DUA PULUH SEMBILAN - LIKE A MOM

280 36 1
                                    

Hembusan angin terasa dingin saat menerpa kulit. Langit juga mendung sejak pagi, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Fenita mendorong kursi roda karena Ibu ingin jalan-jalan di halaman rumah sakit. Ibu bilang bosan karena terlalu lama di kamar. Hari ini adalah hari ketujuh ibu berada di rumah sakit dan Andra juga sedang berada di Jakarta. Beberapa hari ini, dia harus bolak balik Jakarta-Solo, hanya untuk memastikan Ibunya baik-baik saja. Meski Fenita selalu memberikan kabar tentang kondisi Ibu dan hasil pemeriksaan dokter, namun Andra lebih senang jika bisa melihat Ibunya sendiri.

“Di sini saja, Fen.”

Fenita mengangguk lalu mengunci roda kursi agar tidak bergerak. Dia kemudian duduk di bangku yang berada di samping Ibu.

“Rasanya segar sekali.” gumam Ibu sembari mendongak ke atas. Merasakan hembusan angin menerpa wajahnya.

Fenita senang melihat Ibu semakin membaik tiap harinya. Menurut dokter, Ibu bahkan bisa pulang minggu depan.

“Fen…”

“Ya, bu?”

“Kapan kamu mau menikah dengan Andra?”

Mata Fenita membulat mendengar pertanyaan Ibu. Kenapa tiba-tiba membahas pernikahan? Dia dan Andra baru saja memutuskan untuk bersama, bahkan belum ada satu bulan.

“Ibu ingin bisa melihat kalian menikah. Ibu ingin bisa melihat cucu Ibu. Ibu sudah menunggunya sangat lama.”

Meski Ibu mengatakannya dengan senyum di bibirnya, namun entah kenapa ucapan Ibu justru terdengar menyakitkan. Fenita bahkan hanya bisa menggigit bibirnya. Dia tidak bisa jika tiba-tiba harus menikah dengan Andra. Dia baru saja berdekatan dengannya dan dia tidak bisa memutuskan apakah karakter mereka akan cocok sebagai pasangan.

“Fen…”

“Ya?”

“Kamu masih tidak mau menemui Mamamu?”

Fenita cukup terkejut dengan pertanyaan Ibunya Andra. Selama ini, Ibu tidak pernah membahas sekalipun tentang keluarganya.

“Sepertinya, Mamamu akan bahagia mendengar kabar kamu dekat dengan Andra. Dulu, itu adalah cita-cita kami berdua.”

“Apakah Ibu berkomunikasi dengan Mama?”

Ibunya Andra mengangguk. 

“Apakah Mama mengatakan sesuatu tentang aku?”

Ibu tidak langsung menjawab. Pandangannya beralih pada Fenita. Dia memandang kekasih anak laki-lakinya dengan tatapan yang teduh. “Kalau kamu ada waktu, bicaralah dengan Mamamu. Tidak baik kalau anak bertengkar dengan orangtuanya sendiri.”

Fenita menunduk. Matanya sudah berkaca-kaca karena hatinya terasa sangat sakit mendengar ucapan Ibu. Ingatannya masih merekam dengan jelas bagaimana Mamanya sendiri memilih untuk mengusir anaknya hanya karena tidak ingin malu pada orang lain. Memilih untuk mengakhiri hubungan Mama dan Anak demi gengsi dan harga diri. Dia menyeka airmatanya yang terlanjur menetes dengan sudut jarinya. Tetapi bukannya berhenti, airmatanya justru semakin deras mengalir. Apalagi setelah merasakan tangan Ibu menyentuh punggungnya dan mengelusnya dengan lembut.

“Jadilah seorang anak yang berlapang hati. Terkadang, orang tua juga tidak selalu benar dan melakukan kesalahan. Seperti Tuhan yang akan selalu mengampuni hambanya, tidak ada salahnya kalau kamu yang mendatangi Mamamu dulu dan meminta maaf.”

Fenita menghapus airmatanya. Dia bahkan harus menarik napas panjang untuk melegakan sesak di dadanya. 

“Apakah Mama masih akan menganggapku anaknya?” Suara Fenita terdengar bergetar. 

“Kamu tidak akan tahu sebelum mencobanya.”

Fenita tidak merespon apapun. Hatinya masih terlalu sakit untuk menghadapi Mamanya lagi. Dia takut kalau Mamanya akan bersikap sama dan membuatnya semakin terluka. Bertahun-tahun dia hidup terpisah, dia bahkan tidak pernah mendengar ponselnya berdering karena telepon dari Mamanya atau keluarganya, padahal dia tidak pernah sekalipun mengganti nomor ponselnya. Lalu, bagaimana dia bisa berpikir kalau dia masih akan diterima oleh Mamanya lagi?

***

“Bagaimana kondisi Ibu, dok?” tanya Fenita ketika dokter datang untuk melakukan pemeriksaan rutin setiap harinya.

“Ibu harus beristirahat. Tekanan darahnya tinggi lagi. Ini akan berbahaya untuk kondisi jantung Ibu.” ucap dokter.

“Bukannya kemarin Ibu sudah membaik?” Fenita tampak cemas mendengar penjelasan dokter. Bagaimana bisa kondisi Ibu jadi memburuk lagi, padahal lusa sudah boleh pulang.

“Mungkin, Ibu memikirkan sesuatu. Faktor stress juga bisa menjadi penyebab naiknya tekanan darah. Nanti, suster akan memberikan tambahan obat untuk menurunkannya.” Jawab dokter sebelum berjalan pergi dari kamar karena masih ada pasien lagi yang harus diperiksa.

“Ibu mikir apa, bu?” tanya Fenita setelah dokter pergi.

Ibu menggeleng. Bibirnya tersenyum lagi. Dia kemudian menggerakkan tangannya lalu mengelus rambut Fenita dengan lembut.

“Ibu baik-baik saja, Fen. Seperti yang dokter bilang, Ibu hanya perlu istirahat.”

“Kalau begitu, Ibu istirahat ya. Aku akan menunggu Ibu di sini.”

Fenita mengambil kursi lalu duduk di samping ranjang Ibunya Andra. Sejak Ibunya Andra masuk rumah sakit, dia memang setiap hari berada di rumah sakit dan tidur di sofa. Dia merawat Ibunya Andra seperti Ibunya sendiri.
Ibu mengangguk, lalu memejamkan matanya. Tangannya masih memegang tangan Fenita, hingga akhirnya terlelap. Sementara Fenita masih dengan setia duduk di samping Ibu dan menepuk-nepuk punggung tangan Ibu dengan lembut. Di dalam hati dia sangat bersyukur karena Tuhan mempertemukan dirinya dengan Andra dan juga Ibunya. Karena sejak Andra mengajaknya ke Gereja satu tahun lalu, dia tidak pernah absen untuk pergi ke Gereja ataupun membaca Alkitab. Bahkan di rumah sakit ini, dia juga membacakan alkitab untuk Ibu setiap malam hari sebelum Ibu tidur.

***

A Thousand Nights With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang