28. Arti Cinta (1)

423 46 14
                                    

Zio baru saja memejamkan mata ketika ponselnya berdering. Awalnya ia kira hanya telfon iseng. Tapi mendengar ringtone ponselnya terus berdering, mengusik lelap yang baru saja dirasa, Zio memukul bantal kesal. Tangannya meraba mencari keberadaan benda pipih yang entah berada dimana.

Lagian tidak tahu diri sekali menelfon orang ditengah malam seperti ini. Mana pekerjaan masih menumpuk.

"Siapa sih telfon malam - malam begini?! Gak ada kerjaan ganggu orang tid-..."

Melihat nama Ibu tertera di layar ponsel, dumelan Zio berhenti sampai di tenggorokan.

Zio menekan tombol hijau. Menjawab salam Ibu dengan suara lemah tidak bertenaga.

"Ya, Bu? Ada apa?"

"Zio, kamu tidur, nak?"

"Hm,"

"Ini, Ibu jadi kepikiran sampai gak bisa tidur. Tadi kamu bilang kalau Lily mau kerumah. Ibu tungguin sampai jam segini belum datang juga. Hapenya juga mati. Ibu kepikiran."

Zio beringsut bangun. Jam berapa ini. Diliriknya laptop yang masih menyala dengan kertas berserakan diatas kasur. Kalau disini jam satu pagi, berarti disana masih jam dua belas malam.

"Lily sudah sempat telfon, Ibu?"Zio menguap lebar. Kantuk benar - benar sudah menguasai.

"Tadi cuma kirim pesan. Katanya mau pulang sebentar terus langsung mau kesini. Ibu tawari supaya dijemput sopir gak mau. Sampai sekarang belum ada kabar lagi. Perasaan Ibu jadi gak enak."

"Ah, Ibu kan perasaannya memang selalu begitu. Dikit - dikin gak enak,"Zio meneguk air digelas atas nakas.

"Kamu ini malah ledekin orang tua. Ibu juga ngerasa aneh. Gak biasanya kepikiran sampai kayak gini. Mending kamu coba cari tahu Lily ada dimana. Kalau nomer Lily tetap gak bisa dihubungi, telfon teman kerjanya atau siapa saja yang bisa kamu tanyakan soal Lily."

Zio tersenyum. Mengacak rambut dan kembali merebahkan tubuh dikasur. "Duh, segitu khawatirnya sama mantu karena gak ngasih kabar. Anaknya pergi keluar kota malah gak dikhawatirin sama sekali. Gak ada telfon masuk, gak ada Whatssap, gak ada ..."

"Kamu sendiri ngabari Ibu pas sampai disana? Nggak kan. Ya udah jangan protes."

Zio mencibir. Iya deh iya, kalau berurusan dengan Ibu Negara mending di iyain aja.

"Jangan lupa nanti hubungi Ibu kalau sudah dapat kabar dari Lily. Oke my soon?"

"Iyaaa. Udah Ibu sana pergi tidur. Jangan sampai penyakitnya kambuh gara - gara banyak pikiran. Lily pasti baik - baik saja."

Ibu mendesah resah lalu menutup telfon dengan ucalan salam.

[Kamu dimana sayang?]

Centang satu. Terakhir dilihat pukul 19. 55 menit. Pesan yang dikirimnya tadi pun hanya di read.

Zio mendial nomer Lily. Tidak aktif. Sekali lagi, tetap tidak aktif. Kecemasan Ibu mulai menular padanya.

Tidak biasanya Lily seperti ini. Ponselnya tidak pernah mati karena panggilan darurat dari rumah sakit bisa memanggilnya kapan saja.

Dulu Zio memang sering dicuekin. Tapi kasusnya bukan karena ponsel Lily yang dinonaktifkan melainkan sengaja mengabaikan semua panggilan dan pesan - pesan Zio.

Itu dulu. Sekarang beda cerita. Satu panggilan terlewat maka siap - siap saja Lily harus menyetor satu ciuman padanya. Satu jam pesan Zio tidak direspon, Lily harus menyetor double.

Sekarang sudah lima jam berlalu sejak terakhir Zio mengirim pesan. Berarti nanti dia akan dapat ... Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembi ...

Lily (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang