TUJUH BELAS - LIKE THE STAR AND THE MOON

286 38 1
                                    

“Maafkan aku, Fen.” 

Hanya itu yang keluar dari mulut Erick sebelum berjalan pergi dari hadapan Fenita. Dia terus berjalan tanpa menoleh lagi, seolah lupa dengan apa yang dilakukannya beberapa hari kemarin. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, menjadi peribahasa yang tepat untuk Fenita saat ini. Setelah dipaksa meninggalkan pekerjaannya, sekarang dia pun ditinggalkan Erick, laki-laki yang baru beberapa hari yang lalu mengatakan akan menikahinya. Meski Fenita tidak menginginkan pernikahan dengan Erick lagi, tetapi melihat laki-laki itu pergi meninggalkannya begitu saja karena tidak mau kehilangan anak kandungnya, membuat Fenita merasa dirinya sangat menyedihkan. Bukan Erick yang kehilangan segalanya, tetapi dirinya sendiri. Dia sudah kehilangan segalanya karena perbuatannya sendiri.

“Kamu baik-baik saja?” Suara Andra menggugah Fenita dari lamunannya sendiri. Dia baru sadar kalau sejak tadi ada Andra yang berdiri di belakangnya dan melihat semua yang terjadi antara dirinya dan Erick.

Fenita mengangguk. Dia lalu berjalan masuk ke dalam apartemennya dan meletakkan tas tangannya di sofa. Andra hanya mengikuti lalu meletakkan kardus yang sejak tadi di bawanya di meja.

“Kamu mau minum sesuatu?” Fenita berusaha bersikap baik-baik saja.

“Air mineral saja.”

Fenita mengangguk lalu berjalan menuju dapur. Sementara Andra masih berdiri mengamatinya. Kenapa dia masih bersikap seolah-olah sangat kuat padahal dia sudah berada di titik terendahnya? Kenapa dia tidak menangis saja dan meluapkan semua sesak yang dirasakannya? Andra bertanya-tanya sendiri di dalam hati.

“Ini.” Fenita mengulurkan botol berisi air mineral. Bibirnya masih berusaha tersenyum.

“Maafkan aku yang selalu merepotkanmu dan membuatmu terlibat dalam masalahku.” Ujar Fenita sambil berjalan menuju ke jendela kaca. Pantulan cahaya matahari yang sangat panas di luar, sedikit menyakitkan mata.

“Aku yang menawarkan diri, Fen. Jadi kamu tidak perlu merasa seperti itu.”

Fenita mendesah. Dia menoleh dan menatap Andra. “Aku malu padamu, Ndra. Aku malu karena kamu akhirnya tahu betapa buruknya aku.”

“Ya, aku tahu kamu memang buruk. Semua orang akan menilai seperti itu. Tetapi, bukan berarti, aku lebih baik darimu juga.”

Fenita diam. Membiarkan Andra melanjutkan ucapannya.

“Semua orang punya masa-masa terburuknya sendiri. Hanya saja, kita tidak melihatnya. Kebetulan saja aku tahu masa terburukmu. Dan aku tidak pernah merasa keberatan dengan itu.”

“Kenapa kamu berpikir seperti itu?”

Andra menggeleng. “Aku hanya tidak keberatan saja. Dan aku tidak punya alasannya.”

Pandangan Fenita lurus pada Andra. Dia mencoba mencari tahu apa yang mungkin disembunyikan Andra dari ucapannya. Apakah laki-laki itu membohonginya? Berpura-pura kalau dia tidak keberatan, padahal itu hanya menghiburnya saja. Andra lalu berjalan mendekatinya. Semakin lama semakin dekat, hingga berjarak hanya satu langkah kaki.

“Jangan pernah berpikir kalau aku hanya berpura-pura dengan apa yang aku katakan. Aku benar-benar tulus ingin membantumu.”

Fenita mengangguk saja.

“Aku harus pergi, karena ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan. Aku akan datang lagi setelah pulang kerja.”

“Mungkin, aku hanya ingin sendiri dulu untuk saat ini.” Fenita menolak karena dia benar-benar ingin sendiri sekarang.

“Baiklah. Hubungi aku kalau membutuhkan sesuatu.”

Fenita mengangguk. Dia menatap Andra yang melangkah menjauh darinya, hingga tidak lagi terlihat oleh matanya saat sudah terhalang tembok. Lalu, terdengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali. Fenita menarik napas panjang dan menghembuskannya. Sesak yang sejak tadi ditahannya, sudah ingin dikeluarkan. Dia terduduk lemah di lantai. Botol yang sejak tadi dibawanya juga jatuh terpental begitu saja ke lantai dan membuat genangan air, tetapi Fenita tidak mempedulikannya. Airmatanya sudah merangsek keluar dan tidak mau berhenti sama sekali.

A Thousand Nights With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang