Suara hujan terdengar nyaring hingga ke dalam rumah. Setelah lama kemarau, hari ini hujan turun untuk pertama kalinya di Jakarta. Dan langit seolah memiliki banyak sekali air hingga hujan deras tidak berhenti meski hampir lima jam telah berlalu.
Erick terpaku di meja kerjanya, menatap setiap tetesan hujan dari balik kaca jendela ruang kerjanya. Pandangannya memang tertuju pada hujan, tetapi tidak dengan otaknya yang terus memutar ulang semua kenangannya dengan Fenita. Sudah satu minggu setelah pertengkaran di apartemen dan sejak saat itu dia tidak pernah menemui Fenita ataupun sekedar mengirimkan pesan. Egonya mengendalikan dirinya. Namun, jauh di dalam hatinya, dia sangat merindukan perempuan itu.
Baginya, Fenita adalah segalanya. Oase di antara tandusnya gurun hatinya. Sejak pertama kali melihat Fenita duduk di salah satu bangku di dalam gereja di Solo lima belas tahun lalu, Erick sudah meyakini bahwa pada perempuan itulah dia akan menjatuhkan hatinya. Diam-diam, dia menyelipkan surat cinta untuk Fenita di bangkunya. Atau mengirimkan kata-kata puitis melalui radio sekolah. Seperti pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba, Fenita menyambut cinta Erick. Mereka menjalin hubungan hingga akhirnya berpisah saat Erick harus ikut orang tuanya ke Jakarta. Mereka memilih untuk mengakhiri kisah cinta karena tidak bisa berhubungan jarak jauh. Saat itu, ponsel belum menjadi barang yang bisa ditemukan dan menyambung hubungan dengan jarak ratusan kilometer yang membentang.
Tapi, takdir masih belum menyerah. Mereka berdua bertemu lagi di tempat Erick bekerja. Tanpa pernah diduga, Fenita muncul di depan pintu kantornya dan menjadi asistennya saat dia masih menjadi reporter. Mereka sering meliput bersama, mengejar berita hingga harus keluar kota dengan sepeda motor, atau bermalam di depan pagar pejabat hanya untuk berita. Benih cinta yang lama terkubur akhirnya bersemi kembali.
Namun, takdir selalu menjadi hal yang mempermainkan cinta mereka pula. Erick harus menerima kenyataan jika dia dijodohkan dengan perempuan bernama Saphira, yang tidak lain adalah anak dari pemilik perusahaan tempat dia bekerja, ketika dia bertemu lagi dengan Fenita. Perjodohan yang dipaksakan membuat Erick tidak punya pilihan lain saat itu selain menyetujuinya. Satu tahun kemudian, dia naik jabatan menjadi pemimpin redaksi. Dan seperti perjodohan tanpa cinta lainnya, Erick tidak pernah menganggap Saphira sebagai istrinya. Hatinya tidak bisa berpindah dari Fenita meski mereka harus menjalin hubungan dengan diam-diam. Dia rela mempertaruhkan nama keluarganya, bahkan posisinya demi cintanya pada sosok Fenita.
Semakin hari hubungan yang terjalin diam-diam semakin terasa berat. Saphira yang semakin posesif dan juga Fenita yang semakin menuntut, membuatnya tidak tahu harus bagaimana bersikap. Dia tidak ingin Saphira tahu tentang hubungannya dengan Fenita dan menghancurkan kehidupan perempuan yang dicintainya. Tetapi, dia juga tidak bisa terus-terusan menyakiti Fenita karena dia yang harus selalu menuruti semua ucapan Saphira.
Lamunan Erick buyar saat tiba-tiba Theon masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia membawa robot Optimus Prime, kesukaannya.
“Papa, kita main?” Wajah anak lima tahun ini sangat polos saat mengajak Papanya bermain.
“Kok kamu belum tidur, Nak?”
“Theon mau main sama Papa.”
Erick tersenyum melihat anaknya merajuk. Dia akhirnya menutup laptopnya dan menggendong anak semata wayangnya kembali ke kamarnya.
“Kita main di kamar, ya. Sambil kamu tiduran nanti Papa cerita tentang Optimus Prime.”“Yeaay!” Theon kegirangan. Dia memeluk Papanya.
Begitulah Theon selalu manja pada Erick, karena hanya Erick yang benar-benar memperhatikannya di rumah ini. Mamanya sendiri bahkan lebih sibuk dengan pekerjaannya ataupun acara yayasan dan arisan daripada mengurus anaknya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Nights With You
RomanceSetiap manusia pasti pernah merasakan patah hati. Mengalami episode terburuk di dalam hidupnya. Ditinggalkan, putus cinta, dipaksa berpisah atau tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Fase paling penting setelah mengalaminya adalah bagaimana ca...