Decisions Pt. 2

6K 1.3K 146
                                    

Hari ini, Jaka selaku PIC WFH AI-Tech membuat tutorial online buat divisi operasional. Ribetnya ampuuuun. Aku jadi ikutan repot, sebel, gara-gara Jaka sering nge-freeze mendadak kalau ada wajah Nina muncul di layar. Aku jadi seksi nyikut pinggang deh.

Habis itu, ada kiriman pizza dari Kiky yang dibagi sama teman-temanku. Lanjut ke kerja kelompok bikin API untuk NLP, yang melibatkan seorang peneliti linguistik bahasa Cina. Buat NLP Bahasa Indonesia aja ampun-ampunan susahnya, apakabar ini bahasa Cina. Tapi kami cuma perlu ngajarin peneliti-peneliti ini cara pakai sistemnya dan mereka kerjaannya ngisi data aja. Itupun, sulit.

Hari yang padat gak berasa jadinya. Aku habis selesaikan laporan harian saat Armie menelpon.

"Aku kayaknya dua tiga hari nih, di sini." keluhnya. Dia di Bali, yang entah gimana ceritanya malah ada klien mau bikin beberapa resto di masa pandemi. Ya baiklah, bisa pending obrolan yang sulit sampai dua-tiga hari ke depan, kalau gitu.

Kami ngobrol-ngobrol seperti biasa. Lalu aku baru ngeh kalau kami tuh emang...cocok sih. Sejak dulu, pas kami masih sama-sama bocah. Sebagai teman, Armie dan aku punya minat yang sama, cara pikir yang saling melengkapi dan obrolan yang selalu mengalir. Sebagai TTM, well...he's the sweetest. Aku gatau lagi nemu yang macam Armie gini dimana. Sedikit sedih mikirin kebiasaan-kebiasaan kami beberapa minggu terakhir yang sejujurnya, manis banget kalau dipikir-pikir.

Saat aku menutup panggilan, Avant melambai dari depan ruangan. Ampun. Aku hampir lupa hari ini ada janji. Untungnya aku selalu sedia pakaian ganti di laci meja.

Kali ini, orang-orang udah gak kepo lagi sama aku. Mereka udah pada kenal Avant, tahu gimana dia akrab dan lebih suka ngobrol one-on-one sama orang. Kami turun sambil ngobrol, turun terus ke basement, dan akhirnya meluncur di jalanan Jakarta.

Rumah Avant ternyata gak jauh dari RS tempat Kiky dirawat waktu itu. Rumah mungil cantik di area mahal Jakarta Selatan yang teduh dan terkenal sebagai lokasi kediaman para pejabat teras dan mantan petinggi negara.

"Kamu beli rumah di sini?" tanyaku akhirnya, gak tahan kepo, saat kami memasuki gerbang otomatis yang terbuka melalui apps di ponsel Avant.

"Are you kidding? Air B&B, lah." jawabnya, membuatku tertawa. Okay, he's rich but he's good with money. Plus point.
"Yang penting Mamaku nyaman, ke RS dekat, gak terlalu jauh dari kantor, dan jalanannya gak terlalu macet bisa potong sana-sini." ia menjelaskan, sambil parkir di halaman depan yang cukup luas.

Rumahnya gemes banget.
Asri, banyak pohon, meski modern tapi suasananya hangat. Bukan yang minimalis aneh kayak museum gitu lho. Avant membuka pintu depan dan mengucap salam.

"Kamu bisa mandi di sini..." ia membuka salah satu ruangan yang ternyata kamar tamu super rapi, "Nanti kalau udah siap, langsung ke ruang tengah atau ruang makan aja. Aku juga harus mandi dulu sebelum ketemu Mama, dokternya jaga banget, jangan sampai dia kena Covid."
Iya sih. Wajar lah ya. Selain sudah tua, beliau juga sistem imunnya lebih lemah.

Habis mandi, keringin rambut dengan sentosa pakai hair dryer, dandan tipis-tipis dan akhirnya merasa sedikit puas karena aku gak underdressed (finally!), aku keluar menuju ruang makan.

"Haiiiii, Neriaaaa. Apa kabaar?" Mamanya Avant menyapa, hangat. Aku tahu dia gak bisa cipika-cipiki di era pandemi, tapi keramahannya sudah sangat menyenangkan.

Mamanya Avant punya dua asisten di rumah; satu perawat dan satu lagi untuk mengurus rumah dan masak, keduanya makan bareng kami juga, seperti keluarga. Aku dikenalin dan mereka ramah-ramah. Rasanya... Aneh tapi akrab. Aku mendengar cerita tentang Avant yang, somehow, cocok dengan bayanganku selama ini tentangnya. Si jenius yang bersahaja dan sayang keluarga.

Plot TwistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang