DUA PULUH SATU - TIME IS THE LONGEST DISTANCE

249 33 2
                                    

Cara paling sering digunakan ketika merindukan seseorang adalah berusaha menyibukkan diri dan menyisihkan kenangan tentang orang itu. Andra adalah salah satu orang yang sering menggunakan cara itu. Dulu, ketika dia sangat merindukan Alessandra, tetapi tidak bisa melakukan apapun untuk mengobati rindunya, dia selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya. Berharap semua kesibukan dan tekanan pekerjaan akan membuatnya lupa dengan sendirinya. Sekarang, saat dia diam-diam merasakan rindu pada kehadiran Fenita, dia pun melakukan cara yang sama.

Jauh di dalam hatinya, dia ingin sekali menemukan Fenita, tetapi dia tidak tahu kemana perempuan itu pergi. Meski satu tahun telah berlalu begitu saja, Fenita masih tidak kembali ke apartemennya ataupun pulang ke Solo. Arin bahkan tidak tahu kemana sahabatnya itu pergi karena sebelumnya tidak pernah mengatakan apapun. Ponselnya pun tidak lagi diaktifkan. Setiap malam, Andra hanya bisa menggumam, dimana kamu, Fen?

"Bapak tidak pulang?" Suara Wenny menggugah Andra dari konsentrasinya membaca laporan keuangan.

"Kamu pulang dulu saja." Jawab Andra lalu kembali fokus pada layar komputer.

"Apakah mau saya buatkan kopi dulu?"

Andra menoleh lagi pada asistennya, lalu tersenyum. "Boleh, kalau tidak merepotkanmu."

Wenny kemudian berjalan keluar ruangan menuju ke pantry. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan secangkir kopi hitam di tangannya.

"Kalau saya lihat, satu tahun ini, bapak lebih sering pulang malam?" ucap Wenny sembari meletakkan cangkir kopi di meja.

"Karena banyak yang dikerjakan, Wen."

"Bahkan, Januari kemarin saat tidak terlalu banyak pekerjaan, Bapak juga tetap di kantor. Acara kita ke Bromo juga harus jalan tanpa bapak ikut."

Andra masih mencoba tersenyum, meski hatinya terasa miris saat mengingat peristiwa beberapa bulan lalu. Rencana liburan ke Bromo tetap berjalan, tetapi dia memilih untuk tidak ikut serta. Hatinya masih berdarah-darah saat itu karena ditinggalkan Fenita. Dia sama sekali tidak tahu jika dampak dari kehilangan Fenita akan sebesar itu. Dia bahkan tidak pernah menyadari kalau hatinya sudah mulai jatuh pada Fenita, hingga saat perempuan itu pergi begitu saja.

"Wen, kamu tahu sendiri kan berapa banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan?" Andra masih saja mengelak.

"Baik, Pak. Saya mengerti. Tapi, saya ingin mengingatkan saja, kalau pekerjaan bukanlah cara paling efektif untuk menjadi obat rindu atau sakit hati. Cara paling tepat adalah menerimanya."

Andra tertawa, meski di dalam hati, dia merasa tertohok dengan ucapan Wenny. "Sok tahu kamu, Wen."

"Maaf, kalau saya ikut campur." Wenny kemudian berpamitan dan berjalan ke luar ruangan. Tidak ada orang lagi yang tersisa di luar setelah kepergian Wenny. Lagi-lagi, Andra menjadi orang terakhir yang pulang di kantor.
Dia kemudian beranjak dari kursinya menuju ke jendela kaca di samping meja. Dari tempat dia berdiri sekarang, dia bisa melihat jutaan lampu yang gemerlap di bawah sana. Dan setiap kali dia melihatnya, hatinya selalu berkata, kalau dia sangat merindukan Fenita.

Mungkin apa yang dikatakan Wenny ada benarnya. Tidak seharusnya dia malah menenggelamkan dirinya pada pekerjaan. Bukankah itu berarti kalau dia sedang lari dari kenyataan yang sebenarnya? Bukankah itu artinya dia adalah seorang pengecut yang tidak mau menghadapi kenyataan yang ada? Selama ini, dia lah orang yang salah. Dia selalu merasa kalau dia akan memiliki waktu. Kenyataannya, waktu bisa dengan mudah melewatkannya. Lalu, yang selanjutnya terjadi adalah baru menyadari kalau waktu yang sudah lewat tidak akan pernah melewati kita lagi. Penyesalan akan menjadi sesuatu yang tidak berguna kemudian.

Andra beranjak dari jendela dan kembali ke meja. Dia meraih cangkir kopi dan meminumnya. Kopi pun bisa kehilangan panasnya, jika dibiarkan. Apalagi hati seseorang.

A Thousand Nights With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang