itu dengan segenap jiwa.
"Lihat, dekat seperti ini saja aku masih merasa rindu. Dan kamu masih bertanya alasanku mencintai kamu?"
"Sini, duduk diatas. Sudah selesai kan ngobatin kaki aku."
"Kamu itu adalah sebab yang tidak butuh mengapa. Jadi tidak perlu repot bertanya kenapa aku bisa cinta sama kamu. Kenapa aku bahagia."
Lily menyentuh tangan Zio. Menariknya untuk duduk disebelahnya. Lalu tanpa malu, Lily menyandarkan kepala dibahu lelaki yang baru saja menggombalinya dengan kalimat yang membuat degup jantungnya berdetak cepat.
"Jangan selalu menggombal. Aku gak terbiasa digituin. Mual rasanya."
"Sekarang harus terbiasa. Diralat sayang. Bukan menggombal itu hanya salah satu bentuk ungkapan rasa sayangku buat kamu. Kalau nggak diungkapkan takut kadaluarsa. Kasihan, malah jadi penyakit nanti disini,"Zio menarik tangan Lily ke dadanya.
Lily mengangkat wajah. Tertawa geli melihat Zio pura - pura memasang wajah seperti orang sedang kehabisan nafas.
"Sudah makan malam?"
Lily mengangguk.
"Shift malam lagi?"tanya Zio setelah melirik jam dipergelangan tangan.
Lily kembali mengangguk. "Kamu tahu kan kalau Lara punya penyakit jantung?"
"Ya. Sama seperti Ibu."
"Beda. Penyakit jantung Lara adalah penyakit jantung bawaan. Awalnya ringan dan bisa diatasi dengan pemeriksaan rutin. Tapi setelah kejadian Lara tenggelem karena aku, penyakitnya berubah jadi serius."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lily (End)
Random"Apa yang dipersatukan Tuhan tidak akan bisa dipisahkan manusia" - Zio Akbar Syahputra - "Kamu tahu dengan siapa aku ingin menjalani sisa hidupku?" - Lily Anandita . A - "Cobalah bertanya pada takdir, siapa yang akan menjemputmu terlebih dulu? Jodoh...