Story of History

5.7K 1.2K 180
                                    

"Love, it's your phone."
"Hmm?"

Aku mengambil ponselku dari Avant, yang bawain dari dalam kamar. It's Ren.
Waaaaiiiit a minute!
Ren? Aku ngeswipe hapeku dengan penasaran.
"Neriaaaa! Lagi di London katanya?"
Ooooh. This raspy voice! Gila ya, Ren suaranya doang pun berasa macho bener.

"Ren! Hai! Iya nih. Kenapa-kenapa-kenapa?"
"Saya mau nagih ngopi-ngopiiiii..."

Tunggu sebentar. Dia barusan nanya aku lagi di London bukan sih?
"Ngopi-ngopi di mana?"

"Diiii...sekitar Kensington?"
Lalu aku baru ngeh.

"REN, LO DI LONDON?!"
Aku nyaris berteriak. Ia tertawa keras-keras.

"Kamu, cakep-cakep mikirnya lama juga deh. Iya, saya di London. Tadinya ada biennale, tapi batal, akhirnya bikin workshop aja sama temen-temen yang pameran. Udah dapat tiket, sayang banget kalau batal."

Ah. Iya. Ren pas terakhir ketemu, dia bilang ada pameran dan lagi jadi anak advertising agency.

"Kapan? Boleh, yuk."
"Nanti malam? Saya harusnya selesai jam 7an sih. Mungkin sekalian makan malam kali ya?"
"Sippp. Eh, Ren, gue bawa pacar gapapa ya."
"Gak papa dong. Kenalin sekalian. Nanti kabaran ya!"

Saat aku menutup telepon, kusadari Avant berdiri di pintu dapur sambil senyum-senyum.
"Pacar ya?" tanyanya.
"Apa dong, maunya? Temen kostan?" aku menghampiri dan menenggelamkan tanganku di rambutnya.
"Pacar is fine." ia tertawa kecil, "It's pretty cute."

"Nanti malam kita ke Kensington ya. Ada temanku dari Indonesia lagi pameran di sini. Ajakin makan malam di mana?"
"Is pizza okay?"
"Oke banget, love."
"I'll make reservations then." ia mencubit pipiku sebelum melepas rangkulanku dan berjalan ke meja kerjanya.

Ah. Avant.
Sejak ulangtahunku beberapa minggu lalu, dia makin-makin tambah manis dan santai. Bikin aku frustasi sih, sebetulnya. Aku pikir aku gak sekorslet Nina kalau lihat cowok ganteng, tapi ternyata beda ceritanya kalau cowoknya Avant.
Aku jadinya usil, trus suka banget nempel-nempelin dia, ganggu-gangguin, kitik-kitik, bisik-bisikin...sementara Avant menanggapinya dengan kalem sambil usap-usap kepala doang.
Dia...beneran gak tertarik untuk apaaaaaa gitu? Lalu aku ingat kalau dia memang gak berminat.
Gitu terus tiap hari.

Well, Kiky already warned me about this, though. Dan akhirnya aku ikuti sarannya untuk gak memproklamirkan apapun sama keluargaku sampai aku bener-bener dilamar. Avant, as always, agreed with everything I want.

"Anggap trial mode dulu, cuy. Lo kalau beneran kawin, trus gak dikawinin, mau mati pasti lo." komentarnya, yang tadi kuketawain, tapi trus kepikiran terus beberapa saat terakhir.

Aku menulis satu e-mail untuk Armie, menegaskan kalau apapun yang pernah terjadi, well, it's over, I've move on, found someone. Dan dia sepertinya cukup sakit hati, karena hanya menjawab : OK.
Sejujurnya, aku gak berani nelpon maupun videocall karena...aku pengecut. Dah. Itu aja deh. I'm okay with being called a coward. Because I am.

But hey, life goes on.

"Neria Ilsa, kita mau berapa orang?" Avant bertanya dari kamarnya.
"Tiga."
"Let's make it four, then."
"Sure."

***

Aku berdandan dan pakai salah satu dress terbaik yang kubawa ke UK, menata rambutku dengan kepangan rapi, dan Avant bersiul melihatku tampil ekstra.

"Who is this person?" ia bertanya, saat aku pakai jaket, "Any hidden agenda?"

"You're my first boyfriend in years. You're already gorgeous, so I need to balance it up for you. He's a social butterfly, kalau tau-tau kita wefie trus dia publish di socmed, I want us looking good."

Plot TwistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang