3

233 40 14
                                    

Changkyun itu rapuh. Kalo Jooheon disuruh mendeskripsikan Changkyun sama hewan, maka Jooheon bakal memilih landak.

Sama kayak landak yang pake durinya buat melindungin diri. Changkyun juga. Bedanya Changkyun pake sifat jutek sama dingin buat ngelindungin hatinya yang kelewat perasa.

Changkyun emang pinter. Apalagi masalah menutupi sesuatu. Di luar aja, Changkyun berusaha menanggapi orang luar dengan biasa aja. Berusaha nggak peduli. Padahal, kalo udah sendiri ya pasti dipikir terus.

Tapi hal itu nggak berlaku buat Jooheon. Mau setebal apapun, mau sebanyak apapun hal yang dipake buat nutupin perasaan yang sebenernya, Jooheon selalu tau.

Iya. Pasti ujungnya selalu gitu.

"Hueeee Joo!!!! Sedih banget ih." Changkyun masih tersedu-sedu. Membiarkan tangisan itu melimpah ruah sebelum menyurut sesuai waktunya.

Jooheon sendiri cuma berekspresi datar, lanjut memakan popcornnya.

"Joo ih! Hati lo batu ya. Itu sedih banget ayahnya mati!!!"

"Iyaiya. Sedih banget. Pengin nangis gue," sahut Jooheon masih dengan ekspresi datarnya.

Changkyun melirik kesal kemudian memukul pundak Jooheon. Jooheon emang partner bercerita yang baik. Tapi dia bukan partner menonton film sedih yang baik.

Sekarang, mereka lagi nonton film sedih, di kamar Changkyun ditemani sebungkus besar popcorn instan dan dua buah cola ukuran sedang yang tadi dibeli di minimarket sepulang sekolah.

Jadwal ini selalu muncul ketika Jooheon berkata kalo dia punya tugas untuk menyembuhkan hati orang. Hatinya Changkyun. Menemani dan membiarkan Changkyun menangis sepuasnya dengan alasan baru yaitu karena pilihan film sedih yang ditontonnya dan menutupi alasan lama yang sebenernya nggak sepenuhnya hilang.

Jooheon selalu memilih mengalah dan berpura-pura percaya kalo semua tangisan yang keluar itu disebabkan oleh alur sebuah film.

Karena, Jooheon tahu, Changkyun bakal selalu gengsi buat menangis karena masalah hatinya yang kelewat perasa.

Buat membantu Changkyun menutupi alasan yang sebenarnya, gagasan menonton film sedih muncul tiba-tiba di benak Jooheon. Dan, pada akhirnya jadi satu kebiasaan yang selalu dilakukan saat Changkyun merasa sedih karena sebuah omong kosong.

"Ih Joo udah selese! Gak mau sad ending!"

"Ya gimana, orang udah selese juga."

"Tapi, ayahnya tetep mati!"

"Kalo idup lagi nanti ganti genre jadi horror."

"Ih!" Changkyun mau mukul pundak Jooheon lagi, tapi berhenti dan malah memilih menyandarkan kepalanya ke pundak Jooheon.

"Joo,"

"Hm?" Jooheon tahu sehabis ini dia bakal bekerja ekstra, memikirkan balasan yang tepat untuk membalas perkataan Changkyun. Meyakinkannya kalo semua yang dipikirin Changkyun itu salah.

"Kalo idup gue juga sad ending gimana ya?"

Nah kan. Untung Jooheon sudah terlatih. Nggak sia-sia pengalamannya berteman dan menyelami isi pikiran Changkyun selama sepuluh tahun terakhir.

"Lo gak bisa ngramal. Gak usah mikir yang aneh-aneh."

"Gue gak ngramal. Gue cuma lagi tanya."

"Lo aneh emang. Dimana-mana orang tanyanya idup gue berakhir bahagianya gimana. Lo malah nanya idup lo bakal sad ending apa kagak."

"Happy ending kayaknya terlalu muluk bagi gue. Gue so-so ending juga udah bersyukur."

Jooheon menghela napas dalam. Emang ini, efek segala perkataan menyakitkan dari orang di luaran sana. Changkyun jadi kebanyakan mikir dan mulai berandai-andai sesuatu yang buruk.

Shall We Date? [ Joo-Kyun ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang