DELAPAN BELAS - TEARS OF SOLITUDE

256 32 0
                                    

“Wen, bisakah kamu membatalkan tiket pesawatku ke Solo minggu depan?” Andra menanyakannya dengan ragu-ragu. Dia membutuhkan waktu yang lama untuk mempertimbangkan keputusannya ini, bahkan dia belum mengatakannya pada Ibunya. Tetapi, dia tidak bisa memikirkan hal lainnya saat melihat Fenita tidur di ranjang rumah sakit dengan jarum infus menancap di pergelangan tangannya.

“Bapak yakin?” Suara Wenny terdengar menggantung. Tentu saja asistennya akan menanyakan pertanyaan itu. Tiket pesawat itu didapatkan dengan susah payah dan harga yang cukup mahal karena berdekatan dengan perayaan Natal.

“Ya. Tapi, aku akan tetap mengambil cutinya.”

“Baik.”

Sambungan telepon lalu ditutup. Dia meletakkan ponselnya di nakas lalu memindahkan pandangannya pada Fenita yang masih tertidur. Beberapa jam yang lalu, saat dia hendak berangkat kerja, dia ingin menemui Fenita yang sudah beberapa hari tidak ada kabar. Andra mulai mengkhawatirkannya, mengingat apa yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan menelepon ponsel Fenita namun tidak diangkat, Andra memutuskan memaksa masuk. Kebetulan dia juga sempat melihat password pintu apartemen Fenita. Dia malah melihat Fenita berbaring di sofa dengan wajah pucat dan berselimut hingga leher. Demamnya tinggi dan badannya lemas. Tanpa banyak bertanya, Andra langsung menggendong Fenita dan membawanya ke rumah sakit.

Dokter hanya mengatakan kalau apa yang terjadi pada Fenita adalah karena stress dan tidak makan apapun selama beberapa hari. Dia akan pulih dengan sendirinya, dan hanya perlu beristirahat. Fenita akhirnya tumbang setelah beberapa kali berpura-pura kuat. Andra pun juga sudah menduganya, karena mana mungkin dia akan tetap kuat setelah kehilangan segalanya.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Arin yang tiba-tiba muncul.

“Sudah membaik. Dia hanya perlu istirahat. Kita bisa bicara di luar.” Andra kemudian beranjak dari kursi dan berjalan keluar kamar. Dia tidak ingin suara mereka mengganggu tidur Fenita.

“Terimakasih sudah menghubungiku.” Ucap Arin saat mereka berdua sudah duduk di kursi tunggu.

“Aku juga membutuhkanmu menjaga Fenita saat aku harus kembali ke kantor.”

“Tentu saja, aku akan menjaganya.”

Andra hanya mengangguk. Mereka lalu saling diam. Hanya suara obrolan-obrolan dari orang-orang yang lewat mengisi keheningan. Hingga, tiba-tiba Andra mendengar suara isak tangis. Dia menoleh dan melihat Arin yang sudah menangis. 

“Aku tidak tahu kalau dia akan sehancur ini. Aku pikir dia akan baik-baik saja karena dia bilang kalau dia tidak lagi menginginkan Erick. Aku pikir peristiwa beberapa tahun yang lalu tidak akan terjadi lagi.” Arin mengatakannya di sela-sela isak tangisnya.

Andra menegakkan posisi duduknya. “Apa yang terjadi?”

“Dia tidak mengatakan padamu? Dia pernah hampir memutuskan nadinya sendiri saat Erick memutuskan hubungan beberapa tahun yang lalu.”

Kening Andra berkerut.
Sampai sejauh itu? Kenapa dia terlihat begitu kuat selama ini, padahal dia sudah melakukan hal sejauh itu?

“Saat terakhir bertemu dengannya, dia bilang kalau dia akan baik-baik saja, karena perasaannya pada Erick tidak lagi sama. Aku hanya mempercayainya begitu saja.”

“Fenita pasti akan baik-baik saja. Apa yang terjadi sekarang hanya karena dia terlalu banyak berpikir? Dia pasti akan membaik. Dia sudah jauh lebih kuat karena dia tidak mengulangi apa yang dilakukannya beberapa tahun yang lalu, kan?”

Arin mengangguk, lalu menghapus airmatanya. “Aku bersyukur karena dia memilikimu sekarang. Kamu pasti akan menjadi kekuatannya untuk melewati semua ini.”

A Thousand Nights With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang