Story of My Life

28K 2.1K 117
                                    

I'm very good at being single.
Terlepas dari dugaan kebanyakan orang, jadi lajang itu biasa aja, kok.

Meskipuuuuuun... Tentunya harus sedikit kebal ya dengan pertanyaan (dan pernyataan) dari orang-orang sekitar terkait kehidupan single.
Berikut adalah beberapa yang paling sering kuterima di lingkungan kerja, keluarga dan teman sepermainan:

"Traktir dong!"
Nah. Iya. Sebagai satu-satunya anak yang belum beranak di keluarga, kakak dan adikku sama-sama gak ada akhlak tiap kali aku pulang Bandung. Tujuan utamanya jelas: morotin aku.

Gini, gini, emang sih, karena aku single jadinya aku punya kesempatan lebih panjang untuk berkarir. Kakakku Illyria (yang hanya beda setahun denganku) berhenti kerja setelah dia punya anak di usia 27 tahun. Sekarang anaknya mau tiga, satu SD, satu TK, satunya masih di perut. Dia jadi ibu rumah tangga yang kemudian bikin usaha jualan mainan di Tokped dan Shopee. Adikku Amaria (juga hanya beda setahun denganku) pensiun dari kerjaannya sebagai dosen bahasa Jepang, dan sekarang sibuk ngurus satu anaknya sambil ngajar-ngajar privat. Sementara itu, karena masih single, aku dianggap sukses menapaki jalanan panjang dari bocah ingusan Junior Programmer menjadi Software Engineer dan akhirnya Project Manager setahun belakangan di tempat kerjaku, perusahaan startup bernama BuKa.
Dengan kata lain, menurut keduanya penghasilanku lebih banyak dan aku berkewajiban traktirin dua saudariku itu (kalau ponakan mah udah gak usah disuruh) tiap muncul di rumah.

Mereka pada gak sadar yak, aku tuh masih ngontrak apartemen, masih cari makan sendiri, kalau sakit ke RS sendiri, makan sendiri, tidur sendiri...

"Anterin gue ya!"
Karena statusku yang single, kayaknya otomatis banget aku selalu available tiap kali seseorang butuh teman.

Iya sih, sejujurnya aku memang hampir selalu bisa diajakin cabs, terutama setelah jam pulang kantor. Sekarang-sekarang apalagi. Kerjaanku bisa dibawa ke mana-mana karena kantorku pendukung remote working, bisa dikerjakan di luar jam normal karena kebanyakan programmer memang hidupnya nocturnal, dan aku juga bukan orang dengan circle yang masih pada bisa diajak nongkrong.
Ketiga sahabatku, semuanya bisa dibilang sudah berkeluarga, meskipun duda (Dipta), kumpul kebo dengan partnernya sesama gay ganteng metropolis (Kiky), atau newlyweds banyak anak tiri (Nina). Tapi semuanya punya keluarga sendiri.
Kecuali aku.
Sedih yak.
Makanya akulah yang jadi pilihan utama semua orang tiap kali mereka butuh ditemani, mulai dari cuma ngabisin me-time, cek dokter, sampai liburan dadakan. Ayo, dah. Kuy.

"Umurnya berapa sih?"
Meskipun ini pertanyaan yang sebetulnya nyebelin, aku biasanya jawab jujur aja: 33 tahun. Soalnya, orang biasanya kaget, karena konon tampilanku jauh lebih muda dari usiaku sebenarnya. Biasanya aku dikira masih baru lulus kuliah, mahasiswa...mungkin gara-gara badanku yang cuma 160 cm dan tipis di mana-mana kayak bocah belum puber kali ya? Sepertinya, kebiasaanku yang selalu barefaced, juga ngaruh deh.

Enak kalau lanjutannya ke komentar awet muda. Seringnya sih orang lanjut melihatku dengan tatapan mengasihani, sambil tanya:

"Pacarnya siapa sekarang?"
Nah kalau ini, jawabannya beda-beda, tergantung siapa yang tanya. Kalau sahabat-sahabat terdekat, jawabannya bukan pacar, tapi temen jalan...lengkap sama profil Tinder sekalian. Kalau adik dan kakakku, aku jawab dengan nama gebetan paling impressive dalam beberapa waktu terakhir. Kalau orangtua, jawabannya tentu: "Belum laaah... Nantiiii lagi, Bu/Pak!".
Kalau orang random, ya jawabannya random juga lah! Kadang aku jawab, "Ada, tapi jarang ketemu nih, soalnya dia penjaga hutan..." -- sambil kebayang Aragorn - Son of Arathorn, atau "Masih mikir-mikir, mending sama perempuan atau laki-laki, nih.", atau sekedar menggelengkan kepala dan menaruh telunjuk depan bibir.
Pada gak sadar... Itu juga pertanyaanku sama dunia.

Plot TwistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang