Melihat wajah orang yang kita cintai di saat pertama kali kita membuka mata di pagi hari adalah hal terindah yang terjadi pada sepasang suami istri. Namun, hal itu juga terjadi pada Erick meski yang dilihatnya bukanlah istrinya, melainkan Fenita. Tetapi baginya itu adalah hal terindah yang selalu ingin dirasakannya setiap pagi. Seperti pagi ini, saat dia membuka mata dan menemukan Fenita tertidur di sampingnya. Bibirnya mengembangkan senyum melihatnya. Perlahan, dia menyentuh kening Fenita dan menyibakkan rambut-rambut pendek yang menutupi sebagian keningnya. Erick mendekatkan bibirnya pada kening Fenita dan menciumnya lembut. Seandainya dia bisa memiliki perempuan ini, tanpa perlu menghancurkan hati siapapun ataupun mengorbankan siapapun.
“Morning.” Fenita membuka matanya. Dia terbangun setelah Erick mengecup keningnya.
“Morning.”
Fenita menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku karena semalaman tertidur di sofa.“Aku akan mandi dulu lalu menyiapkanmu sarapan.” Ucap Fenita sebelum beranjak dari sofa. Namun, Erick lebih dulu memegang tangannya.
“Pagi ini, aku yang akan memasak.”
Fenita mengerutkan kening. Ini adalah pertama kalinya Erick menawarkan diri untuk memasak.
“Kamu bisa memasak?” Fenita sedikit ragu.
“Kamu lihat saja nanti.”
“OK. Aku mandi dulu kalau begitu.”
Erick mengangguk dan melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Fenita. Bibirnya masih tersenyum saat melihat Fenita yang berjalan menuju kamar. Dia beranjak dari sofa menuju ke dapur untuk melihat bahan makanan yang ada di lemari pendingin. Sepertinya, dia bisa membuat burito untuk sarapan pagi ini.
Sementara Fenita tidak langsung pergi ke kamar mandi. Dia masih berdiri di balik pintu kamarnya dan bersandar. Ada yang berbeda dari sosok Erick sejak semalam. Dia tidak pernah melihat Erick yang seperhatian ini padanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang disembunyikan laki-laki itu darinya?
Namun, Fenita cepat-cepat menghapus semua prasangkanya. Mungkin saja, Erick benar-benar berubah untuk kebaikannya. Dia lalu bergegas ke kamar mandi.***
Hujan turun lagi sore ini. Sepertinya, musim penghujan sudah tiba di bulan Oktober ini. Andra mendongak menatap langit yang sedang mengirimkan hujannya yang cukup deras pada bumi. Dia berdiri di teras stasiun menunggu taksi yang akan menjemputnya. Beberapa menit yang lalu, dia baru saja turun dari kereta yang mengantarkannya kembali ke Jakarta dari Solo. Satu tangannya menggengam tas plastik berisi titipan oleh-oleh dari Ibu untuk Fenita. Sementara satu tangannya lagi sibuk mengutak atik layar ponselnya.
Taksi yang dipesannya pun tiba. Tetapi, dia harus berlari-lari menerobos hujan karena mobil tidak bisa mendekati tempatnya menunggu. Padatnya mobil yang sedang menjemput penumpang membuat taksi harus berhenti sedikit lebih jauh. Tas ransel yang menggantung dipundaknya berguncang saat dia berlari.
Setelah dia masuk ke dalam taksi, mobil mulai bergerak meninggalkan area stasiun menuju ke apartemennya. Andra menoleh pada bungkusan plastik yang diletakkan di kursi sebelahnya. Mungkin, sesampainya di apartemen, dia akan langsung menyerahkan titipan ini pada Fenita. Dia kemudian teringat pesan ibunya tadi saat mengulurkan bungkusan plastik ini.
“Ndra, kalau memang ternyata Tuhan sedang membuka jalanmu untuk bersama jodohmu, kamu jangan berusaha menutupi ataupun lari. Biarkan saja Tuhan menuntunmu. Pasrahkan saja pada rencana Tuhan untukmu.”
Andra hanya tersenyum mengamini. Jika pada akhirnya, dia bertemu perempuan yang akan menjadi jodohnya, dia tidak akan menutupi atau berlari. Dia hanya butuh waktu untuk menyembuhkan lukanya sendiri, agar perempuan itu tidak menjadi tempat pelariannya dari luka yang belum sembuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Nights With You
RomanceSetiap manusia pasti pernah merasakan patah hati. Mengalami episode terburuk di dalam hidupnya. Ditinggalkan, putus cinta, dipaksa berpisah atau tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Fase paling penting setelah mengalaminya adalah bagaimana ca...