Jalanan cukup padat mendekati libur Natal dan Tahun Baru. Andra harus menembus kemacetan itu dari kantor menuju ke bandara. Dia harus menjemput Ibunya sore ini. Suara Frank Sinatra menjadi temannya di tengah-tengah kemacetan. Dia masih menyukai Frank Sinatra yang menyanyikan lagu Fly Me To The Moon, meski terkadang lagu itu akan membawanya pada ingatan tentang Alessandra. Tetapi, Andra tidak lagi mempermasalahkan hatinya atau otaknya yang terus membawanya pada kenangan masa lalunya. Dia berusaha untuk berdamai dengan masa lalunya dan menjadikannya sebagai bagian dari hidupnya. Tidak perlu lagi merasa kesusahan karena bayang-bayang yang sulit hilang, karena semua itu sudah menjadi bagian dirinya.
Andra melirik jam tangannya. Dia pasti akan terlambat karena seharusnya Ibu sudah mendarat sekarang. Andra menggeser layar ponselnya, dan berusaha untuk menelepon ibunya.
“Halo, Ndra.”
“Ibu sudah mendarat? Aku masih di jalan, tapi sebentar lagi sampai.”
“Tidak apa-apa. Ibu tunggu. Kamu hati-hati saja.”
“Iya. Nanti, aku telepon lagi kalau sudah masuk area bandara.”
“Iya.”
Telepon kemudian ditutup. Andra menambah kecepatan mobilnya agar Ibunya tidak menunggu lama. Ibunya pasti lelah karena ini adalah perjalanan jauhnya setelah waktu yang lama. Ibu juga tidak pernah mengunjunginya selama dia berada di Jakarta.
Mobil yang dikemudian Andra akhirnya masuk ke area bandara. Dia sudah menelepon Ibunya yang sudah menunggu di dekat tempat penjemputan. Andra menghentikan mobilnya saat sudah melihat Ibunya. Dia melangkah turun dari mobil dan langsung menghampiri Ibunya. Dia mencium tangan Ibunya dan memeluknya.
“Maaf ya, bu. Ibu yang harus jauh-jauh kesini jadinya.” Ucap Andra sembari membawakan koper milik Ibunya dan mengajaknya ke mobil.
“Tidak apa-apa. Ibu juga tidak pernah mengunjungimu selama di Jakarta.”
Mereka kemudian masuk ke dalam mobil dan menuju ke apartemen.
“Mobilmu bagus sekarang.” Ucap Ibu setelah naik ke dalam mobil. Ya, mobil Andra memang baru. Dia sudah menjual mobil lamanya yang dulu digunakan dengan Ale.
“Mobil sebelumnya sudah dijual.”
“Tapi, kalau di Solo selalu naik motor butut lagi.”
Andra tertawa mendengarnya. “Sama aja kan, bu. Kalau ke Solo juga enggak pergi jauh-jauh. Naik motor juga cukup.”
Ibu tersenyum sembari menepuk pundak anak laki-lakinya satu-satunya. “Tetaplah menjadi anak Ibu yang sederhana.”
“Pasti.”
***
Fenita sudah sibuk sendiri di dapur. Meski kondisi tubuhnya masih belum sehat betul, dia tetap saja memaksakan diri untuk memasak. Andra sebenarnya juga melarang dan menyarankan untuk membeli makanan saja, tetapi Fenita tidak mau mendengar. Tadi pagi, dia bahkan pergi ke pasar untuk membeli beberapa sayuran.
Beberapa piring sudah diletakkan di meja makan, dan sudah terisi dengan sayuran juga udang bakar madu. Dia juga sengaja memasak ayam kare. Dia tidak tahu makanan apa kesukaan Ibunya Andra, sehingga dia memasak berbagai jenis masakan. Setelah, semua masakan siap, dia membersihkan dirinya dan mengganti bajunya yang bau masakan. Tepat setelah itu, bel pintu berbunyi.
Mereka sudah datang, batin Fenita sembari berjalan cepat untuk membuka pintu.
Ibunya Andra tersenyum melihatnya dan langsung memeluknya. Persis seperti pelukan seorang Ibu yang lama tidak bertemu anaknya. Pelukan yang sangat lama sekali tidak dirasakannya dan membuat hati Fenita terasa mencelos. Dia nyaris menangis, namun dia berusaha menahannya dan menutupinya dengan senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Nights With You
RomanceSetiap manusia pasti pernah merasakan patah hati. Mengalami episode terburuk di dalam hidupnya. Ditinggalkan, putus cinta, dipaksa berpisah atau tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Fase paling penting setelah mengalaminya adalah bagaimana ca...