-BAB 28, She is Suffering-

8 4 3
                                    

Tok! Tok!

Mendengar ketukan pintu dari luar, Kak Ines menaruh majalahnya dan melangkah ke pintu. Daun pintu ia buka lebar-lebar. "Haii-"

Kak Ines menyeret akhir kalimatnya dengan nada yang awalnya ceria menjadi nada tanya. Kak Ines memiringkan kepalanya kala dia menemukan seseorang yang sedang muram dan keadaannya yang buruk. "Iren?" Lirih Kak Ines. Kak Ines memegangi kedua bahu adiknya itu dengan sangat cemas. "Kamu...kenapa? Kok kamu berantakan gini?" Tanya Kak Ines namun tidak ditanggapi oleh Iren.

Pipi Iren terlihat memerah. Mungkin itu adalah bekas tamparan yang ia dapatkan kemarin. Kulit Iren tampak kusam seperti debu-debu sedang menempel di pori-porinya. Rambut Iren juga tak beraturan. Bagian mana coba yang bisa dikatakan baik-baik saja? Tak ada, bukan? Itulah yang membuat Kak Ines cemas. Terlebih di bagian pipi kiri Iren yang merah.

"Em...kamu baru pake blush on, Dik? Ketebalan itu!" Celoteh Kak Ines yang terlihat polos. Terlalu polos sampai Iren ingin menghajarnya. Di situasi seperti ini, Kak Ines sempat-sempatnya bercanda. Dasar!

Iren tidak menghiraukan perkataan Kak Ines lalu masuk begitu saja melewati kakaknya. Tanpa mengucapkan salam, Iren berjalan lemas ke arah kamar. Kak Ines yang masih kebingung terus membuntuti adiknya itu. 'Sepertinya bukan blush on. Tapi...tamparan?' Pikir Kak Ines bertanya-tanya. Sebelum Kak Ines masuk, Iren sudah mengunci kamar dahulu. Bisa ditebak, Kak Ines kalah cepat. Tak apa, tak masalah bagi seorang Kak Ines. Bukankah ia merupakan gadis lembut sejagad raya? Dia pasti bisa membujuk Iren nantinya.

Iren meletakkan tasnya sembarangan. Rompi seragam, sepatu, kaos kaki, ia letakkan sembarangan juga. Iren mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Iren hanya bisa mengeluarkannya, tidak berani untuk melihatnya. Toh nantinya cuman ada cibiran dari teman-temannya lewat status aplikasi. Itu bisa menambah keemosian Iren. Namun apa daya kekepoan Iren meluap. Membuat gadis itu terpaksa membuka ponselnya untuk membuka percakapan-percakapan yang masuk.

Nihil.
Hanya ada pesan masuk dari grup-grup tertentu saja. Selain itu tak ada. Kemudian, Iren beralih untuk melihat status teman-temannya. Pikirannya benar. Teman-temannya, terlebih Rendi tengah mencibirnya atau bisa dibilang membicarakan tentang dirinya di sana tanpa mengutarakan jelas siapa yang dimaksud Rendi. Tapi, Iren tahu bahwa Rendi memang membicarakan dirinya. Bagaimana dengan Mila dan Ali? Mereka tak memasang status apapun. Syukurlah. Masih bersikap baik daripada Rendi dengan tidak menambah keemosian Iren. Iren melemparkan ponselnya ke ranjang dan akhirnya ia telungkup di atas ranjang bersama ponsel di sebelahnya. Setetes air mata jatuh di sudut matanya. Iren memejamkan matanya dan menangis pelan di atas bantal.

Tok! Tok!

Iren membuka kedua matanya. Ia melirik ke arah pintu. "Dia lagi," gumamnya dengan suara serak. Iren tak bangkit dari tidurnya, membiarkan ketukan pintu mengganggunya. Di luar pintu, tampaklah Kak Ines dengan nampan berisi biskuit chococips dan susu hangat di tangannya. Kak Ines terus mengetuk tetapi tak ada balasan apapun. "Aduh, Iren ga mau buka pintunya lagi. Aku kira ini akan mudah. Ternyata jauh dari bayanganku," gumam Kak Ines sendirian.

Tak mau menyerah, Kak Ines membujuk adiknya untuk memperkenankan dia masuk ke dalam kamar. Beberapa menit telah berselang dengan keheningan. Ketika Kak Ines membuka pintu sekali lagi, tiba-tiba pintu terbuka. Kak Ines terkejut dan hampir menjatuhkan nampannya. Untung saja, nampan bisa dikendalikan olehnya. Kak Ines menghembuskan napas lega lalu masuk ke dalam kamar yang memperlihatkan adiknya sedang berbaring di atas tempat tidur dengan keadaan yang berantakan.

"Hai, Dik?" Tanya sekaligus panggil Kak Ines. Iren tak merespon apapun.

"Kamu makan, ya. Ini, Kakak bawakan nampan berisi susu dan biskuit enak kesukaan kamu. Dimakan, ya."

Antar 2 BenuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang