Langit malam Jakarta gelap seperti biasa karena mendung yang menggantung setiap sorenya. Hampir setiap hari, hujan selalu turun. Andra berdiri menatap ke luar melalui jendela apartemennya. Dia sudah kembali ke Jakarta sejak satu minggu yang lalu dan bekerja seperti biasanya. Namun karena hari ini adalah hari sabtu, dia punya waktu menikmati langit sore di apartemennya. Bara sedang di rumah sakit sehingga dia hanya duduk melantai sembari menatap jendela dengan ditemani dua kaleng soda.
Terdengar suara pintu dibuka lalu ditutup kembali. Tidak lama kemudian, terdengar suara Bara yang sedang berjalan menuju ke wastafel untuk mencuci tangannya, lalu membuka lemari pendingin. Rutinitasnya setelah pulang dari rumah sakit.
“Melamun lagi?” Bara sudah duduk di samping Andra.
“Berpikir.”
“Surat dari ibu?”
Andra tidak menanggapi. Memang benar, dia sedang memikirkan surat yang ditinggalkan Ibu untuknya dan diselipkan di dalam buku novel, seolah-olah Ibu sudah tahu kalau waktunya tidak akan lama. Di dalam surat itu, Ibu mengatakan keinginannya untuk bisa melihat Andra menikah, menimang cucunya, dan melihat cucunya berjalan. Ibu sangat ingin melihat Fenita benar-benar menjadi menantunya karena menurut Ibu tidak akan ada wanita yang setulus Fenita. Ibu bercerita bagaimana Fenita menemaninya di rumah sakit, merawatnya seperti Ibunya sendiri, dan tidak pernah meninggalkannya meski sebentar. Fenita bahkan rela tidur di sofa setiap hari, meski lehernya pasti akan sakit pagi harinya. Ibu juga mengatakan kalau Ibu ingin agar Fenita bisa berdamai dengan keluarganya. Ibu bilang kalau sudah menghubungi Mamanya Fenita tetapi tidak ada respon berarti. Ibu berkali-kali menyebutkan kalau Ibu sangat menyayangi Fenita dan ingin perempuan itu bisa bahagia.
“Kenapa kamu tidak menghubunginya sampai sekarang?” tanya Bara lagi.
Andra meraih kaleng soda yang hanya tersisa separuh dan meminumnya hingga habis.
“Dia bahkan tidak membalas pesanku seminggu yang lalu.”
Bara malah tertawa mendengarnya.
“Baru tidak dibalas pesan saja kamu sudah seperti itu? Kamu lupa dengan perbuatanmu sendiri waktu itu?”
Andra menoleh dan mengernyitkan kening. “Perbuatan apa?”
“Bersandar di pundak Alessandra di depannya, memeluk Alessandra, dan memilih bersama mantan kekasihmu daripada dia? Bahkan setelah semua itu, dia masih bertahan dan menjagamu di rumah.”
Andra diam. Dia memutar ulang apa yang terjadi dua minggu yang lalu ketika Ibunya meninggal, hingga saat dia meminta Fenita pergi dan mengatakan kalau melihat Fenita hanya akan menimbulkan sakit. Dia merasa sangat kejam pada Fenita. Dan sepertinya, pantas jika akhirnya Fenita meninggalkannya.
Andra kemudian meraih ponselnya dan mencari sesuatu. Setelah itu, dia langsung beranjak dari lantai menuju ke kamarnya.
“Mau kemana?”
“Menemui Fenita di Solo.”
“Ada tiket pesawat?”
“Aku akan naik mobil ke sana.”
“Kamu yakin?”
“Tidak pernah seyakin ini. Aku harus segera menyelesaikannya sebelum dia benar-benar pergi lagi.”
Bara tersenyum. “Itu baru Andra yang aku kenal.”
Andra mengambil beberapa baju dari lemari dan memasukkannya ke dalam ransel. Dia berjalan keluar kamar dan mengambil kunci mobilnya.
“Jangan pasang kendor!” Gurau Bara yang membuat Andra langsung tertawa. Dia kemudian berjalan keluar apartemen menuju ke basement. Meski nanti dia akan sampai di Solo larut malam, dia tidak peduli. Dia baru akan tenang setelah mendapatkan jawaban dari Fenita.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Nights With You
RomanceSetiap manusia pasti pernah merasakan patah hati. Mengalami episode terburuk di dalam hidupnya. Ditinggalkan, putus cinta, dipaksa berpisah atau tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Fase paling penting setelah mengalaminya adalah bagaimana ca...