20. Dia yang tak Dirindukan (2)

534 53 12
                                    


"Selamat pagi, Mabak Lara,"sapa suster Dian ramah saat melihat Lara.

"Mbak Lara tambah cantik aja,"puji suster Dian."Mau ketemu dokter Lily ya Mbak?"tanya suster Dian pada Lara yang seperti berbie hidup.

Lara hanya tersenyum sekenanya. Menyelipkan anak rambut kebelakang telinga yang kebetulan hari ini ia gerai.

"Iya. Lilynya ada, suster?"

"Dokter Lily sedang diruang operasi Mbak."

"What? Sepagi ini?"pekik Lara sambil mengangkat tangan sejajar dengan nada. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekagetan yang justru terlihat imut dimata suster Dian.

Meskipun memiliki wajah yang sama, Lara justru selalu membuat suster Dian berdecak kagum dengan tampilannya yang selalu fashionable.

Berbeda dengan Lily yang hampir bahkan tidak pernah memakai riasan dan berpenampilan se stylish Lara. Bukan bermaksud membandingkan, hanya saja yah begitulah dokter Lily.

Sederhana dan apa adanya.

Netra dokter Dian nyaris tak berkedip memandang terpesona pada wajah Lara. Padahal sudah setiap hari suster Dian bertemu dengan wajah ini. Tapi ketika melihat Lara, rasanya suster Dian tak ingin berhenti memandangi dan memuji kecantikan wanita itu. Seakan mulutnya kehabisan kata untuk menggambarkan sosok Lara.

Lara melirik jam tangan dipergelangan tangan. Tersisa dua jam lagi sebelum acara meeting dengan para desainer.

Entah angin apa yang membuat Lara tiba - tiba datang ketempat kerja Lily. Sejak kejadian beberapa malam lalu, mereka sama sekali tidak berkomunikai.

Tidak ada perkataan maaf dan wajah ketakutan ketika Lily memutuskan pergi dari rumah malam itu.

Dengan angkuhnya, Lily pergi meninggalkan rumah tanpa sepatah kata. Tanpa penjelasan, dan tanpa rasa bersalah.

Mama dan Lara semakin bersikap acuh. Tidak mencegah atau sekedar bertanya kemana Lily akan pergi malam - malam dengan berjalan kaki seorang diri.

Bukannya rasa iba yang Lara rasakan. Melainkan rasa kesal ingin mencabik dan menampar Lily ketika netranya tidak sengaja bersitatap dengan tatapan terluka milik Lily. Untung ada Rafel yang memeluknya sambil merapal kata maaf.

Sejak malam itu pula Lily tidak pernah pulang kerumah. Dan hari ini, entah terdorong oleh rasa khawatir atau ada perasaan lain yang belum Lara mengerti, Lara ingin menemui Lily.

Ia harus bertemu dengan saudara kembarnya itu. Mereka harus berbica.

"Aku gak papah kan nunggu diruangan Lily?"

"Gak apa - apa Mbak. Mau saya antar?"

Lara menggeleng. Seulas senyum muncul dibibir yang dipoles gincu berwarna merah segar. "Aku pergi sendiri saja. Makasih,"

"Kembali kasih, Mbak,"balas suster Dian dengan senyuman Lebar.

Lara pergi meninggalkan suster Dian yang memang setiap kali melihatnya dirumah sakit selalu bersikap hangat padanya. Tidak seperti kebanyakan suster lainnya yang menatapnya dengan sinis dan berbisik - bisik julid dibelakangnga.

Karena masih sangat pagi dan jam operasional rumah sakit belum buka meski sudah ada barisan antrian dibeberapa bagian poli, Lara melengang santai menuju ruangan Lily. Menikmati decakan kagum dari berpasang - pasang mata yang kebetulan sedang memperhatikan langkahnya.

Sesampainya didepan ruangan Lily, Lara langsung memutar kenop pintu tanpa mengetuk ter0tlebih dulu. Karena sudah pasti didalam tidak akan ada orang.

Lily (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang