DUA PULUH DELAPAN - EVERYBODY CAN CRY

250 41 0
                                    

Fenita berlari secepat yang dia bisa untuk bisa segera sampai di kamar Ibunya Andra. Dia bahkan sampai menabrak beberapa orang saat mulai memasuki halaman rumah sakit. Perasaan takut dan khawatir menguasainya saat menerima telepon dari Andra kalau Ibunya baru saja mengalami serangan jantung dan sedang dibawa ke rumah sakit. Tempat pertama yang dia tuju adalah bagian informasi. Dia tidak tahu Ibunya Andra sedang berada dimana sekarang. Petugas informasi memberitahukan kalau Ibunya Andra masih berada di ruang Intensif Care Unit karena harus dilakukan tindakan dokter. Fenita berjalan menuju ke tempat yang ditunjukkan petugas informasi. Sesampainya di depan ruang ICU, dia bertemu tetangga yang mengantar Ibu ke rumah sakit. Fenita mengucapkan terima kasih padanya, lalu berjalan mendekati pintu. Dia berusaha mengintip dari kaca yang agak transparan tetapi dia tidak bisa melihat apapun.

Ponsel Fenita bergetar lagi. Nama Andra tertera di layar.

“Iya, Ndra. Aku sudah berada di rumah sakit. Ibu masih bersama dokter di ruang ICU.”

“Aku titip Ibu dulu, ya. Pesawatku baru nanti malam.”

“Iya. Kamu hati-hati ya. Nanti aku kabari lagi.”

Telepon kemudian ditutup. Fenita mengembalikan ponselnya ke dalam tas slempangnya. Dia kemudian berdiri bersandar pada tembok. Pandangannya sama sekali tidak lepas dari pintu ruang ICU, berharap dokter akan segera keluar dan memberikan kabar baik.

***

“Bagaimana Ibu?” tanya Andra sesampainya di rumah sakit. Sementara Ibu sudah berada di ruang perawatan, namun sedang tidur.

“Kata dokter sudah melewati masa kritis.”
Andra sedikit bisa bernapas lega. Dia mendekati Ibunya dan mengenggam tangannya. Selama ini, Ibu selalu terlihat baik-baik saja meski usianya semakin bertambah setiap tahunnya. Namun, Ibu tidak pernah menunjukkan gejala penyakit apapun. Lalu, saat Ibu tiba-tiba sakit seperti ini, Andra menjadi berpikir apakah Ibu selama ini menutupi darinya dan berpura-pura baik-baik saja.

“Kamu istirahat dulu saja, Fen. Aku akan menjaga Ibu.”

“Kamu yakin, bisa sendirian?”

Andra mengangguk.

“Baiklah. Kalau begitu aku akan kembali dengan membawa baju Ibu. Kamu mau aku bawakan sesuatu?”

“Tidak. Kamu hati-hati di jalan, ya. Maaf aku tidak bisa mengantarmu.”

Fenita tersenyum. Dia menepuk punggung tangan Andra. “Aku bisa sendiri. Kamu juga jangan lupa istirahat.”

Andra mengangguk. Fenita lalu berjalan keluar dari kamar Ibu dan menutup pintunya kembali. Dia sempat berhenti di balik pintu dan menoleh pada Andra yang sedang mencium punggung tangan Ibunya. Andra pasti sangat shock, batin Fenita. Ini pasti pertama kalinya Ibunya sakit sampai masuk rumah sakit.

Dia lalu berjalan menyusuri lorong rumah sakit hingga sampai di halaman parkir. Dia mengendarai motornya menuju ke rumah Andra untuk mengambil beberapa barang yang mungkin akan dibutuhkan Ibu, karena menurut dokter, Ibu harus dirawat dalam waktu yang agak lama. Dia akan kembali ke rumah sakit besok pagi-pagi sekali sekalian membawakan sarapan pagi untuk Andra.

***

“Bagaimana kabar Ibumu?” tanya Bara di telepon. 

“Kata dokter harus dilakukan observasi lagi besok. Tekanan darah Ibu terlalu tinggi hingga menyebabkan serangan jantung. Masih akan dilakukan pemeriksaan apakah serangan jantungnya karena tekanan darah saja atau karena memang ada masalah di jantungnya.” Jawab Andra. Dia berjalan keluar dari kamar Ibunya, karena tidak ingin mengganggu tidur Ibunya.

“Aku akan coba telepon temanku di sana. Nanti aku kesana kalau sudah pulang dari China.”

“OK. Terima kasih.”

Sambungan telepon kemudian ditutup. Andra memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku kemejanya. Dia masih mengenakan kemeja yang dipakainya di kantor kemarin karena tidak sempat mengganti baju. Semuanya terjadi begitu mendadak, hingga dia tidak bisa memikirkan apapun kemarin selain segera pulang ke Solo.

“Kok kamu sudah kesini lagi?” tanya Andra saat melihat Fenita sudah berdiri di dekat daun pintu. Dia melihat ke jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 5 pagi.

“Aku pikir kamu akan butuh teman di sini. Dan aku membawakanmu sarapan. Kamu pasti tidak makan apapun sejak kemarin.” Fenita menunjukkan box makanan yang dibawanya. Kedua tangannya penuh dengan barang bawaan. 

Andra mengulurkan tangannya untuk membantu Fenita membawa tas berisi baju Ibunya.

“Maaf, aku merepotkanmu.”

“Kenapa kamu berpikir begitu? Ibumu kan juga Ibuku.” Balas Fenita sembari meletakkan box makanan di dekat sofa.

“Kamu mau makan sekarang atau nanti?” tanya Fenita.

“Aku akan mandi dulu.”

Fenita mengangguk. Dia kemudian mengulurkan peralatan mandi yang tadi sempat dibelinya di minimarket yang buka 24 jam.

“Bajumu aku jadikan satu dengan Ibumu di tas itu.” Fenita menunjuk pada tas besar berwarna hitam.

“Bagaimana kamu tahu aku tidak membawa ganti?”

“Aku melihatmu tidak membawa apa-apa semalam. Jadi aku pikir untuk membeli alat mandi ini  dan sebagian bajumu. Maaf aku masuk ke kamarmu, tanpa ijin.”

Andra tersenyum. Dia menepuk pundak Fenita lembut. “Kalau enggak ada kamu, aku pasti masih memakai kemeja yang sama lagi dan mandi dengan air saja.”

Bibir Fenita tersenyum lebar mendengarnya. Dia senang karena akhirnya dia bisa menjadi berarti bagi Andra. Dia melihat punggung Andra hingga menghilang di balik pintu kamar mandi. Pandangan Fenita kemudian beralih pada ranjang Ibu. Dia langsung menghambur mendekati Ibunya Andra saat melihatnya membuka mata.

“Ibu sudah bangun?” tanyanya. Tangannya menggenggam tangan Ibunya Andra.

Ibu mengangguk dengan lemah. Mungkin badannya masih terasa lemah.

“Puji Tuhan.”

Bibir Ibu tampak tersenyum. Entah apa yang sedang ada di pikirannya, hingga bangun dengan raut wajah bahagia itu. Tapi, ibunya Andra membalas genggaman tangan Fenita.
Tidak ada pembicaraan setelah itu. Fenita hanya mengelus-elus tangan Ibunya Andra dengan lembut.

“Ibu…”

Andra juga langsung menghambur ke Ibunya saat melihat Ibunya membuka mata. 

“Ibu merasakan sakit dimana?”

Ibu hanya berusaha tersenyum dan mengisyaratkan kalau dirinya baik-baik saja. Dia tidak ingin membuat anak laki-lakinya khawatir. Setelah meminta Ibunya istirahat kembali, Andra kemudian berjalan menuju sofa dengan Fenita. Dia harus mengisi perutnya agar tidak ikut-ikutan sakit. Nanti malam, dia harus kembali ke Jakarta karena besok ada rapat yang tidak bisa ditinggalkannya.

“Lama tidak makan masakanmu. Dan rasanya tidak berubah.” Ucap Andra setelah mengecap rasa masakan Fenita. Sementara, Fenita hanya menanggapi dengan senyumnya saja.

***

A Thousand Nights With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang