"Jus buat Lara sudah kamu siapkan?"
"Sudah, bu."
"Nasi beras merahnya sudah masak?"
"Sudah, bu."
"Sayur brokolinya sudah selesai kamu masak?"
"Sudah juga bu. Ini tinggal goreng telur kesukaan non Lara."
Mama tersenyum puas."Oke. Kopi untuk bapak biar saya yang bikin. Bi Sri, jangan lupa telurnya setengah mateng ya. Lara gak suka kalau bukan telur setengah mateng."
Bi Sri tersenyum dan mengangguk mengerti. "Iya bu. Non Lily juga mau Bibi gorengkan telur ceplok seperti non Lara?"
Wanita setengah baya itu menoleh. Menawariku lauk seperti punya Lara. Aku ingin mengangguk, tapi tatapan Mama yang tidak suka melihat Bi Sri bersikap baik padaku membuatku menggeleng pelan.
"Gak usah, bi. Ini saja sudah cukup,"tunjukku menggunakan isyarat mata pada beberapa potong roti dan selai nanas di atas meja.
"Non gak mau sarapan nasi? Bibi sudah buatkan nasi goreng udang. Bibi ambilkan ya,"
Lagi - lagi aku menggeleng karena tatapan Mama semakin tajam menusuk."Lily buru - buru, bi. Sebentar lagi berangkat. Roti saja sudah cukup,"aku mengambil satu lembar roti, mengolesnya dengan selai lalu menggigitnya sambil tersenyum pada Bi Sri.
Raut Bi Sri berubah seketika. Menatapku sedih. Seperti ingin menghampiri lalu memelukku namun urung karena Mama kembali memanggilnya untuk segera menggoreng telur.
Aku memperhatikan Mama yang sedang sibuk menyiapkan kopi dan makanan untuk Lara.
Ini adalah kejadian biasa setiap pagi yang berlangsung sejak belasan tahun lalu. Mama selalu menyiapkan segala keperluan Lara dengan sangat sempurna. Mulai dari makanan, minuman, sampai snack yang akan Lara makan, semua harus dipersiapkan sesuai dengan instruksi Mama.
Jika Lara sudah duduk di kursi meja makan, Mama yang akan menyendokkan nasi ke piring. Mama yang akan meletakkan lauk dipiringnya. Mama yang akan menuangkan air ke dalam gelasnya.
Jika Lara sibuk dengan gadgetnya, Mama yang akan menyuapinya. Mama yang akan membersihkan noda bekas sisa makanan dibibirnya.
Jika Lara tidak nafsu makan, Mama yang akan sedih.
Jika Lara sedih, Mama yang akan menangis.
Jika Lara menangis, Mama yang akan menemaninya tidur sepanjang malam untuk menenangkannya.
Jika ada yang menyakiti Lara, Mama yang akan maju dan berdiri dibarisan paling depan untuk membelanya.
Yah, bukankah semua Ibu memang seperti itu pada anaknya?
Tidak.
Mama tidak seperti itu padaku. Sekalipun Mama tidak pernah bersikap hangat padaku.
Aku seperti tak terlihat dimatanya.
"Tumben sepagi ini sudah rapi?"
Suara Papa membuyarkan ke melowanku dipagi hari. Harusnya aku sudah kebal dengan hal sepele seperti ini. Harusnya aku sudah biasa diperlakukan tidak sama seperti ini.
Toh, diperlakukan tidak sama pun aku tetap hidup dan baik - baik saja sampai hari ini.
Jadi kenapa pagi ini harus merasa sedih hanya karena aku makan roti sedangkan nasi dan lauk dihidangkan untuk Lara?
Kenapa harus sedih?
"Ada seminar kedokteran di UI Pa, jadi harus berangkat agak pagi."
Papa mengangguk - angguk. Mama datang membawa secangkir kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lily (End)
Random"Apa yang dipersatukan Tuhan tidak akan bisa dipisahkan manusia" - Zio Akbar Syahputra - "Kamu tahu dengan siapa aku ingin menjalani sisa hidupku?" - Lily Anandita . A - "Cobalah bertanya pada takdir, siapa yang akan menjemputmu terlebih dulu? Jodoh...