15. Marah (2)

328 47 9
                                    

Selamat weekend😊
Hepi riding ya🤗

"Ayo bangun, sarapan dulu,"Debby menarik selimut yang menutupi sekujur tubuh Lily. "Abis itu kompres muka lo pakai es batu. Bangun dulu,"Debby kembali menarik selimut Lily karena sepertinya penghuni didalam selimut itu enggan untuk menampakkan wajahnya.

"Bener - bener ya emmak lo itu, gak berprikemanusiaan sama sekali,"Debby menyendok sedikit nasi goreng dan memasukkannya kedalam mulut. "Lebih - lebih si Rafel itu, ugh biadab,"Debby menggeram sambil menggigit ujung sendok.

"Kita lapor polisi aja deh, beb. Lo korban dari kdrt dan tindakan asusila. Biar pada dipenjara tuh orang berdua. Heran gue, gak punya hati banget jadi manusia."

"Kamu berangkat kerja sana cepetan. Aku ijin gak masuk hari ini,"suara parau Lily menjawab dari balik selimut.

Terdengar suara hembusan nafas Debby lalu gerakan tangan Debby membuka capslock ponselnya.

"Jangan ember sama Zio."

"Enggaaaaaakk,"Debby menyahut panjang."Lo ngancam gue dah kayak gue beneran jadi antek - anteknya si Zio."

Memang benar seperti itu kan?

"Sana berangkat. Aku mau istirahat."

"Iye, iyeeeee. Yang punya kamar siapa, yang diusir juga siapa,"Debby mematut lagi penampilannya dicermin."Lo jangan kemana - mana. Disini aja pokoknya. Istirahat yang banyak. Itu makanan dimakan. Kalau butuh apa - apa ada mbak Nia dibelakang. Gue berangkat ya."

Lalu sosok Debby menghilang seiring dengan suara pintu yang tertutup. Lily meremas rambut, pusing melanda dari semalam.

Ponselnya menyala, berpuluh - puluh panggilan dari Rafel yang sengaja Lily abaikan. Laki - laki itu benar - benar pengecut. Lily merasa muak sekaligus malu karena sudah pernah memberikan hatinya padanya. Bahkan hingga sekarang, perasaan itu masih belum sepenuhnya lenyap.

Tapi kenapa ia sama sekali tidak merasa kecewa atau marah pada Rafel? Apa karena hatinya sudah buta oleh sikap innocen Rafel dan menganggap sikap Rafel yang tidak melindunginya semalam hanya kamuflase agar tidak membuat keadaan semakin runyam?

Atau ia memang sudah benar tidak perduli tentang Rafel? Mau dia bersikap baik, bersikap pengecut atau brengsek sekalipun,

Lily melompat duduk. Mengusap ujung bibirnya yang perih. Dasar brengsek kurang ajar.

Ingatan tentang kelakuan menjijikkan Rafel yang menciumnya paksa membuat Lily emosi.

Ia tidak bisa tinggal diam. Ia harus menyelesaikan masalah ini secepatnya dengan Rafel. Ia harus tahu kenapa Rafel bisa bersikap brutal padanya. Ia juga harus tahu alasan Rafel kembali muncul dan mengusik hidupnya. Lily tidak suka membuat kesalah pahaman antara dirinya dan Lara.

Lara,

Dia baik - baik saja kan? Penyakitnya tidak kambuh gara - gara kejadian semalam kan? Haruskah ia menelpon dan menanyakan keadaannya?

Lily gamang menatap ponsel. Jelas sekali tatapan emosi penuh kekecewaan bercampur air mata milik Lara menusuk jantungnya. Jika sedang emosi, Lara tidak mau diganggu oleh siapapun. Termasuk Mama. Sama seperti dirinya. Tempat sunyi dan sendirian adalah jawaban terbaik meleburkan emosi.

[Kamu dimana?]

[Sudah ditempat kerja?]

Lily tertegun membaca chat dari Zio.

[Sudah sarapan?]

[Nanti aku suruh Rizam deliv makanan ke rumah sakit. Jangan lupa makan, sayang]

Lily (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang