Angst & Desire

8K 1.2K 99
                                    

"No."
Adalah kata-kata Armie saat menyadari kalau Dipta adalah orang yang menjadi alasanku melakukan banyak banget hal tak terduga selama beberapa bulan terakhir.

"Tapi kalian kan...sahabatan, Ya..." ia terlihat shock. Aku mengangguk.
"And I was so close with him lately!" Armie mengusap rambutnya dengan frustasi.

"How?" Armie nanya lagi.
"Aku gak ngeh sih, sampai dia ngaku akhirnya. Terus abis itu aku ngerasa pengen jauh-jauh secepatnya. Dan ada tawaran pergi ke London. So I went."

"What did he do?" Armie bertanya lagi.
"A lot."
"Kok bisa kamu gak ngeh?"
"I was drunk."

Armie memandangku dengan wajah siap-siap ngomel, tapi kemudian sadar kalau itu bukan bahasan kali ini.

"Ini kapan kejadiannya?"
"Kuliah...tingkat awal. A long time ago."
Aku lalu cerita soal kebiasaan burukku yang suka sok-sok'an ngebir terus gak sadar, bikin Armie sedikit males dengernya. Tapi udah nanggung, sekalian aja. And how this guy taking advantages of me. Nyesek sih ngulang cerita ini.

"I thought he's gay." Armie menggelengkan kepalanya gak percaya.

HEI, TUNGGU SEBENTAR.
"Mie, ini bukan Kiky." aku berkata segera.
"Hah? Trus siapa?"

Aku gak bisa menyebut namanya.
Tapi melihat wajahku, tatapan Armie berubah kelam seketika.
"Dipta." tebaknya yakin.

Aku mengangguk.
Armie gak pake komentar lebih lanjut, tiba-tiba jalan cepat keluar pintu. Eh? Lalu apa nih? Aku buru-buru menyambar tas tangan dan jaketku, lalu menyusulnya keluar.

Pas banget. Armie lagi ngunci unit dan bersiap pergi.

"Mie, mau kemana?"
Lihat mukanya, dia kelihatan kayak mau bertindak jahat. Meskipun secara umum dia memang berparas jutek, tapi ini parah banget sih.

"Ketemu Abang." jawabnya dingin.
"Aku ikut."
"Enggak." ia melangkah ke tangga. Aku mengejarnya.

"Ya, kamu diem di sini. Kamu lagi ga enak badan, gausah ikut-ikut." Armie akhirnya berhenti untuk menahanku lanjut jalan turun.
Aku melewati lengannya dengan cepat, lolos segera dari hadangannya.

"Kalau kamu pergi aku ikut. Kalau gak mau bawa aku, aku naik ojek ikutin mobil kamu."
It's only 9pm anyway.

Armie mendesah putus asa mendengarku sebelum akhirnya menggandengku turun tangga.

***

Di jalan, Armie telpon kakaknya yang kuhindari selama ini, lalu kami meluncur ke salah satu kafe gaul terjamin protokol Covid di Jaksel--katanya. Aku antara lega sama waswas, soalnya di tempat umum kayaknya Armie gak bakalan violent, tapi di sisi lain, Dipta tipikal orang hobi drama publik bahan viral gitu lho.

Pas datang, tentu kami dilarang masuk.
Ya gimana. Aku ya jelas lah ya gara-gara pake baju tidur yang bahkan gak proper buat maen ke Alfamart, sementara Armie meski cocok dengan style lelaki muda jaman now: lounge wear comfy-comfy dengan celana pendek dan oversized tee, cuma pake sendal jepit.

Jadilah Armie telepon lagi. Lalu kami jalan menjauh dari pintu masuk. Aku mulai berpikir ini ide buruk, dan mulai mencoba ngajakin Armie pulang, at least masuk mobil dulu deh.
Sejauh ini kayaknya sih akan sukses... Ini kami udah jalan ke parkiran lagi.

"Dharmaaaa!" sampai kudengar seruannya Dipta yang khas. Dia kalau manggil Armie ya macam abang-abang manggil adek bocah yang lagi maen ke tetangga. Kenceng dan nadanya ngeselin tapi penuh sayang.

Armie berhenti berjalan, lalu setengah berlari menghampiri Dipta yang baru keluar dari cafe.

"Eh kenapa kamu..."
Pertanyaan Dipta gak selesai, karena keburu dibungkam oleh pukulan keras yang membuatnya jatuh ke tanah, disusul jeritan dan seruan kaget beberapa pengunjung sekitar.

Plot TwistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang