3. Rival Abadi?

511 49 7
                                    

Selamat berpuasa bagi yang menjalankan😊
Salam kenal untuk new follower,
Teken vote nya dong gaes😚

"Lily, belum pulang?"

Dokter Revan menyapaku pagi itu. Aku mengangkat kepala dari rekam medis pasien yang sedang ku baca.

"Pagi dok,"sapaku ramah seperti biasa."Belum, masih mau cek pasien sebentar lagi."

"Pulang saja gak papah,"dokter Revan selesai mengisi absen lalu berdiri disampingku."Kasihan mata kamu sampai merah seperti itu. Pasti semalam gak bisa tidur. Gih, pulang. Istirahat. Sini, biar saya yang ambil alih. Diagnosanya apa?"dokter Revan merebut rekam medis ditanganku. Membacanya seksama.

"Komplikasi ya? Gagal ginjal?"

Aku mengangguk mengiyakan.

"Pasien mengalami sesak ... palpitasi, juga batuk berdahak disertai busa,"

Aku kembali mengangguk membenarkan hasil rekam medis yang dibaca oleh dokter Revan.

"Kira - kira komplikasi apa yang di idap pasien gagal ginjal ini?"dokter Revan bertanya dengan wajah serius tanpa mengalihkan pandangannya dari rekam medis di tangan.

"Endema paru,"jawabku mantap. Ketara sekali kalau dia hanya ingin menggodaku dengan melempar pertanyaan seperti itu. Tampak dokter Revan tersenyum kecil mendengar jawaban yang ku berikan.

"Saya suda melakukan pemeriksaan Kateterisasi arteri paru karena baik EKG, rontgen dada, tes darah, tidak ada satupun yang mampu memberikan hasil seperti hasil dignosis saya. Dokter bisa baca diagnosa awal saya kalau tidak percaya,"

Senyum dokter Revan semakin terkembang."See? You re the best, Lily."

Aku mencibir mendengar pujian dari dokter seniorku itu. "Sini, ini pasien saya. Biar saya saja yang urus,"

Dokter Revan berdecak dan kembali mengambil berkas yang ku rampas dari tangannya."Saya suruh kamu pulang dan istirahat. Pasien ini biar saya yang urus. Dian, tolong kamu resepkan furosemide dan nitrogliserin masing - masing 500mg ya,"

"Baik dok,"suster Dian menjawab sambil tersenyum penuh arti padaku. Aku membalasnya dengan mengangkat sebelah alis ... Apa? Kenapa?

"Sudah sarapan, Ly? Mau sarapan bareng?"

"Dok,"panggilku dengan muka serius.

"Kenapa?"

"Jangan terlalu baik sama saya,"

"Kenapa?"

"Takut saya baper,"

Dan tawa keras dokter Revan memenuhi ruang UGD pagi itu. Aku mendelik dan mau tidak mau ikut tertawa.

"Kamu ... ternyata bisa juga ngeluarin kata - kata seperti itu,"dokter Revan mengangkat tangan. Gerakan reflek seperti akan mencubit pipiku karena gemas. Spontan, kepalaku mundur kebelakang. Menghindari cubitan gemasnya.

"Senang rasanya bisa lihat kamu tertawa. Sering - sering ya Ly, tertawa seperti ini. Tawa kamu itu ... mahal banget,"

Aku menggeleng geli mendengar ucapan dokter Revan yang terdengar sedikit absurd itu."Kalau mahal, berarti ...-"

"Dokter Revaaaan ... Shesil mau tanya,"

Aku langsung memutar bola mata jengah mendengar nada suara manja itu. Shesil, dokter satu angkata denganku. Yang terkenal paling centil dan sok kecantikan manyeruak maju diantara aku dan dokter Revan. Dia bahkan sampai mendorong tubuhku kebelakang dengan kasar.

Lily (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang