TUJUH - NECTAR OF PAIN

265 36 2
                                    

Bunga mawar merah sudah mulai kehilangan keindahannya dan satu persatu jatuh berguguran di meja keramik. Warnanya pun tidak lagi merah. Meski berada di dalam pot berair pun, mawar juga bisa mengering karena terlepas dari akarnya. Fenita meraih buket bunga yang sejak beberapa hari yang lalu di simpannya di dalam pot dan membuangnya. Secantik apapun bunga, jika sudah kehilangan keindahannya, pasti juga akan dibuang.

Fenita kemudian berjalan menuju ke lemari pendingin dan mengambil air mineral. Dia meminum hingga separuh botol. Tenggorokannya terasa sangat kering setelah berlari di sekitar apartemen. Di hari libur seperti ini, dia akan menyempatkan untuk berlari mengelilingi apartemen, hanya untuk menyegarkan tubuhnya yang lebih sering duduk di kursi selama lima hari. Dia kemudian meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Tidak ada pesan yang masuk. Erick seperti biasa tidak akan pernah menghubunginya di akhir pekan. Dan Andra, masih belum membalas pesan yang dikirimkannya semalam. Andra juga tidak mengangkat teleponnya meski dia sudah menghubungi berkali-kali.

Sebenarnya, dia pun tidak ingin mencari tahu tentang keberadaan Andra. Semalam, dia hanya ingin mencari teman untuk minum soda bersama dan melihat gemerlap lampu kota. Bercerita tentang apa saja karena dia tidak mau sendirian. Tetapi, setelah berkali-kali mengetuk pintu dan menelepon, Andra masih tidak merespon. Apakah dia pulang ke Solo? Fenita juga tidak tahu dan tidak mempunyai hak untuk tahu kemanapun perginya Andra. Namun, kekhawatiran merambatinya saat Andra tidak merespon sama sekali pesannya sejak semalam. Dia takut terjadi sesuatu dengan laki-laki yang baru dikenalnya seminggu kemarin.

Kecemasan Fenita menghilang ketika laki-laki yang dikhawatirkannya akhirnya menelepon. Dan dia terdengar baik-baik saja saat mengucapkan ‘halo’.

“Apakah aku menganggumu dengan teleponku semalam?” tanya Fenita.

“Tidak. Aku hanya sedang ada kepentingan.”

“Oh. Kamu sedang tidak di Jakarta? Semalam aku mengetuk pintumu tapi tidak ada jawaban.”

“Ya. Aku sedang berada di Jogja.”

Jogjakarta mengingatkan Fenita pada perempuan yang ada di foto yang terpasang di apartemen Andra. Dia pasti sedang menemui perempuan yang disebutnya mantan kekasih. Apakah terjadi sesuatu hingga Andra harus datang ke Jogja lagi? Fenita buru-buru menghapus pikiran itu, karena dia hanyalah orang yang baru dikenal Andra dan tidak berhak mencampuri urusan pribadinya.

“Kamu mau titip sesuatu mumpung aku di Jogja?” tanya Andra memecah keheningan.

“Hmm. Aku tidak tahu apa yang bagus dan enak di sana karena sudah lama sekali tidak kesana.”

“Ooh. Aku tutup dulu teleponnya karena aku harus segera ke bandara.”

“Ooh, ya. Hati-hati.”

“Iya.”

“Ndra…”

“Ya?”

“Mau aku siapkan makan malam?”

Hening tiba-tiba. Fenita pun menggigit bibirnya sendiri dan menyesali pertanyaannya. Kenapa dia harus menawarkan makan malam seolah-olah mereka sudah dekat satu sama lain?

“Boleh. Asal tidak merepotkanmu.”

Bibir Fenita langsung tertarik ke samping. Tiba-tiba dia merasa bersyukur kalau mulutnya mengeluarkan pertanyaan itu, tanpa disadarinya. Lalu, telepon ditutup. Fenita masih terpaku di tempatnya berdiri. Bagaimana bisa hatinya bergerak tanpa mengindahkan pikirannya sama sekali?

Lalu, dia sadar kalau dia harus segera bersiap karena lemari pendinginnya sedang tidak terisi bahan makanan apapun. Dia harus pergi belanja terlebih dulu.

A Thousand Nights With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang