TIGA PULUH - GRIEFING

264 39 0
                                    

Andra tidak bisa mengendalikan dirinya. Dia bahkan sampai terjatuh ke lantai saat mendengar kabar dari Fenita. Perasaannya campur aduk antara sedih, marah, menyesal, dan kecewa. Saking campur aduknya, dia bahkan sampai tidak bisa menangis. Untuk beberapa saat, dia masih terduduk di lantai, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja didengarnya.

“Ndra, sesuatu terjadi?” Bara yang sejak tadi duduk di sofa sembari melihat televisi langsung bereaksi. Dia tahu kalau sesuatu yang buruk pasti baru saja terjadi sehingga Andra menjadi seperti itu.

“Aku… aku harus pulang, Bar.” Andra terbata mengatakannya.

“Aku antar.” Bara dengan cepat langsung menuju kamar. Mengemasi beberapa baju Andra dan juga bajunya. Dia yang masih bisa berpikir harus melakukan hal realistis yang tidak bisa dilakukan Andra.

Sepuluh menit kemudian, dia keluar dari kamar dengan membawa koper. 

“Ayo.” Bara membantu Andra untuk bangkit dari lantai, lalu mengajaknya menuju ke basement.  Untuk saat ini, hal paling mungkin adalah pergi ke Solo dengan mobil. Tidak mungkin harus mencari tiket pesawat sekarang. Andra juga tidak mungkin mau menunggu hingga besok pagi.

Mobil yang Bara kemudikan melesat menyelusuri jalanan Ibukota yang masih ramai menuju ke jalur tol menuju ke Solo. Sesekali Bara melirik ke Andra yang masih diam di kursi penumpang. Dia tidak mengatakan apapun meski sesekali terlihat menghapus airmatanya yang menetes. Kehilangan satu-satunya orang tua tidak akan mudah dihadapi. Apalagi saat kita menyadari kalau kita belum bisa mewujudkan keinginan orang tua.

***

Beberapa orang tampak hilir mudik menata bunga ataupun kursi, menyambut tamu ataupun melakukan persiapan ibadah. Sementara Fenita hanya bisa duduk diam di samping peti jenazah Ibunya Andra. Matanya sudah bengkak karena tidak bisa berhenti menangis sejak dokter menyatakan waktu kematian Ibu. Dia tidak menyangka kalau Ibu akan meninggalkannya secepat ini. Dia bahkan masih ingat bagaimana Ibu menggenggam tangannya tadi sebelum tertidur. Dia juga masih melihat Ibu bernapas dengan tenang sebelum berjalan keluar kamar sebentar. Dia benar-benar sangat menyesal telah meninggalkan Ibu tadi. Seharusnya, dia tetap di samping Ibu, sehingga dia bisa segera memanggil dokter saat melihat Ibu yang tiba-tiba kesulitan bernapas.

Terdengar suara bergumam dari beberapa orang. Fenita menoleh dan melihat Andra berjalan ke arahnya. Wajahnya pias. Matanya juga merah. Dia pasti tidak percaya dengan apa yang terjadi. Sesampainya di samping peti jenasah Ibunya, dia langsung menyentuh tangan Ibu. Dia menggumamkan sesuatu dengan suaranya yang bergetar. Airmatanya mengalir dengan deras. Hatinya pasti hancur ditinggalkan Ibunya tiba-tiba.

Fenita memilih mendekatinya dan menepuk pundaknya dengan lembut. Dia ingin menguatkan Andra. Namun, respon Andra justru di luar dugaannya. Andra menyisihkan tangan Fenita dari pundaknya dan meminta untuk ditinggalkan sendiri dengan Ibunya. Fenita berusaha mengerti dan berjalan mundur. Dia kemudian duduk di kursi yang berada cukup jauh dari peti dan membuka lagi alkitab yang sejak tadi tidak pernah terlepas dari tangannya.

“Fenita?”

Fenita menoleh ke arah orang yang berdiri di dekatnya dan menyebutkan namanya. Dia tidak pernah bertemu dengan laki-laki ini, tetapi bagaimana dia tahu namanya.

“Bara. Sahabatnya Andra.” Dia kemudian duduk di kursi yang berada di sebelah Fenita. Pandangannya tertuju pada sahabatnya yang masih menangis di samping peti jenasah Ibunya.

“Dia pasti sangat terpukul. Kamu bersabar saja.”

Fenita mengernyitkan keningnya. Bagaimana bisa laki-laki ini tiba-tiba menyimpulkan seperti itu?

“Dia sangat terpukul dengan kepergian Ibunya, sementara dia belum bisa mewujudkan satu-satunya keinginan Ibunya.”

“Aku tahu.”

“Tetaplah berada di dekatnya. Dia pasti sangat membutuhkanmu di saat-saat sulitnya seperti ini.”

Fenita mengangguk. Tentu saja, dia tidak akan pernah meninggalkan Andra kecuali memang itu yang diinginkan Andra.

***

Beberapa orang tampak mengitari makam yang dipenuhi dengan bunga. Liang lahatnya masih terbuka dan peti Ibu masih berada di sisi liang. Seorang pendeta sedang membacakan doa. Fenita melirik ke arah Andra di sampingnya. Matanya bengkak dan wajahnya memucat karena terlalu banyak menangis. Dia bahkan tidak mau makan apapun sejak datang kemarin. Di samping kanan Andra, ada seorang perempuan yang sejak kemarin selalu berdiri di sampingnya dan menguatkannya. Perempuan itu pertama kali dilihat Fenita dari foto di apartemen Andra. Perempuan bernama Alessandra itu tidak pernah meninggalkan Andra sejak kemarin, bahkan Andra tampak bersandar di pundaknya semalam.

Ada yang terasa sakit di hati Fenita, namun dia terus berusaha untuk memahami sikap Andra. Dia terus berusaha berpikir positif kalau Andra hanya membutuhkan waktu untuk menerima kenyataan. Kekecewaan Andra padanya-lah yang menjadi penyebab sikap dinginnya. Pandangan Fenita kemudian beralih pada peti yang mulai dimasukkan ke dalam liang. Hatinya semakin terasa hancur karena dia juga harus mengikhlaskan perempuan yang sangat menyayanginya seperti Ibunya sendiri. Perlahan, tanah merah itu mulai dimasukkan kembali ke liang lahat hingga benar-benar menutup tanah dan menjadi gundukan. Beberapa bunga tampak ditaburkan di atas tanah merah. Nisan berbentuk salib juga ditancapkan. Andra berjongkok di samping makam Ibunya dan mengelus nisan bertuliskan nama Ibunya. Sesekali dia menaburkan bunga di atas makam. Dia bahkan masih bertahan di makam saat semua orang mulai berjalan meninggalkan makam. Sekarang, hanya tersisa tiga orang selain Andra di makam, Fenita, Alessandra dan Bara. Mereka sedang menunggui Andra yang masih ingin bersama Ibunya. Mereka baru beranjak setelah Andra juga beranjak.

Selama di dalam mobil juga tidak ada suara sama sekali. Bara hanya fokus mengemudikan mobil, sementara Fenita duduk di kursi depan. Di kursi belakang ada Andra dan Alessandra yang juga saling diam. Beberapa kali, Fenita melirik ke kursi belakang. Dia sedang mengkhawatirkan Andra, tetapi di saat yang sama, dia juga terluka karena sikap Andra pada Alessandra. Bara kemudian memberi isyarat pada Fenita kalau Andra akan baik-baik saja. 

Mobil berhenti di depan rumah Andra. Dia langsung turun dari mobil dan mengurung diri di kamar. Fenita yang mengejarnya saja tidak punya kesempatan karena pintu kamarnya terlanjur ditutup rapat. Fenita akhirnya memilih berjalan menuju ke dapur, membuatkan dua cangkir teh hangat untuk Bara dan Alessandra. Saat kembali ke ruang tamu, Fenita menghentikan langkahnya ketika mendengar pembicaraan Bara dan Alessandra.

“Kenapa kamu bersikap begitu pada Andra?”

“Maksudmu sikap seperti apa?”

“Seolah-olah kalian masih bersama.”

Mereka mengatakannya dengan setengah berbisik, tetapi cukup terdengar jelas di telinga Fenita.

“Aku kan hanya menghiburnya. Dia pasti sedang terluka.”

“Tapi, kamu tidak perlu melakukannya karena Andra juga punya kekasih yang seharusnya melakukan apa yang kamu lakukan. Karena kamu datang dan tidak berpindah dari samping Andra, perempuan itu jadi segan untuk mendekati Andra.”

Alessandra kemudian terdiam. Dia tampak meremas tangannya sendiri. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang.

“Coba kalau sekarang ada Abimana di sini, apa kamu juga akan bersikap seperti itu dan menyakiti suamimu sendiri? Kamu seharusnya ingat hubunganmu dengan Andra sudah berakhir.”

Raut wajah Alessandra terlihat kesal. “Ya sudah, aku pulang saja.” Dia kemudian beranjak dari sofa ruang tamu dan berjalan keluar. Fenita yang merasa tidak enak langsung meletakkan nampan dan berlari mengejarnya, namun Bara menghalanginya. 

“Biar aku saja. Kamu jaga Andra, ya. Kalau butuh sesuatu hubungi aku. Aku akan kembali ke hotel.”

Fenita mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Setelah itu, Bara berjalan cepat menyusul Alessandra yang sudah sampai pagar rumah. Mereka tampak berdebat di depan pagar sampai akhirnya Alessandra bersedia mengikuti Bara.

Sesuatu kemudian terbersit di dalam pikiran Fenita setelah mendengar pembicaraan tadi. Apakah sebenarnya masih ada cinta di antara Alessandra dan Andra, hanya saja mereka tahu kalau cinta tidak akan cukup untuk membuat mereka bersama?

Sekali lagi, hati Fenita teriris.

***

A Thousand Nights With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang