Aroma telur yang beradu dengan keju dan bawang semerbak di dapur. Fenita mengintip dari balik kaca oven. Quiche buatannya berwarna golden brown.
Sempurna, batinnya.
Saat oven akhirnya berbunyi, tanda quiche-nya sudah matang, dia langsung mengambil sarung tangan dan mengambil loyang. Aroma quiche semakin semerbak setelah keluar dari oven.
“Aromanya selalu menggoda hidung.” Erick tiba-tiba muncul dari belakang Fenita. Tangannya melingkar di pinggang kecil Fenita.
Sudut bibir Fenita tertarik ke samping. Dia selalu bahagia saat Erick memuji masakannya dan tidak pernah menyisakan apapun di piring.
“Aku sudah membuatkanmu kopi.” Fenita menunjuk pada coffee maker di meja bar yang sudah terisi kopi hitam.
Begitulah Fenita. Dia selalu tahu apa yang menjadi kebiasaan Erick setiap harinya.
Erick melepaskan tangannya dari pinggang Fenita, lalu berjalan menuju ke meja bar. Dia meraih cangkir dan menuangkan kopi hingga penuh.“Senang rasanya bisa menikmati sarapan seperti ini setiap hari.” Ucapnya kemudian sembari duduk di barstool. Jarinya memainkan pegangan cangkir.
Fenita langsung menoleh mendengarnya. “Kamu mau aku buatkan seperti ini lalu aku bawa ke kantor?”
Erick tersenyum. Senyum yang sedikit dipaksakan. “Tidak perlu, Fen. Aku tidak mau merepotkanmu.”
“Apakah aku pernah merasa kamu repotkan? Aku senang bisa memenuhi kebutuhanmu.” Balas Fenita sembari meletakkan potongan quiche di depan Erick.
Erick masih memaksakan senyumnya, lalu mengambil sendok dan mulai memakan quiche-nya.
“Aku akan ganti baju dulu. Kamu lanjutkan saja sarapanmu.”
Fenita kemudian berjalan cepat menuju ke kamarnya. Dia dan Erick akan terlambat ke kantor jika dia ikut duduk sarapan. Dia harus bergegas berganti baju dan bersiap untuk berangkat ke kantor bersama.
“Sarapanmu.” Erick mengulurkan kotak makan warna hijau pada Fenita saat mereka berjalan ke luar apartemen.
“Kenapa?”
“Karena aku tahu kamu akan melewatkan sarapanmu lagi. Dandanmu terlalu lama dan membuatmu kehilangan waktu sarapan.”
Fenita tersenyum lebar mendengarnya. “You really know me.”
Dia memang menghabiskan waktu hampir satu jam untuk bersiap ke kantor setiap paginya. Rambut panjangnya membutuhkan perlakuan khusus dan itu cukup memakan banyak waktu.
“How can I not know you? We’ve been together for 5 years.”
“Thanks.” Fenita menerima kotak makan dari tangan Erick. Lalu, dia mengapit lengan kekar laki-laki di sampingnya.
“Can I do this?” tanyanya kemudian.
“Ya. That’s one of a lot reason I bought you this apartment.”
Fenita tersenyum. Pandangannya lalu tertuju pada laki-laki di sebelahnya. Dia mengamati setiap jengkal wajah Erick yang sangat dikaguminya. Matanya bulat, namun selalu menatapnya dengan teduh. Hidungnya mancung dan rambut-rambut halus yang selalu menutupi rahangnya. Siapapun wanita pasti akan menganggap Erick sebagai laki-laki yang seksi.
“Kenapa kamu memandangiku seperti itu?” Erick sadar kalau sejak tadi Fenita memandanginya.
“Setiap hari, aku semakin mengagumimu.”
Erick tersenyum. “Dan setiap hari, aku semakin mencintaimu, Fenita.”
Sekarang, ganti Fenita yang tersenyum. Dia kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak Erick. “I wish I could lean on you like this everyday.” gumam Fenita.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Nights With You
RomanceSetiap manusia pasti pernah merasakan patah hati. Mengalami episode terburuk di dalam hidupnya. Ditinggalkan, putus cinta, dipaksa berpisah atau tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Fase paling penting setelah mengalaminya adalah bagaimana ca...