DUA BELAS - A STEP TO BE CLOSER

235 35 0
                                    

Menjalani presentasi, melakukan revisi sesuai perintah direktur, rapat dengan karyawan lain, atau melakukan pertemuan dengan pihak ketiga adalah beberapa jadwal Andra yang membuatnya cukup sibuk beberapa minggu ini. Berangkat lebih pagi dari biasanya dan pulang ketika banyak orang sudah mulai tidur. Semakin tinggi posisi yang diduduki maka akan semakin kencang pula angin yang bertiup dan harus semakin kuat pula akar kita untuk bertahan. Itulah prinsip yang terus dipegang Andra sejak dulu. Tuntutan pekerjaan yang semakin besar dan tekanan yang tidak ada habisnya membuatnya harus mencari cara untuk menguatkan dirinya dan posisinya sendiri. Tanggung jawabnya yang besar membuatnya harus belajar untuk menjalani semua kewajibannya dengan totalitas. Dan di antara semua kesibukannya itu, alasan paling kuatnya adalah dia ingin menyibukkan dirinya sendiri dan menghilangkan waktu untuk diam dan mengingat lukanya. Setiap hari selama 24 jam, dia hanya pulang untuk tidur selama 5 jam setelah itu berangkat ke kantor lagi. 

“Ini tiket dan paspornya, Pak.” Wenny, asisten Andra mengulurkan tiket pesawat dan paspor miliknya ke Hongkong untuk perjalanan nanti malam.

Andra menerimanya dan membacanya sekilas. “Terima kasih. Kamu kirimkan berkas-berkas yang harus saya pelajari lewat email saat saya di sana nanti.”

“Iya, Pak.” Wenny lalu melangkah keluar dari ruangan Andra.

Selama satu minggu ke depan dia harus berada di Hongkong untuk menghadiri peresmian kantor baru di sana. Sebenarnya, itu bukan tugasnya. Tetapi, atasannya sedang tidak bisa berangkat karena berbenturan dengan acara yang diadakan Direktur. Mau ataupun tidak, Andra harus berangkat nanti malam dan meninggalkan semua pekerjaannya selama satu minggu. Itu berarti dia akan kerja lembur setelah pulang dari Hongkong.

Andra melirik jam tangannya. Sudah pukul 12 siang. Itu berarti dia harus pulang dan mulai berkemas untuk perjalanan yang mendadak ini. Dia kemudian menutup laptop dan mulai membersihkan mejanya. Tangannya meraih ponsel dan beberapa file lalu melangkah keluar dari ruangan.

“Saya pulang ya, Wen. Kalau ada yang cari, kamu langsung telepon saya.”

“Iya, Pak.”

Andra tersenyum, lalu melangkah menuju ke lift. Dia melihat ke jam tangannya lagi. Saatnya, makan siang. Mungkin dia bisa mampir di suatu tempat dulu untuk makan siang.

***

Fenita duduk di depan Erick. Dia menunggu instruksi dari atasannya itu setelah membaca dokumen yang dibawanya. Jarinya memainkan pulpen untuk membunuh kebosanan.

“OK. Kamu lanjutkan saja.” Ucap Erick lalu mengulurkan kembali dokumen yang diberikan Fenita.

“OK. Saya akan mulai kerjakan.” Fenita kemudian beranjak dari kursi dan berjalan menuju pintu.

“Fen…” Panggilan Erick membuat Fenita menghentikan langkah dan menoleh.

“Aku suka dengan penampilanmu hari ini.” Erick memujinya dengan sebuah senyuman tersungging di bibirnya.

Thanks.” Fenita membalas senyuman Erick lalu berjalan keluar ruangannya. Bibirnya masih menyunggingkan senyum bahkan setelah keluar dari ruangan Erick. Bukan karena dia merasa tersanjung dengan pujian Erick, tetapi dia merasa sikap Erick benar-benar lucu. Bagaimana bisa dia masih memujinya padahal sudah beberapa minggu dia tidak datang ke apartemen karena keberadaan Saphira di rumah? Ya. Setelah kepergiannya yang tiba-tiba karena telepon dari Theon, Erick tidak pernah mendatanginya lagi di apartemen. Hanya sesekali saja dia mengirim pesan dan mengatakan rindunya, tetapi setelah itu tidak ada yang terjadi.

“Gimana?” tanya Arin yang sudah menunggu di ruangan Fenita. Wajahnya benar-benar cemas. Dia takut kalau Erick akan menolak artikelnya.

“OK. Erick setuju. Nanti aku kirimkan ke kamu kalau sudah aku edit.”

Yes!” Wajah Arin langsung sumringah mendengarnya. Artikel tentang kesuksesan wanita dengan karir dan keluarganya sudah disiapkannya sejak lama, dan dia sudah mengincar seorang public figure untuk dilakukan interview. Dia hanya perlu persetujuan Erick untuk menghubungi public figure itu.

“Bagaimana kalau kita makan siang dulu?” ajak Fenita. Perutnya terus berbunyi sejak tadi karena dia tidak sarapan tadi pagi.

“Iya, aku juga lapar.”

Mereka berdua lalu berjalan keluar ruangan menuju ke lantai bawah. Seperti biasa, mereka akan makan di restoran yang berada di seberang kantor. Lift bergerak cepat menuju ke lantai dasar. Tidak ada yang berbicara di dalam lift, karena baik Fenita maupun Arin sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Namun, keheningan itu terinterupsi saat tiba-tiba ponsel Fenita berbunyi. Nama Andra tertera di layar. Fenita mengerutkan kening. Ada apa Andra tiba-tiba menelepon? Selama beberapa minggu ini dia jarang terlihat.

“Hai.”

“Hai.”

“Sibuk?”

“Enggak. Ini mau makan siang.”

“Mau makan siang denganku? Aku sedang berada di dekat kantormu.”

Fenita mengulum senyum. Tidak biasanya, Andra mengajaknya makan siang. Apalagi, letak kantor mereka cukup jauh.

“OK. Aku tunggu di lobby. Kamu tahu kantorku, kan?”

“Tentu saja. Aku sudah berada di depan kantormu.”

Fenita tertawa mendengarnya. Bagaimana bisa dia bilang kalau dia sedang berada di dekat kantor sementara dia sebenarnya sudah menunggu di depan kantor. Fenita lalu menoleh pada sahabatnya di sebelahnya.

“Hmm, gimana ya? Andra mengajakku makan siang.”

Arin langsung tersenyum lebar. “Demi masa depan kalian berdua, aku rela makan siang sendirian.”

“Apaan sih!”

Congratulation. Kalian sudah melangkah satu step menuju ‘cinta’.”

Fenita tertawa sendiri mendengarnya. Dia lalu menepuk pundak Arin dan melangkah cepat menuju ke depan lobby. Mobil SUV milik Andra sudah terlihat. Saat Fenita sudah dekat, Andra melangkah turun dari mobil dan membukakan pintu.

“Thanks.” 

Setelah menutup pintu, Andra kembali ke kursi kemudi dan menjalankan mobil meninggalkan halaman kantor Fenita.

“Tumben kamu ada di luar kantor?”

“Aku sedang dalam perjalanan pulang dan berpikir untuk makan siang. Karena malas makan sendiri, aku meneleponmu.”

“Pulang? Kamu sakit?” tanya Fenita dengan cemas.

“Tidak. Aku harus ke Hongkong nanti malam dan belum berkemas sama sekali.”

Work staycation?”

Kind of. Perjalanan mendadak karena atasan tidak bisa berangkat.”

“Berapa lama?”

“Seminggu.”

Nice. Kamu bisa pergi ke Sky Terrace. Pemandangan malam di sana luar biasa.”

“Aku tidak sedang berlibur, Fen. Belum tentu ada waktu untuk kesana.”

“Setidaknya, kamu harus kesana.”

“OK. Aku akan kesana kalau ada waktu. First place to visit.” Andra tersenyum saat mengatakannya. Dia menoleh sesaat pada Fenita yang juga ikut tersenyum.

“Kamu cantik hari ini.” pujinya kemudian yang membuat senyum di bibir Fenita semakin mengembang.

Pujian yang didengar Fenita kali ini berhasil membuat hatinya tersanjung, pipinya bersemu merah, dan jantungnya berdetak tidak biasa. Tidak seperti pujian dari Erick tadi yang justru membuatnya sedikit kesal, tetapi Andra benar-benar membuatnya tersipu malu.

“Kita mau makan di mana?” Fenita mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau Andra melihat pipinya yang memerah.

“Mungkin kita bisa makan di restoran dekat sini.” Andra mulai mengarahkan mobilnya untuk menepi karena letak restoran yang sudah dekat.

“OK.”

Mobil masuk ke area parkir yang cukup penuh karena memang jam makan siang. Beberapa tempat makan terkenal pasti akan penuh dengan pelanggan.

***

A Thousand Nights With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang