Decisions Pt. 4

5.5K 1.3K 108
                                    

"I thought you're in Bandung."
"I'm going with you to London. Let's do this."

Avant menatapku gak percaya selama beberapa saat, sebelum tersenyum lebar.
"That's great." ia bangkit dari duduknya dan menghampiriku.
"Here's my passport." aku mengeluarkan pasporku dari tas. Salah satu dokumen pribadi yang memang selalu kubawa kemana-mana.

"I'm taking care of it." Avant menerimanya dengan hati-hati.
"Kapan kita berangkat?"
"Tiga hari lagi."
"Aku mesti urus cuti berapa lama?"
"I'll handle it."
"Okay, good."

"Neria Ilsa, are you okay?" Avant memandangku khawatir. No, I'm not. I'm a broken mess.
"I'll be." jawabku singkat.

Lalu aku keluar ruangannya Avant, jalan cepat menuju meja kerjaku.

Work is always be my favorite painkiller.

***

Aku tahu aku harus bicara sama seseorang. Tapi siapa? Aku gak tahu Kiky tahu sejauh apa, dan sejujurnya lagi gak bisa percaya sama siapa-siapa.

I hate Dipta.
The worst feeling in the world is knowing you've been used and lied by someone you trusted.

Dan mendadak sekarang semuanya jelas.
Aldi didn't leave me after he took advantages of me. He left because he probably watch me kissing Dipta.
Beberapa pacarku yang ngilang begitu saja.
Banyak gebetan yang gak pernah ada kabar padahal kami chemistry-nya oke.

And how he always make me drink stuffs in the club back in our younger days. Padahal dia tahu aku gak bisa minum, gampang pass-out. Lalu besoknya dia menghiburku yang selalu ngerasa payah setelah make-out sama cowok yang aku bahkan gak ingat siapa.
Well, it's all because they're all him!

Sekarang aku ngerti kenapa teman-teman se-band Dipta dulu menganggap aku groupie-nya dia. Aku datang untuk nonton live music sambil berharap bisa kenalan dan gebet-gebet cowok, tapi akan selalu pulang sama Dipta.

Kenapa?
Aku selama ini selalu berusaha jadi sahabatnya, keluarganya, I did all my best to be there for him, to help him through things. Aku pikir dia juga sama.

Teleponku bergetar. It's Armie.
Aku biarin sampai bunyinya berhenti sendiri, berulang kali. Aku gak buka chatnya dia sejak tadi pagi, pas aku kirimin foto-foto bayinya Illy.

"Dude, your phone." Genta berkomentar.
"I'm busy."
"Turn it off then. Lo tau gue gak suka kalau layar gue geter-geter kena sinyal handphone."
"There are no such thing anymore, Gent."
"Gue sensitif sama gelombang sinyal."

Tapi aku mematikan ponselku akhirnya, males mesti berdebat sama siapapun.
Baik. Mari kerja.

***

Aku gak lapar. Aku gak istirahat. Aku bahkan gak bakalan minum kalau Jaka gak lebay bagi-bagi Milo untuk merayakan kesuksesannya bakalan taping video untuk Youtube Channel AI-Tech bareng Nina besok.

I kept working and make my mind busy.
All day long. Through the evening. Sampai isinya ruang teknis hanya aku dan Jaka di pojokan yang masih panik bikin script.

Dan kemudian Armie datang.
I kinda expecting it.
But apparently, I'm not ready, at all.

Dia masuk ruangan, menyapa Jaka akrab, dan duduk di sebelahku. Menyadari aku gak menyapanya sama sekali, dia ikutan diam. Lama. Sibuk sendiri dengan ponselnya.

"Ya, pulang, yuk. Udah malam."
Setelah setengah jam, mungkin lebih, akhirnya dia berkata pelan. Suara rendahnya bikin hatiku mendadak berasa dikruwes-kruwes. Seharian ini aku berusaha gak mikirin apapun selain kerjaan, dan mendengar nada penuh perhatian Armie, aku pengen banget nangis sambil dipeluk.

Aku mengangguk sambil merapikan semua barangku, saving semua kerjaan, dan akhirnya jalan sama dia ke lift.

"Neria Ilsa? Haven't gone home?"
Avant memanggilku, dadah-dadah dari jauh, saat aku dan Armie berdiri nungguin lift.

"I'm going now." jawabku.

"In London, we only do 8 hours a day top, okay?" Avant menambahkan dengan ceria, mengacungkan jempol.

Aku ikut memberinya jempol. Untungnya pintu lift terbuka di saat yang pas. Aku masuk, diikuti Armie, yang langsung menurunkan maskernya, menampilkan wajah penuh pertanyaan.

"What was that? London?" tanyanya.
"In three days." jawabku singkat.
"Kamu gak bilang sama aku? Kamu marah gara-gara aku dadakan pergi ke Bali kemarin?"
"Don't be silly."

Kami jalan bareng dalam diam, menuju parkiran. Armie mengulurkan tangan, minta kunci, tapi aku menggeleng. Ia menyerah dan membuka pintu penumpang. Aku menyalakan mesin dan AC, bersiap-siap menjalankan mobil.

"Ada apa sih, Ya? Kamu bikin aku takut. Is there something wrong?" Armie bertanya lagi, tapi kali ini suaranya yang lembut dan sentuhannya di bahuku membuat pertahanan diriku seharian mendadak runtuh.

Aku menangis histeris, bikin diriku sendiri pun kaget. Armie menarikku ke pelukannya dan aku malah makin tersedu-sedu.

"Kamu dipaksa pergi ke London?" tebaknya, masih tetap memelukku erat-erat.
Aku menggeleng.
"Ibu Bapak di Bandung kena Covid?"
Aku menggeleng lagi.
"Bayinya Illy kenapa-napa?"
Kembali, aku menggeleng.

"Kemarin... Aku diantar sama Dipta ke Bandung." aku menarik nafas dalam-dalam, meredakan sisa isakan yang masih ada.
Armie mengusap pipiku yang basah dengan air mata pakai ujung sweaternya.

"Aku sama dia ngobrolin kamu. Berlanjut sampai tadi siang. Dan..."
Aku gak bisa lanjut cerita.
Aku nangis lagi.

Aku pengen banget bilang semuanya sama Armie. Aku sudah terbiasa cerita banyak hal-hal sehari-hariku sama dia. Aku pengen banget ngeluarin semuanya dari hatiku supaya aku gak mesti mikirin dan bayangin hal-hal yang Dipta bilang sama aku tadi siang.

Tapi ini... Dipta.
It's his brother.
Dipta selalu berusaha kasih contoh dan teladan untuk Armie seumur hidupnya. Dipta selalu berusaha jagain Armie, pengen adiknya jadi orang baik-baik. Meskipun aslinya kelakuan dia kadang zonk banget, aku ngerti dia sayang banget sama Armie.
Memandang matanya Armie yang menatapku dengan khawatir dan sungguh-sungguh, aku jadi gak yakin meneruskan ceritaku.
Will he hate him?
Or me?

There's no other way.
"We should stop this."

Ekspresi Armie berubah seketika.
"Maksud kamu apa, Ya?"

"Kita. Kamu. Aku. We shouldn't do this anymore, Armie."

"Let me talk to him. Apapun yang Abang bilang sama kamu, soal kamu gak baik untuk aku, soal aku terlalu muda untuk kamu, itu semua cuma pikiran buruknya dia aja..."

"If you're finally sure that we can't be together, spare me the pain and please let me know." potongku, mengulang kata-kata Armie beberapa minggu lalu, membuatnya terperangah.
Yes. I remember it, words by words.
Aku pun kaget.
"I'm telling you now, Armie. I'm finally sure. We can't be together." tambahku.

"Karena Dipta? Karena aku tau banget, ini bukan gara-gara kita berdua. What we have is real, Ya. Kamu lihat aku sekarang dan bilang kamu gak punya perasaan sama aku."
Armie memegang kedua pundakku dan memandangku lekat-lekat. Ekspresinya mengeras.

Aku menggelengkan kepala, air mata membuat pandanganku buram seketika.

"Dia ngapain kamu?" tanyanya lagi.
I also have no idea, but he did lots of bad things.
Pertanyaan Armie barusan membuatku makin nangis lagi selama beberapa saat.

"Ya, apapun yang dia bilang soal kita, kamu tahu yang lebih baik kan? We're comfortable together..."

"You were right about me and him." potongku segera, sebelum berubah pikiran. Armie selalu curiga kalau kami berdua lebih dari temenan biasa. Kenyataannya, aku dan Dipta memang pernah ngapa-ngapain. Meski aku juga baru tahu.

"What?"
"We kissed, we made out, and more."

Kali ini Armie melepaskan tangannya dariku segera. Mundur seketika.
"Kamu bilang kamu enggak pernah..."
"We did."

Tatapan Armie kali ini membuatku merasa sangat bersalah. Kaget, marah, sedih, kecewa, dan semua perasaan buruk lain terlihat jelas di wajahnya.
Beberapa menit dalam diam, dan akhirnya Armie keluar dari mobilku.

I know I'm the one who lost him.
And myself.

Plot TwistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang