Commitment and Consequences

9.9K 1.2K 122
                                    

Setelah pembicaraan mengenaskan di Saestu malam itu, selama beberapa hari setelahnya Avant dan aku bersama-sama menghadap ke keluarga masing-masing untuk menyampaikan kalau...kami membatalkan rencana lamaran dan nikahan.

Keluargaku, meski kecewa, cukup cepat menerima kabar si lajang tua ini batal kawin. Mereka menghargai Avant datang dan ngobrol langsung, dan menjelaskan kalau kami punya perbedaan prinsip yang sangat mendasar. Dia sih mau-mau aja menjelaskan dengan sangat gamblang, tapi aku mencukupkannya sampai situ aja.

Meanwhile, Avant's parents are devastated. Ada adegan nangis-nangisan di hotel yang bikin bengkak mata, peluk-pelukan sama Mamanya Avant lama banget. Aku agak nyesel karena gak bisa jadi bagian keluarga yang menyenangkan dan super keren satu ini, tapi di sisi lain, somehow aku lega. Gak tau kenapa.

"Apanpan, kamu gak jahat kannnn..." Mamanya Avant bertanya sekali lagi sebelum aku pulang, sambil menghapus sisa air mataku.

"Engga, Mam." Avant menjawab. Dia gak sedih lebay tapi memang agak-agak kelihatan kecewa.

"Enggak sama sekali." tambahku. Justru aku yang jahat. Aku gak cuma selingkuh, tapi selingkuh gara-gara gak ngertiin anaknya. Nah kan. Nangis lagi jadinya. Seriously, aku ngerasa super guilty sama keluarganya Avant.

"Neria Ilsa. Kamu akan tetap jadi anak Mamah, yah. Kabar-kabaran, main-main, ngobrol-ngobrol seperti biasa pokoknya."

"I will. Thank you. I'm sorry."
And by those words, I'm saying goodbye to this beautiful family.

***

"So, what's the plan?" Avant bertanya saat kami di mobil, aku nyetirin dia yang pengen cari pepes ayam. Jam 10 malam.

"Plan apa, Avant?"

"With the guy! Neria Ilsa, you're such a man-eater." Avant tertawa mengejekku.
Oh. Armie.
Sebelum aku ke Bandung, aku memang minta Armie untuk gak hubungi duluan. Kalau udah beres urusan Avant, baru deh aku bisa mikir soal kelanjutan hubungan kami. Him being the nice guy, of course said yes.

"I don't know."
"Is it only a...one night stand or something?"
"Urm, I don't know."
"Poor guy. I think he likes you. He's so young, Neria Ilsa. Never thought you're a cougar." Avant ngikik lagi.
Sialan. Aku meninju pundaknya main-main dan dia malah makin ketawa.

Somehow, we're managed to still be friends this whole week. I mean, he's right: we're good partners and good mates. Even when we took the labels off, the connections and chemistries are still there. And even better. No expectations.

"Vant, kenapa sih kamu bisa-bisanya ngajakin kawin kalau emang gak pengen ngapa-ngapain?" tanyaku, ganti topik sebelum dibully lebih lanjut.

"Because I know you want it. And I want you around for long time. I told you this, right?"
Nih. Dia tuh mikirnya super sederhana. Gak mikirin perasaan.

"Iya tapi itu misleading, tau. Aku kan mikirnya: maybe he'll try to change for me. That's pretty romantic."

"It's actually very selfish. I just want you closer and never ever go." ia menanggapi santai, "I feel like I'm manipulating you this whole time. Sorry bout that, love."

Gitu lho obrolan-obrolan kami setelah...putus? Batal kawin? Apa ya istilah tepatnya? Yah itulah. We're like...family. Which is good. And awkward sometimes.

"Kamu balik UK lagi?" tanyaku.

"Kamu jadi ikut balik?"
Dia juga masih ajakin aku balik London, our private business is never affecting our jobs. Dia bahkan masih menawarkan tinggal di rumahnya.

"Nanti deh."
"Just let me know. I'll arrange everything. Or Sophie."
"Oh, sama aku mau balikin itu banyak banget hadiah kamu. Start from these..." aku membuka laci mobil, Avant mengeluarkan tas kertas berisi berbagai kotak perhiasan.

Plot TwistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang