DUA PULUH TIGA - A FLOWER THAT HAVEN'T BLOOM YET

269 38 0
                                    

Langit terang sekali malam ini. Bintang bahkan berpendaran dan memenuhi langit dengan gemerlapnya. Jarang sekali, langit menunjukkan keindahannya seperti malam ini. Angin malam juga berhembus pelan, memberikan kesegaran saat menerpa tubuh. 

Pandangan Fenita tidak lepas dari langit malam. Bibirnya pun tidak berhenti tersenyum, menikmati bintang yang gemerlap. Sejak satu tahun ini, dia hampir tidak pernah melewatkan malam yang penuh dengan bintang, dimanapun dia sedang berada. Seperti malam ini, saat dia berada di balkon rumahnya. Tangannya mendekap selendang yang menangkupinya. Balkon ini adalah tempat favoritnya untuk menikmati bintang malam, juga tempatnya mendapatkan inspirasi untuk tulisannya.

Ya. Fenita memilih jalan untuk menjadi penulis. Banyak hal yang telah dilakukannya selama satu tahun ini, hingga akhirnya, dia memilih jalan menjadi penulis. Setelah pergi dari Jakarta, dia langsung pergi menuju ke Bali. Berada selama berbulan-bulan di Ubud, dia mulai bisa menyisihkan masa lalunya. Apalagi Putri, sahabatnya di sana, selalu menemaninya dan membuatnya sibuk. Mulai dari berbelanja ke pasar, mengikuti latihan tari tradisional, atau berbaur dengan orang-orang di sekitar rumah yang sangat ramah. Putri adalah perempuan yang dikenalnya di salah satu situs kepenulisan. Meski sebelumnya mereka tidak pernah bertemu langsung, tetapi pertemuan di Bali langsung membuat mereka dekat. Putri jugalah yang membuatnya untuk mulai menulis. Dia juga yang membantu Fenita untuk mengatasi luka hatinya dengan meditasi. Dari Putri, banyak hal yang telah dipelajari Fenita hingga dia siap untuk kembali ke tempat lahirnya, Solo.

Sudah beberapa bulan ini, Fenita tinggal lagi di Solo, lebih tepatnya setelah dia menemukan rumah yang sesuai dengan keinginannya. Kenapa dia lebih memilih Solo? Karena menurutnya, Solo akan lebih tenang daripada harus kembali ke Jakarta. 

Ponsel Fenita berdering, dan mengalihkannya dari memandang bintang. Fenita beranjak dari kursi dan menuju ke meja kerjanya. Ada nama asistennya, Yessy.

“Halo.”

“Kamu sudah memikirkannya?” todong Yessy, tanpa basa-basi.

“Bukannya aku sudah menjawab tidak?”

Terdengar suara Yessy menghela napas panjang.

“Ayolah, Fen. Novelmu sudah jadi best seller. Banyak fans yang ingin bertemu kamu.”

“Yess, bukannya aku sudah bilang ke kamu kalau aku mau tetap jadi anonim?”

Yeah, I know. Setidaknya, kamu bisa membantuku menghadapi publisher yang ingin menggelar jumpa fans.” Suara Yessy berubah lirih.

“Aku bukan artis, kenapa harus jumpa fans? Kalau mereka senang dengan karyaku, cukup membelinya saja. Tidak perlu bertemu denganku.”

“OK. OK. Aku paham.”

Telepon dari Yessy kemudian ditutup. Fenita mengembalikan ponselnya di meja. Pandangannya lalu tertuju pada layar laptop yang masih menyala. Ada tulisannya yang belum selesai, namun dia masih bingung untuk melanjutkannya. Fenita kemudian menarik kursi dan membaca ulang tulisannya. Yang sedang ditulisnya ini akan menjadi karya ketiganya. Dua bukunya sudah laris di pasaran. Sesuatu yang tidak pernah diduganya selama ini, kalau dia akan menjadi penulis novel. Dukungan dari Putri-lah yang membuatnya bisa mencapai titik sekarang ini. Semua yang telah hilang darinya satu tahun yang lalu, dikembalikan dalam bentuk lainnya yang justru lebih menyenangkan.

Fenita kemudian membuka laci mejanya dan mengambil sesuatu yang disembunyikannya di dalam buku catatan. Pandangannya kemudian tertuju pada sebuah foto yang dipegangnya. Foto ini adalah pemberian ibunya Andra saat mereka berjalan keluar hotel di awal tahun lalu. Andra sedang tidak ada sehingga Ibunya Andra dengan leluasa membahas hubungan Fenita dengan anak laki-lakinya.

A Thousand Nights With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang