BFF Talks

8K 1.4K 158
                                    

Dipta punya jadwal aneh, yang membuatnya gak bisa jemput Gea setiap Selasa sore dari kursus bahasa Inggrisnya di sebuah mall.
Heran ya anak Jakarta, kuliah di mall, kursus di mall, sekolah pun sekarang di mall. Aku jadinya selalu cabs jam 4 sore dari kantor tiap Selasa, anterin dia pulang dan temenin sampai Papinya balik menjelang makan malam.

Dipta kerja sebagai arranger/producer musik. Dia punya studio kecil di Tebet. Kliennya adalah PH untuk film, iklan, perusahaan rekaman, bahkan pemusik-pemusik yang trendi. Aku gak terlalu ngerti kerjaannya apa aja dan gimana, tapi dia lumayan sibuk, dan lumayan tajir. Dia adalah satu-satunya dari kami yang udah beli rumah sendiri.

"Udah di mana lo?" Seperti biasa, 30 menit sebelum menjemput anak kesayangannya, aku selalu ditelpon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Udah di mana lo?"
Seperti biasa, 30 menit sebelum menjemput anak kesayangannya, aku selalu ditelpon.

"Nih lagi jalan ke tempat les Gea."
Aku lagi ngantri boba, minuman favorit Gea yang selalu bikin remaja tanggung itu girang.

"Gue hari ini kayaknya balik rada malem, deh. Entah gimana gue terjebak harus ikut syuting live music di stasiun TV..." Dipta mendesah, suaranya kesal.

"Ya udah. Gue tungguin Gea ampe lo balik."
"Beneran?"
"Iya. Nanti gue beli makan malam trus makan di rumah. It's okay."
"Sip. Makasih ya."
"Okay."

Sejak kecil, Gea tuh termasuk anak yang menyenangkan. Mungkin karena dia dibesarkan sama orang-orang gede yang gak siap dengan kehadirannya, dia malah jadi sedikit lebih dewasa ketimbang anak seusianya.

"Hai, Bubu." ia memelukku saat keluar tempat kursus, dan memekik senang melihat gelas boba. "Aku mual banget sama pronunciation bahasa Inggris, boleh gak sih aku belajarnya bahasa Mandarin aja?"
Nah. Kan.

"Mandarin? Bukan Korea? Kirain kamu suka K-Pop, BTS, apalah..."
"Seru aja kalau ngomong kayak mau berantem terus. BTS sekarang udah bisa bahasa Inggris, gak perlu belajar bahasa Korea."
See? Ada anak umur 12 tahun lain yang gini gak ya? Aku, usia segini beneran masih kutuan, ingusan, belum dikasih nonton di bioskop...

"Berantem terus..." aku mencoba mengingat-ingat bahasa Mandarin.
"Itu, kemarin si Pamma kasih aku link KungFu Hustle. Old tapi keren banget itu..."
"Pamma?"
"Pamma. Paman Dharma."

Ah. Pamma kayaknya bakalan jadi tinggal di gedung yang sama denganku. Kemarin dia sudah telponan sama Bapak yang punya gedung.
Tapi Papinya Gea belum tahu apa-apa sepertinya.

"Pamma suka kasih kamu film aneh-aneh ya?"
"Banyak. Lucu-lucu. Dia jemput aku habis les renang hari Kamis sore, di Senayan."

Selasa, aku. Rabu, Kiky. Kamis, Dharma.
Nice arrangement, Dipta.

"Kapan-kapan aku jemput kamu renang juga ah, biar bisa ketemu sama Pamma." aku kepikiran.
"Lho, kemarin Pamma bilang gitu juga ke aku." Gea melirikku, kaget, "Katanya biar bisa ketemu Bubu dan bikin Papi manyun."

Hahaha.
Armie banget itu. Si jahil yang ceria dan selalu bisa bikin abangnya kzl.

***

Persahabatanku dan Dipta sebetulnya adalah hubungan yang aneh dan tidak terduga. Balik ke 20 tahun lalu, saat kami masih seumuran Gea, dan jadi anak kelas 1 SMP di sekolah negeri.
Waktu itu, aku tomboy banget, dengan rambut pendek dan kelakuan rusuh. Sementara Dipta ini anak dari kelas lain, terkenal karena cakep, jago main gitar dan hobinya baca buku Kahlil Gibran. Teman-teman cewekku menggilai dia, jauh sebelum Rangga AADC muncul di bumi nusantara. Buatku dia gak ada cakep-cakepnya sama sekali. Mungkin karena aku telat puber ya...

Plot TwistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang