DUA PULUH DUA - WHEN WE WERE TOGETHER

255 32 0
                                    

“Kamu mau aku siapkan makan malam?” tanya Saphira saat melihat Erick masuk ke dalam rumah.

“Tidak usah. Aku sudah makan.” Erick langsung berjalan menaiki tangga dan tidak terlalu menghiraukan Saphira. 

Seperti hari-hari biasanya, Erick selalu pulang saat larut malam dan Saphira akan menunggunya di ruang tengah setelah menidurkan Theon. Sejak pertengkaran itu, Saphira memang tidak lagi bekerja di perusahaan keluarga, sebagai gantinya, Erick yang akan menggantikan posisi Saphira. Namun yang tidak berubah adalah perasaan Erick. Bagaimanapun dia berusaha, dia tetap tidak bisa mencintai Saphira.

Erick membuka pintu ruang kerjanya. Gelap. Namun, dia memilih membiarkannya dan hanya menyalakan satu lampu meja. Satu tangannya membuka laci, lalu mengambil sesuatu yang diselipkannya di antara buku-buku. Ada sepucuk surat yang selalu dibacanya hampir setiap malam selama satu tahun ini. Surat yang dikirimkan Fenita beserta kopernya yang tertinggal di apartemen.

Pagi itu ketika dia sedang bermain dengan Theon di halaman belakang rumah, tiba-tiba asisten rumah tangga mendatanginya dengan membawa koper yang ditinggalkannya di apartemen Fenita. Tanpa menunggu penjelasan dari asisten rumah tangga, Erick langsung menarik kopernya dan kertas yang dibawa lalu berjalan menuju ke ruang kerjanya. Setelah mengunci pintu, dia langsung membuka surat yang ditinggalkan bersama kopernya.

Mata Erick membulat membaca surat yang ditulis Fenita. Apa maksudnya dengan dia akan menghilang dari kehidupannya? Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi pada Fenita? Erick kemudian keluar dari ruang kerjanya dan langsung menuju ke garasi. Tanpa menghiraukan panggilan anak laki-lakinya, dia menyalakan mesin mobil dan langsung mengemudikannya keluar dari halaman rumahnya. Dia benar-benar kalut setelah membaca kalau Fenita akan menghilang. Dia takut kalau Fenita akan mengulangi apa yang dilakukannya beberapa tahun lalu. Mengingatnya saja, membuat Erick merasa ngeri. Untung saja, dia segera membawanya ke rumah sakit dan menemukan donor darah dengan cepat, sehingga nyawa Fenita bisa diselamatkan. 

Mobil yang Erick kemudikan berhenti di depan lobby apartemen. Dia langsung berlari menuju ke lift. Tangannya mengepal kuat untuk menahan emosinya. Ketika dia sampai di lantai 20, dia langsung menuju ke unit apartemen milik Fenita. Beberapa kali dia mengetuk pintu, namun tetap tidak ada jawaban. Password pintu juga sudah diganti sehingga dia tidak bisa mengaksesnya.

“Fenita sudah pergi.” Erick menoleh ke arah suara. Dia melihat laki-laki yang selalu bersama Fenita berdiri di dekatnya. Wajahnya juga terlihat sedih. Di tangannya, juga ada selembar kertas.

“Kemana?”

Laki-laki itu menggeleng lemah. Dia pun juga tampak sudah putus asa.

Erick berjalan mendekatinya. “Kenapa kamu membiarkannya pergi? Kenapa?”

Tidak ada jawaban.

“Seharusnya kamu menjaganya. Seharusnya kamu tidak membiarkan dia pergi. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk dengannya?” Suara Erick sampai bergetar.

“Kalau kamu berpikir dia akan melakukan apa yang dilakukannya beberapa tahun lalu, dia tidak akan pernah mengulanginya. Fenita sudah jauh lebih kuat. Dia hanya butuh waktu untuk sendiri.”

“Bagaimana kamu bisa seyakin itu?”

“Karena aku percaya padanya.”

Erick menatap dengan nanar. Dia melangkah mundur. “Kita lihat apakah percayamu itu akan benar-benar terjadi.” Dia lalu berjalan pergi. Tidak ada gunanya dia tetap di sana, dan membuat hatinya terasa semakin sakit. 

Sejak siang itu, dia selalu mencari Fenita di semua tempat di Jakarta, ataupun tempat-tempat yang pernah mereka datangi. Dia bahkan sampai pergi ke Solo dan menemui keluarga Fenita. Tetapi, dia tidak menemukan apapun. Hingga yang bisa dilakukannya setiap malam adalah membaca ulang surat yang ditinggalkan Fenita. Mencoba untuk mengobati rindunya pada perempuan itu.

A Thousand Nights With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang