"Ren!"
Iren menoleh ke arah Ririn. "Kapan lo mau pulang? Ini sudah jam sepuluh malam loh. Kita ga pulang nih?"
Iren tertunduk. "Ee...gimana ya? Gu-gue ga tau harus pulang apa ga. Masih takut," lirihnya.
"Ya seharusnya lo pulang dong. Orang-orang di rumah pasti khawatir sama lo. Tuh lihat! Baju lo juga kotor sama basah kuyub gitu. Lo ga malu?"
"Ngapain malu? Gue sudah jadi anak kecil tak tahu malu." Iren memakan es krim cokelatnya dengan santai. Ririn dan Desi menggeleng sedih. "Jangan gila deh, ren," ujar Ririn dan Desi.
"Hm," dehem Iren tak peduli.
"Taman bermain tutup jam berapa sih? Kok ga tutup-tutup dari tadi?" Tanya Desi sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Tadi aku lihat di papan pengumuman, katanya tutup jam sebelas malam. Yaa, satu jam lagi tutup," jawab Lola.
"Ya sudah deh, ayo kita pulang!" Ajak Ririn sambil menarik pergelangan tangan Iren. Iren menarik tangannya kembali.
"Kalau kalian mau pulang, pulang sekarang. Gue masih takut," kata Iren ragu. Iren kembali duduk di bangku sendirian. Ririn, Desi, dan Lola saling melihat satu sama lain dengan perasaan bingung.
"Iren, we'll be fine. Percayalah sama gue!"
Iren terdiam. Iren melihat ke samping dan tak menanggapi perkataan Ririn sama sekali. "Sekarang pulang ya," ajak Lola lembut, meyakinkan Iren untuk pulang.
Iren tak punya pilihan lain selain pulang dan kembali ke tempat kepedihannya. Iren menuruti ketiga temannya lalu bangkit dengan lesu. Iren menaiki taksi online yang sudah dipesan oleh Ririn sebelumnya dengan raut wajah cemberut. Iren melihat ke arah kaca. Melihat berbagai pemandangan indah di luar sana dengan sendu. Mobil mulai melaju dengan cepat. Iren terus gugup karena tak lama lagi ia kembali ke kehidupan lamanya.
45 menit kemudian, mobil sampai tepat di depan halaman luas rumah Iren. Tanpa mengucapkan terima kasih ataupun salam, Iren langsung berlari dan masuk ke rumah hingga akhirnya ia masuk ke sebuah kamar kosong tanpa mengucapkan apa-apa. Waldo, Windy, dan Kak Ines memandang Iren dengan ekspresi kaget tetapi mereka memaklumi. Iren mengunci pintu dan terduduk lemas. Mengapa ia tidak langsung ke kamar yang biasa ditempatinya? Sudah pasti tidak ke sana. Karena kamar sedang berantakan, dan lagipula pintu kamar sedang rusak karena ditendang oleh Ririn dengan keras. Iren terus menangis di kamar kosongnya dan terpojok.
"Emm...hai," sapa Windy, Waldo, dan Kak Ines di teras rumah. Ririn, Desi, dan Lola menyalimi keluarga Iren satu per satu.
"Hai, Tante, Om, dan Kak Ines," jawab Ririn, Desi, dan Lola.
"Makasih banyak ya sudah membawa Iren pulang. Makasih banyak juga karena kalian mau bantu masalah Iren. Maaf merepotkan kalian," ucap Windy lembut.
"Tidak apa-apa, Tante. Tidak merepotkan kok," jawab Ririn mewakili kedua gadis di sebelah kanan dan kirinya.
"Hehe, silahkan masuk dulu!" Ajak Kak Ines ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antar 2 Benua
Novela JuvenilKukira dia akan bersikap cuek atau bahkan tidak peduli dengan sesamanya. Dugaan itu muncul di pikiranku, setelah aku mengetahui bahwa dirinya berasal dari negara yang sangat jauh dari tempat berpijaknya sekarang. Namun dugaanku ternyata salah. Setel...