Hujan masih tidak mau berhenti meski sudah berjam-jam mengguyur kota Solo. Tanah menjadi becek dan tergenang air, namun sama sekali tidak menyurutkan niat Andra untuk mengunjungi makam Ibunya. Dia menembus genangan air dan tetap berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke makam, sementara Fenita mengikuti dari belakang. Sebenarnya, Andra ingin sendiri tadi, namun Fenita memaksa untuk mengantar. Dia tidak tega membiarkan Andra pergi sendirian, sementara kondisi psikologisnya masih terguncang. Andra bahkan masih sering mengurung diri di kamar dan menolak segala macam tawaran makanan dari Fenita. Andra juga terang-terangan meminta Fenita untuk meninggalkannya sendiri. Meskipun begitu, Fenita masih tetap bertahan di rumah Andra dan tidak mau meninggalkan kekasihnya itu sendiri.
Andra berjongkok di samping makam. Berdoa lalu mengelus papan nisan Ibunya. Dia tampak bergumam, entah apa yang sedang diceritakannya pada Ibunya. Fenita hanya melihat dari jauh karena menurutnya, Andra akan lebih nyaman seperti ini. Hampir satu jam Andra melakukannya dan Fenita masih dengan setia menemaninya. Untung hujan sudah mulai reda. Hanya tersisa rintik-rintik kecil.
Setelah selesai bercerita dengan Ibunya, Andra kemudian beranjak dari makam dan langsung berjalan pergi. Dia juga melewati Fenita begitu saja, tanpa mengatakan apapun. Fenita hanya bisa menghela napas panjang. Dia berjalan mengikuti Andra menyusuri jalan setapak menuju ke gerbang makam. Namun, Andra tidak berhenti di mobil. Dia terus berjalan menuju ke jalan raya.
“Ndra, kamu mau kemana?” tanya Fenita yang harus berlari menyusulnya.
“Kamu pulang saja. Aku mau pergi ke tempat lain.”
“Aku antar, Ndra.”
Andra menoleh dan menatap tajam pada Fenita.
“Tidak perlu, Fen. Kamu pulang saja ke rumahmu. Aku ingin sendiri.” Andra kemudian melanjutkan langkahnya. Tapi, Fenita masih mengejar. Dia mencengkeram lengan Andra.
“Kenapa sih kamu jadi seperti ini?” Fenita mulai merasa kesal.
“Aku tidak bisa melihatmu. Karena setiap kali melihatmu, aku merasa sakit karena mengecewakan Ibu dan membuat Ibu seperti ini.”
“Kamu menyalahkanku karena meninggalkan Ibu di saat terakhirnya?”
Andra hanya diam, lalu melanjutkan langkahnya. Dia terus berjalan dan Fenita tidak lagi menghentikannya. Karena Fenita merasa Andra membencinya dengan cara dia menatapnya. Andra pasti menyalahkannya karena justru meninggalkan Ibunya untuk keperluan pribadinya. Tangan Fenita mengepal kuat, menahan perasaannya yang terasa sakit. Kalau saja Andra tahu betapa dia menyesal sudah menemui Mamanya sore itu dan meninggalkan Ibunya Andra sendirian di kamar.
***
Taksi yang Andra tumpangi berhenti tepat di depan lobi rumah sakit. Dia melangkah turun dan menembus gerimis yang seolah tidak ada habisnya. Sebagian kemeja yang dipakainya basah karena terciprat air, tetapi dia tidak peduli. Dia terus berjalan menuju ke bagian informasi untuk menanyakan keberadaan seseorang.
“Bisa bertemu dengan suster Esther?”
“Sebentar.” Petugas di bagian informasi mengambil gagang telepon dan tampak berbicara dengan orang di seberang telepon. Tidak lama kemudian, dia menutup teleponnya.
“Suster Esther akan menemui anda di taman belakang rumah sakit.”
Andra mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, dia berjalan menuju ke arah yang ditunjukkan oleh petugas informasi. Selama Ibunya berada di rumah sakit, dia jarang berjalan-jalan di sekitar rumah sakit karena dia hanya berada di kamar Ibunya atau pulang ke Jakarta. Andra mengedarkan pandangannya ke seluruh taman rumah sakit yang sepi karena gerimis. Dia memang pernah bertemu dengan suster Esther karena dia adalah teman baik Ibunya. Tetapi, karena sudah lama, ingatannya tentang wajah suster Esther sedikit kabur.
“Andra?”
Seorang perempuan seusia Ibunya tampak menghampirinya. Bibirnya mengembangkan senyum saat Andra mengiyakan pertanyaannya.
“Kamu sudah sangat dewasa dari terakhir kali kita bertemu.” Ujarnya. Dia mengajak Andra duduk di salah satu bangku yang berada di lorong sisi taman.
“Aku ikut berduka dengan apa yang terjadi dengan Ibumu.”
Andra hanya tersenyum tipis saja.
“Ini adalah barang Ibumu.” Suster Esther kemudian menyerahkan sebuah buku. Andra sangat mengenal buku itu karena ini adalah novel yang ditulis oleh Fenita.
“Aku tidak akan melupakan tulisan rapi Ibumu di dalamnya.” Suster Esther kemudian menunjukkan sebuah kertas yang terselip di dalam buku. Selain kertas itu, ada beberapa coretan Ibu di dalam novel. Andra juga sangat mengenal tulisan Ibunya.
“Terima kasih.”
“Kalau saja waktu itu, suster tidak meninggalkan Ibumu. Mungkin, serangan jantung keduanya tidak akan separah itu.” Gumam Suster Esther.
“Kenapa suster berpikir begitu?” Andra bertanya-tanya. Bukankah seharusnya Fenita-lah yang menjaga Ibunya, bukan Suster Esther.
“Waktu itu, kekasihmu memintaku untuk menjaga Ibumu yang sedang tertidur. Dia bilang Mamanya datang dan memaksa untuk bertemu. Aku hanya mengiyakan saja, padahal aku juga sedang ada jadwal merawat pasien lainnya. Kekasihmu itu sudah mempercayakan Ibumu padaku karena dia tahu aku adalah teman baik Ibumu. Tetapi…” Suster Esther terisak dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Andra menghela napas panjang. Dadanya terasa sesak mendengarnya.
“Waktu itu, kalau aku menolaknya, mungkin kekasihmu juga tidak akan meninggalkan Ibumu. Karena dia benar-benar memastikan, aku menjaga Ibumu. Dia sangat mengkhawatirkan Ibumu, tetapi dia terlihat sedang kesulitan saat itu.” Lanjut Suster Esther.
“Tidak apa-apa, suster. Semuanya sudah kehendak Tuhan.” Andra mencoba untuk berlapang dada.
“Maafkan aku, Ndra. Aku benar-benar meminta maaf.” Suster Esther terdengar sangat menyesalinya.
“Tidak apa-apa, suster.”
Suster Esther kemudian menghapus airmatanya.
“Aku harus pamit dulu, karena ada pasien yang harus aku rawat. Sekali lagi, aku minta maaf padamu.” Dia lalu berjalan pergi meninggalkan Andra yang masih duduk diam di bangku, sembari menatap tetesan air dari langit yang tidak kunjung berhenti. Dia merasa sangat bersalah pada Fenita di saat yang sama. Perempuan itu sudah menjaga Ibunya dengan baik, tetapi dia justru bersikap buruk padanya karena asumsinya sendiri. Seharusnya, dia bisa mendengarkan alasan Fenita meninggalkan Ibunya. Seharusnya, dia bisa memakluminya jika ternyata alasannya adalah Mamanya Fenita yang tiba-tiba datang.Andra mengusap wajahnya dengan kasar. Dia sedang bertanya-tanya, dimana sekarang Fenita? Apakah perempuan itu akan marah padanya dan memilih untuk mengakhiri hubungan karena sikap kekanak-kanakannya?
***
Tubuhnya basah kuyup karena hujan. Tangannya pun sudah bergetar karena tubuhnya menggigil. Bibirnya mulai membiru karena menahan dingin. Namun, Fenita memilih untuk mengabaikannya. Pikirannya terlalu kalut dan hatinya juga terlanjur sakit, hingga tidak bisa merasakan tubuhnya yang menggigil kedinginan karena air hujan.
Setelah pulang dari makam, dia mengemudikan mobil Andra hingga sampai di rumah. Tanpa berpikir panjang lagi, Fenita langsung mengambil motornya yang ditinggal di rumah Andra sejak Ibunya Andra masuk rumah sakit. Dia tidak lagi peduli pada hujan karena dia terus menerobos air hujan hingga sampai di rumah. Dia juga tidak langsung mengganti bajunya yang basah dan malah duduk di lantai, menangis sejadinya. Meluapkan sakit hatinya yang selama beberapa hari ini ditahannya. Pembicaraannya dengan Mamanya yang menyakitkan, meninggalnya Ibu, sampai dengan sikap Andra padanya. Satu-satunya orang yang dia harapkan akan bersikap baik padanya ternyata malah membuatnya sakit hati luar biasa.
Meski sudah tidak terdengar lagi isak tangisnya, namun sisa-sisa airmatanya masih mengalir tanpa henti, seperti hujan yang juga enggan berhenti. Hatinya nelangsa. Kenapa orang yang dicintainya selalu bersikap buruk padanya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Nights With You
RomanceSetiap manusia pasti pernah merasakan patah hati. Mengalami episode terburuk di dalam hidupnya. Ditinggalkan, putus cinta, dipaksa berpisah atau tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Fase paling penting setelah mengalaminya adalah bagaimana ca...