-BAB 21, Go Home-

14 5 4
                                    

Bruk!

"Ahaahahahahaha!!" Tawa jahat berdengung di kedua telinga seorang gadis berperawakan kecil nan imut. Gadis kecil itu terduduk, terpojok, di sudut ruangan. Di depannya ada seorang gadis berbadan tinggi dan terlihat angkuh.

"Kasihan deh! Polos banget sih! Rasain! Aku sengaja baik sama kamu biar kamu bisa aku jebak! Wlekkkk!" Gadis tinggi itu tertawa kencang. Sudut bibir si gadis kecil membentuk lengkungan menurun. Dia mulai menangis. Gadis tinggi itu membawa beberapa bola kecil dan melemparkannya ke wajah gadis kecil. Tentu membuat gadis itu tambah menangis.

"Nahh, nangis aja terusss! Nangis terusss!" Ledek teman di hadapannya. Ups...bukan teman. Kali ini dia pantas disebut musuh.

***

"TIDAKK!!" Gadis kecil itu berteriak kencang melihat orang istimewanya tertabrak. Dia berlutut lemas dan menangis. "Tidakk! Ini tidak mungkin!!"

Gadis itu ingin berlari menghampiri korban tabrakan tetapi orang-orang mencegahnya. Orang-orang menahan pundaknya. Gadis kecil itu melawan dengan isakan tangisnya. Tetapi sia-sia. Tenaganya tak sebanding dengan tenaga orang dewasa.

"Biarkan aku menghampirinya!!" Lawan gadis itu.

"Jangan, Nak. Biarkan dia diurus oleh para medis!" Orang-orang membawa gadis itu dengan paksa, menjauhi korban tabrakan itu.

***

Hari demi hari berlalu. Keadaannya sama saja. Tetap hening dan senyap. Semua orang menanti kepastian. Ya, menunggu kepastian itu melelahkan. Hingga hari ini, sang dokter dan perawat keluar dari ruangan. Mereka berbicara dengan sepasang suami dan istri di depan ruangan. Sedangkan sekumpulan anak SMA masih berkumpul dan menanti pengumuman.

"Puji syukur, Bu. Keadaannya sudah mulai membaik akhir-akhir ini. Tetapi, dia belum bangun dari tidurnya. Jika dia bangun, tolong hubungi saya ya. Sepertinya, sebentar lagi dia sudah bisa pulang," kata dokter dengan senyum ramahnya.

"Terima kasih, Dokter!" Ucap sepasang suami-istri itu. Windy dan Waldo.

"Baik. Ini sudah menjadi tugas kami untuk merawatnya. Tetapi, sebaiknya anda juga berterima kasih kepada anak berambut pirang itu. Dia yang paling berjasa dalam kejadian ini. Tanpa dia, mungkin keadaannya tambah memburuk. Saya permisi." Dokter dan perawat itu menganggukkan kepala sejenak dan pergi.

Windy dan Waldo menghampiri Lola dan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Lola tersenyum dan mengangguk senang setelah mendengar kabar keadaan Iren. Tidak hanya Lola. Sekumpulan anak SMA itu juga menaikkan kedua sudut bibirnya.

"Kak, Mama sama Papa titip Iren ya." Kak Ines mengangkat tangan kanannya dan membentuk hormat layaknya tentara.

"Siap! Serahkan padaku. Aku bisa menjaganya. Lagipula ada teman-temannya di sini!" Windy dan Waldo pergi dari rumah sakit.

"Yes! Iren mulai sehat!" Sorak para remaja SMA itu. Kak Ines, sebagai orang yang merasa paling tua di antara mereka hanya bisa tersenyum dan mengangguk.

"Kalian sudah makan?" Mereka semua menggeleng.

"Hahaha, ya sudah. Ayo kakak traktir untuk makan siang di depan. Tapi kakak minta tolong beberapa orang untuk menemani Iren di dalam."

"Saya, Kak!" Sahut Lola.

"Saya juga, Kak! Sama Desi!" Sahut Ririn dan diangguki Desi.

"Aku ikut Lola deh. Lakinya ada dua kan? Nah satu ikut kakak, dan satu lagi jaga. Wakakak!" Kata Ali dengan tawanya.

"Hahaha, oke. Mila, Rendi, sama Klara ikut kakak ya. Yang ga ikut kakak ga usah khawatir. Kakak akan bawakan kalian makanan juga kok." Lola, Ririn, Desi, dan Ali mengangguk. Tak lama berselang, Kak Ines, Rendi, Mila, dan Klara pergi mencari makan siang.

Antar 2 BenuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang