Setumpuk coklat tiba-tiba diletakkan di meja Fenita dan membuat konsentrasinya terpecah. Dia memindahkan perhatiannya yang semula pada layar komputer lalu pada orang yang berdiri di depannya dan sedang menyunggingkan senyumnya.
“How’s life?” Ucapnya dengan senyum nyengirnya yang khas.
“Good. And thanks for this sweet fat.” Balas Fenita seraya mengambil tumpukan coklat dan memindahkannya ke laci.
“Matamu kenapa?”
Fenita langsung berpaling. Mati-matian dia berusaha menyembunyikan mata sembabnya karena menangis semalaman setelah membaca buku dari Andra, tetapi Arin masih saja bisa mengetahuinya.
“Habis nangis gara-gara baca buku.” Sahut Fenita. Dia melanjutkan pekerjaannya membaca artikel yang akan terbit.
“Owh, really? Sejak kapan kamu membaca buku lagi?”
“Sejak ada orang yang membelikanku buku.”
“Siapa?” Arin yang terlihat tertarik dengan jawaban Fenita langsung mengambil kursi di depannya. Karena dia tahu, orang yang membelikan buku itu pasti bukan Erick.
“Ada. Seseorang.”
“Laki-laki yang bersamamu membeli perabot rumah tangga seminggu yang lalu?”
Pertanyaan Arin tidak pernah diduga oleh Fenita. Apakah dia melihatnya? Tetapi kenapa selama ini tidak pernah menanyakannya? Tapi, Fenita berusaha untuk bersikap biasa saja, supaya Arin tidak semakin banyak bertanya.
“Siapa dia? Awalnya aku kira itu Erick, karena aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Tetapi, setelah aku ingat-ingat dia sedikit lebih tinggi daripada Erick dan kulitnya sedikit lebih coklat. Ah ya, rambutnya juga berbeda.”
“Teman dari Solo. Kebetulan satu apartemen.”
“Single?”
Fenita sudah menduganya. Pertanyaan itu selalu Arin ajukan setiap kali Fenita mengenal laki-laki. Sahabatnya itu sangat berharap kalau dirinya akan bertemu laki-laki selain Erick.
“Maybe. But, he really loves his ex.”
Arin mengangguk-angguk.
“Tapi tetap saja, masih ada jalan untukmu bisa dekat dengannya. Kamu bisa membantunya lupa dengan masa lalunya.”
Fenita langsung menoleh. Dia meletakkan pulpennya dan merubah posisi duduknya sehingga berhadapan tepat dengan Arin.
“Rin, please. Jangan mengacau. Aku juga masih memiliki ikatan dengan Erick. Aku tidak mungkin tiba-tiba mendekatinya. Bagaimana dengan Erick?”
“Ikatan? Ikatan seperti apa, Fen? Kamu dan Erick hanyalah suka sama suka. Kalian tidak memiliki ikatan apapun. Kalaupun pada akhirnya kamu dengan laki-laki itu, Erick sama sekali tidak berhak melarangnya karena dia sendiri juga tidak bisa meninggalkan istrinya. You have to note that.”
Fenita menghela napas panjang. Apapun yang dikatakannya tentang hubungannya dengan Erick pada Arin, itu akan terlihat seperti pembenaran saja. Kenyataannya, apa yang Arin katakan memang benar. Kami berdua hanya dua orang yang saling mencintai karena masa lalu kami. Masa lalu yang sebenarnya sudah lewat dan kadaluarsa. Cinta monyet semasa SMA tidak seharusnya dibahas lagi saat salah satu sudah menikah dan memiliki anak.
“Oke, I will note that. Jadi, aku mohon, kamu bisa meninggalkan ruanganku karena ada banyak sekali pekerjaan yang harus aku selesaikan. Dan ya, selesaikan hasil liputanmu di Singapura kemarin.”
“Okay.” Arin kemudian beranjak dari kursi dan berjalan keluar dari ruangan Fenita. Dari balik kursinya, Fenita bisa melihat Arin yang berjalan kembali ke mejanya dengan kecewa. Fenita sama sekali tidak menyalahkan Arin. Wajar saja dia bersikap seperti itu. Siapapun sahabat tidak akan pernah tega melihat apa yang terjadi pada sahabatnya yang selalu terluka karena menjadi perempuan simpanan selama lima tahun.
Lagi, Fenita harus menelan pil pahitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Nights With You
RomanceSetiap manusia pasti pernah merasakan patah hati. Mengalami episode terburuk di dalam hidupnya. Ditinggalkan, putus cinta, dipaksa berpisah atau tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Fase paling penting setelah mengalaminya adalah bagaimana ca...