Kereta berjalan cepat membuat pemandangan fatamorgana di mata penumpang yang sedang menikmati pemandangan sawah di luar sana. Seolah-olah padi yang menguning itu juga ikut bergerak seiring dengan cepatnya roda kereta. Fenita menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, mencoba untuk duduk senyaman mungkin. Dua jam lagi, kereta akan berhenti di stasiun Tugu setelah semalaman bergerak dari Jakarta.
“Teh hangat untukmu.” Andra menyodorkan papercup berisi teh hangat yang dibelinya dari gerbong makanan.
“Terima kasih.” Fenita menerimanya dan menggenggam papercup itu dengan kedua tangannya, sehingga rasa hangat langsung menjalar di telapak tangannya yang kedinginan karena AC kereta.
“Kopimu mana?” tanya Fenita kemudian saat melihat Andra tidak membawa apapun di tangannya.
Andra malah meringis. “Sudah habis waktu ngobrol sama Abimana, suaminya Ale.”
“Ooh. Ada Ale juga?” balas Fenita singkat.
“Masih cemburu sama Ale?” tanya Andra setelah melihat ekspresi Fenita.
“Kenapa cemburu? Kan kamu sudah jadi suamiku.” Bibir Fenita mengembangkan senyum. Matanya mengerling.
“Sepertinya kamu senang sekali jadi istriku?”
“Ya, tentu saja. Aku punya suami kamu dan little kiddo di perutku.” Sahutnya sambil mengelus perutnya yang terlihat sedikit buncit.
Andra tertawa mendengarnya. Dia kemudian menggerakkan tangannya juga menyentuh perut Fenita. “Berbaik-baiklah dengan Ibumu ya, Nak. Supaya Ibumu juga enggak cerewet-cerewet banget sama Ayah.”
“Kapan aku cerewet?”
“Hmm, lupa? Waktu kamu di trimester pertama dan masih sering mual-mual, aku di Jakarta dan kamu di Solo, berapa kali kamu telepon aku dan mengomel karena kita harus tinggal beda kota. Katanya aku enggak perhatian, ninggalin kamu mual sendirian. Kamu merengek-rengek kalau malam, minta ditemenin.”
Fenita manyun mendengarnya. Bagaimana bisa Andra merinci semuanya?
“Ya, namanya Ibu hamil juga maunya diperhatiin. Kamu kok jahat sih?”
“Eeh, aku baik dong. Makanya minta pindah ke Jogja.”
“Hmm, sayangnya enggak di Solo.”
Andra menoleh pada istrinya. Bibirnya tersenyum melihat kemanjaan Fenita. “Sini rebahan di pundak, biar enggak mengeluh saja.”
Tanpa menunggu lama, Fenita langsung menyandarkan kepalanya di pundak Andra.
“Nyamannya seperti ini.” gumamnya.“Fen…”
“Hmm?”
“Terimakasih mau menikah denganku. Mau menjadi Ibu dari anakku.” Ujar Andra dengan lembut. Tangannya menepuk-nepuk punggung tangan Fenita dengan lembut.
“Kamu tahu? Aku yang setiap hari bersyukur pada Tuhan karena telah mempertemukanku dengan laki-laki seperti kamu. Kamu sudah menarikku dari jurang yang aku bahkan tidak tahu dasarnya. Kamu mengenalkanku pada cinta yang sesungguhnya dan mengajakku menikah tanpa ragu-ragu. Tidak ada yang lebih aku syukuri daripada kamu dan anak kita di dalam perutku ini.” Fenita mengatakannya seraya mengingat kembali semua hal yang pernah dilewatinya dulu. Betapa buruknya dia dulu dan Andra sudah membantunya berubah.
“Kamu tidak bersyukur kalau sekarang kita bisa tinggal serumah di Jogja?”
Fenita tertawa kecil. “Tentu saja bersyukur karena mulai sekarang aku punya suami yang akan menemaniku makan di tengah malam kalau lapar.”
“Astaga, Fen. Kamu tahu enggak kalau perutku juga ikut buncit gara-gara kamu?”
“Enggak apa-apa. Kita kan sama-sama buncitnya. Itu namanya cinta.”
Andra ikut tertawa. Sejak menikah dengan Fenita satu tahun yang lalu, hidupnya sudah mulai berubah. Kalau dulu prioritasnya adalah bekerja dan karir, dia sekarang memiliki orang yang juga harus diprioritaskan. Dia pun memutuskan untuk mengajukan pindah ke Jogjakarta karena Fenita menolak untuk tinggal di Jakarta. Sebenarnya, dia ingin tinggal di Solo tetapi tidak ada jabatan di sana yang sesuai dengan posisinya sekarang. Setidaknya, sekarang dia bisa tinggal bersama Fenita dan bayinya yang ada di perut Fenita.
Terdengar pengumuman dari pengeras suara kalau kereta akan berhenti di Stasiun Tugu sebentar lagi. Andra mulai bersiap dengan barang bawaannya. Beberapa penumpang sudah tampak berdiri dan mendekati pintu keluar, namun Andra lebih bersabar karena istrinya sedang hamil dan dia tidak mungkin mengajaknya berdesak-desakan. Setelah beberapa penumpang turun, Andra menggandeng Fenita turun dari kereta.
Stasiun Tugu memang tidak pernah sepi penumpang. Beberapa orang tampak hilir mudik di sekitar. Andra berjalan di antara kerumunan itu. Dan dari semua kerumunan orang itu, dia bisa menemukan sosok perempuan yang sedang menatapnya di kejauhan sana. Perempuan itu tampak terpaku menatap ke arahnya. Setelah terakhir bertemu di pemakaman Ibunya, dia bertemu lagi dengan Alessandra. Perempuan itu pasti sedang menjemput suaminya yang juga naik kereta dengannya. Alessandra terlihat lebih gemuk. Dia tampak sedang hamil besar. Andra tersenyum melihatnya. Pada akhirnya, dia ataupun Alessandra menemukan kebahagiaannya masing-masing.Takdir seseorang mungkin bersinggungan, namun bukan berarti akan terus bersama. Bisa saja memang disinggungkan sesaat untuk saling belajar, untuk terluka lalu bangkit. Dua orang bisa saja bertemu karena sebuah kebetulan yang tidak terduga, karena semesta memang menciptakan pertemuan itu. Tetapi, tidak selalu apa yang dipertemukan semesta itu akan menjadi selamanya. Kadang, memang kita harus dipertemukan dengan seseorang dulu lalu terluka, agar nanti kita bisa bertemu dengan orang yang benar-benar tepat untuk kita.
“Melihat apa, Ndra?” Suara Fenita menggugah Andra lamunannya.
“Ah, tidak. Ayo!” Andra mempererat genggaman tangannya pada Fenita. Tidak ada yang lebih berarti baginya sekarang, selain perempuan yang sedang bersamanya ini. Dia mungkin pernah mempunyai cinta yang besar di masa lalunya, tetapi sekarang dia sudah memiliki dunia yang jauh lebih besar dari cintanya itu. Dunia dimana dia akan tetap tinggal di dalamnya dan tidak pernah pergi.
-END-
Terimakasih untuk semua pembaca setia 'A Thousand Nights With You'. Akhirnya, kita sudah sampai di penghujung kisah Andra.
Masih ada satu serie lagi dengan kisah Alessandra. Tapi, belum tahu akan diupload kapan. Tetap setia menunggu, ya...
Love you all.😊
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Nights With You
RomanceSetiap manusia pasti pernah merasakan patah hati. Mengalami episode terburuk di dalam hidupnya. Ditinggalkan, putus cinta, dipaksa berpisah atau tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Fase paling penting setelah mengalaminya adalah bagaimana ca...