DUA PULUH - DON'T SAY GOODBYE

261 36 0
                                    

Malam beranjak semakin gelap. Namun, tidak menyurutkan niat orang-orang yang ingin merayakan malam pergantian tahun. Di bawah sana, ada beberapa orang yang tengah sibuk bermain kembang api atau sekedar berkumpul dengan keluarga atau teman terdekat. Ada alunan musik pula yang meramaikan suasana. Dimanapun, orang-orang pasti sibuk merayakannya, kecuali dua orang yang sedang duduk di balkon kamar hotel. Mereka berdua sama-sama duduk melantai dengan beberapa kaleng soda. 

“Ternyata sama saja ramainya.” Gumam Fenita memecah keheningan antara dirinya dan Andra.

“Ya, aku kira tidak akan seramai di kota.”

Fenita tertawa kecil. Dia mengambil kaleng soda miliknya yang tinggal separuh. Meski badannya terasa lelah, karena seharian berjalan-jalan dengan Ibunya Andra, tetapi matanya sulit terpejam. Akhirnya, dia memutuskan untuk duduk di balkon ini sembari menemani Andra yang ternyata masih terjaga juga.

“Kamu selalu merayakan malam pergantian tahun?” tanya Fenita yang dijawab gelengan kepala oleh Andra.

“Terakhir kali merayakannya beberapa tahun yang lalu dengan Ale.” Andra masih ingat sekali malam itu. Ale mengajaknya merayakan malam tahun baru di tengah-tengah keriuhan Tugu Jogja.

“Kamu sendiri?”

Fenita menggeleng. “Aku selalu sendiri. Kadang di apartemen, kadang juga di kantor. Erick selalu pergi ke luar negeri dengan keluarganya setiap kali Natal hingga Tahun baru.”

“Bagaimana kamu bertahan dengan semua itu?” Andra akhirnya menanyakan pertanyaan yang selama ini selalu ditahannya.

Fenita mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu kenapa aku mau bertahan dengan semua itu, hingga kamu datang.”

Andra menoleh, menatap Fenita yang sedang menatap kosong pada langit malam yang semarak dengan bintang-bintang. Malam ini, memang langit sedang ingin menunjukkan keindahannya dengan jutaan bintang. Keindahan yang mungkin tidak akan didapatkan jika berada di Jakarta.

“Kenapa kamu mengajakku ke sini, Ndra?” Fenita mengalihkan pembicaraan, setelah membiarkan Andra bertanya-tanya dengan ucapannya.

“Karena kamu akan senang dengan bintang-bintang itu.”

Fenita kali ini menoleh, sehingga kedua mata mereka saling menatap satu sama lain. “Bukankah kamu tahu aku lebih suka dengan gemerlap lampu kota?”

“Gemerlap lampu kota hanyalah versi semu dari jutaan bintang di atas sana. Jika kamu bisa melihat keindahan yang sebenarnya, kenapa bertahan dengan kepalsuan yang seolah-olah indah?”

Ucapan Andra membuat Fenita terdiam. Dia menelan ludah. Berusaha menahan perasaannya yang terasa sakit mendengarnya. Ya, dia selama ini selalu memilih bertahan dengan kepalsuan yang seolah-olah indah dan bermimpi kalau keindahan semu itu akan tetap ada.

“Ucapanmu terdengar menyakitkan.” Fenita berpaling. Dia tersenyum kecut untuk menutupi matanya yang meredup.

“Maafkan aku. Aku mungkin terlalu mencampuri kehidupanmu.” Andra kini menunduk. Dia memainkan kaleng soda yang telah kosong.

“Kenapa kamu sangat baik padaku, Ndra? Kita berdua tahu kalau kita hanya dua orang yang baru saja mengenal.” tanya Fenita, tanpa menoleh sedikitpun pada Andra.

“Aku tidak tahu. Aku hanya ingin melakukannya. Apakah salah?”

“Aku hanya takut kalau aku akan salah paham dengan kebaikanmu.” Fenita menoleh lagi, menatap Andra yang masih tertunduk.

“Kenapa kamu berpikir kalau kamu akan salah paham?”

“Kamu tahu sendiri, kan, kita berdua tidak bisa berjalan lebih jauh dari ini? Aku tidak mau kita saling menyakiti nanti. Apalagi, Ibu mulai berharap lebih pada hubungan kita.”

A Thousand Nights With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang