Hongkong adalah sebuah negara kecil dengan penduduk yang padat dan gedung pencakar langit yang sangat banyak. Berada di sini selama beberapa hari, tidak ada bedanya dengan berada di Jakarta. Kesibukan yang tidak ada habisnya membuat Andra lupa kalau besok dia sudah harus kembali ke Jakarta, kembali ke rutinitasnya.
Andra berjalan menyusuri jalan menuju ke Sky Terrace. Di antara semua kesibukannya di Hongkong, dia berusaha untuk meluangkan waktunya datang ke tempat yang direkomendasikan Fenita. Tempat tertinggi di Hongkong, 428 meter dari batas laut, membuat siapa saja yang berdiri di sini bisa melihat panorama Hongkong. Laut, gedung pencakar langit dan sejuta lampu yang gemerlap di bawah sana, sungguh indah. Beberapa orang tampak berfoto dan mengabadikan gambar, tapi tidak dengan Andra. Dia hanya diam dan merasakan ketenangan setelah melihat malam dari ketinggian ini. Dia kemudian mengambil ponsel, bukan untuk mengambil gambar atau berswafoto, dia hanya ingin menghubungi Fenita.
Beberapa kali terdengar nada sambung, namun tidak juga diangkat. Pandangan Andra tertuju pada layar ponsel yang masih menunggu jawaban Fenita. Lalu, terlihatlah wajah Fenita. Dia tersenyum dan di belakangnya tampak deretan buku.
“Hai.” Terdengar suara Fenita.
“Hai. Masih di kantor?”
“Ya. Di sini masih jam 6.30.”
“Aku di Sky Terrace.” Andra kemudian mengganti kamera belakang dan menunjukkan pada Fenita gemerlap lampu di bawah sana. Senyum di bibir Fenita mengembang. Dia sangat senang sekali melihat pemandangan malam yang gemerlap.
“Kamu senang melihat gemerlap lampu atau bintang?”
“Aku suka malam.”
“Kenapa?”
“Karena malam itu tenang meskipun kelihatannya sangat riuh dengan gemerlapnya.”
Andra tersenyum. Puitis. Tentu saja, dia adalah orang yang bekerja di media.“Kamu sendirian?” Fenita balik bertanya.
“Ya. Dengan siapa lagi?”
“Kapan pulang?”
“Besok.”
“Mau aku jemput?”
“Tidak perlu. Aku langsung ke kantor sesampainya di bandara.”
“Very hard worker.”
Andra tertawa mendengarnya. Ya, mungkin banyak yang bilang kalau dia adalah pekerja keras, tetapi sebenarnya yang dilakukannya hanyalah berusaha bertanggung jawab dengan kewajibannya saja.
“Kalau begitu, aku tutup dulu. Aku harus segera pulang.”
“Hati-hati di jalan. Dan terima kasih sudah menunjukkan malam yang indah di Hongkong.”
Andra hanya membalasnya dengan senyuman lalu mengembalikan ponselnya ke saku celana. Dia kemudian berjalan meninggalkan Sky Terrace. Dia harus segera kembali ke Hotel karena dia mengambil penerbangan pagi besok. Ada rapat yang harus didatanginya di sore hari. Semoga saja tidak terlambat.***
Fenita meletakkan lagi ponselnya di meja setelah sambungan video call dari Andra ditutup. Dia melanjutkan pekerjaannya yang menumpuk. Banyak artikel yang harus diselesaikan. Namun, konsentrasinya terinterupsi lagi saat tiba-tiba pintu ruangannya dibuka. Fenita mendongak ke arah pintu dan menemukan Erick sudah berdiri di sana dengan wajah masam.
“Baru bicara dengan siapa?” tanyanya dengan dingin. Dia pasti sudah mengamati sejak tadi. Ruangan Fenita yang hanya terbatas oleh dinding kaca tentu saja akan terlihat saat melakukan apapun.
“Teman.” Fenita kembali menatap layar komputer dan mengabaikan Erick.
“Laki-laki itu lagi?”
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Nights With You
RomanceSetiap manusia pasti pernah merasakan patah hati. Mengalami episode terburuk di dalam hidupnya. Ditinggalkan, putus cinta, dipaksa berpisah atau tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Fase paling penting setelah mengalaminya adalah bagaimana ca...