Part 21

4 2 0
                                    

Bagaimana rasanya dipeluk oleh orang yang kau sukai? Benar, semua itu tidak bisa dijelaskan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagaimana rasanya dipeluk oleh orang yang kau sukai? Benar, semua itu tidak bisa dijelaskan. Bagaimana hangatnya pelukan itu bahkan tidak bisa direalisasikan. Bukan tubuh yang saling menghangatkan, namun perasaannya terasa hangat karena pelukan tiba-tiba.

Alvian, orang yang kini merasakan pelukan tiba-tiba itu. Percaya tidak percaya, begitu pintu itu terbuka lebar Veyara tiba-tiba mendekapnya dengan  mata tertutup. Hingga terdengar sebuah isakan yang sangat jelas di telinganya.

"Vey?" panggilnya.

Gadis itu sama sekali tidak bergerak. Justru semakin mengeratkan pelukannya. Namun, Alvian belum berani membalas pelukan gadis itu.

"Vey?" panggilnya lagi begitu ia sadar tubuh Veyara semakin bergetar. Dingin.

"Veyara?" Alvian masih mencoba memanggil Veyara namun tak ada jawaban selain suara isakan tangis.

Laki-laki itu menunduk. Alvian mengernyit begitu melihat sebuah luka gores yang sangat dalam terpampang jelas di lengan Veyara. Apa gadis itu melukai dirinya sendiri?

"Vey, tangan lo kenapa?"

Veyara melepas pelukannya. Ia menatap lengannya yang terdapat luka gores yang belum kering. Ia mengusap air matanya lalu menggelengkan kepalanya sambil menatap Alvian.

"Enggak kenapa-kenapa kok," ujarnya sambil tersenyum paksa.

Alvian menatapnya lekat. Laki-laki itu berusaha mencari kebohongan dari mata Veyara. "Gue tahu lo bohong," ujarnya. "Kenapa, hmm?"

Tidak ada yang tahu bagaimana kabar jantung Veyara kali ini. "Enggak, kok!" jawabnya sambil menggeleng.

Alvian terkekeh geli hingga membentuk lesung pipi yang baru Veyara lihat hari ini. Sungguh! Jantungnya sedang tidak sehat. Bahkan Veyara baru sadar jika senyum Alvian begitu manis hingga pipinya kini terasa hangat. Rahang yang tegas, hidung mancung yang pas, alis yang berbentuk rapi dengan ketebalan yang pas, tatapan mata yang tenang, dan satu lagi, lesung pipinya yang sangat dalam. Tidak ada yang bisa mendeskripsikan semuanya.

Tanpa sadar laki-laki itu menuntunnya hingga duduk di atas ranjang UKS. Alvian berjalan mengambil kotak P3K lalu kembali menghampirinya. Mengoleskan salep luka dengan sangat perlahan. Tidak ada yang tenang di satu ruangan ini.

"Gue minta maaf," ujarnya Veyara tiba-tiba membuat Alvian menoleh kepadanya.

"Kenapa?"

"Baju lo basah."

Alvian terkekeh geli hingga lesung pipinya terlihat begitu jelas. Ayolah, Veyara juga seorang cewek yang normal. Dimana ia bisa kapan saja meleleh dengan senyum dan lesung pipi milik Alvian.

"Gakpapa," jawab laki-laki itu.

Tiba-tiba sebuah dering ponsel menengahi momen mereka berdua. Dering itu terdengar dari ponselnya. Veyara segera mengangkatnya begitu melihat nama yang tertera jelas di layar.

"I-iya?"

"..."

Bukannya menjawab, Veyara memutuskan sambungannya. Membuat Alvian mengernyit heran.

"Kenapa dimatiin?" tanya laki-laki itu.

"Gak penting." Veyara kembali memasukkan ponselnya.

Setelah itu keduanya menjadi canggung. Veyara yang menundukkan kepala karena bingung harus memulai topik dari mana dan Alvian yang tanpa Veyara sadari sedang menatapnya lekat.

"Mata lo bengkak, kenapa? Lo habis nangis?" Tiba-tiba Alvian membuka suara yang langsung di beri pertanyaan yang tidak bisa ia jawab. Bahkan untuk mengingatnya saja ia tidak mau.

"Ha? Enggak papa!" jawabnya.

Alvian menganggukkan kepalanya mengerti. Laki-laki itu mencoba menghargai privasinya. Walau sebenarnya ia butuh seseorang untuk bercerita. Dan dari beribu-ribu banyak orang, hanya hujan dan dirinya sendiri yang tepat. Ralat, lebih baik dipendam.

"Gue duluan, ya? Lo disini aja, habis ini pulang, sama gue, bye!" Alvian pergi meninggalkannya. Veyara tersenyum memandangi punggung laki-laki itu yang menghilang di balik pintu.

Selama ini dirinya sangat memimpikan kasih sayang seorang kakak laki-laki. Benar, seorang kakak laki-laki. Bahkan ia pernah sempat menyesali karena ia hidup tanpa kakak laki-laki. Baginya kakak laki-laki adalah pria kedua yang menyayanginya jika ayah meninggalkannya. Bermimpi dilindungi dan bersikap posesif padanya begitu sangat ia inginkan.

Namun, beberapa saat kemudian ia sadar. Tidak akan ada yang bisa berubah ketika takdir di depan mata.

Veyara menghela napas panjang. Tidak ada hari yang menyenangkan selain di dalam mimpi. Itu yang selama ini ia pikirkan tentang kehidupan. Hanya perlu bersyukur maka hidupnya akan tercukupi.

Berdiam diri di dalam ruang UKS sendirian membuatnya teringat akan sesuatu. Laki-laki yang menolongnya satu tahun yang lalu belum ia ketahui identitasnya. Anehnya, bagaimana bisa laki-laki itu tahu dimana keberadaannya. Sementara kejadian itu berada di sebuah apartemen elit dengan penjagaan ketat di setiap sudut.

Jika saja ia tahu siapa laki-laki itu, mungkin ia akan sangat berterima kasih. Bahkan sampai sekarang ia masih menunggu laki-laki itu. Ia tahu tidak ada usaha karena tidak ada yang bisa ia tanyai tentang laki-laki. Namun, akhir-akhir ini ia kerap merasa bahwa laki-laki itu ada di sekitarnya. Bahkan sangat dekat.

***

Bel pulang berbunyi. Dan Veyara masih berada di tempatnya. Seakan lupa tentang apa yang harus ia lakukan, ia berdiam dan menunggu laki-laki itu. Alvian, laki-laki itu sudah berucap akan menghampirinya setelah jam berakhir.

Ceklek.

Pintu terbuka lebar. Senyumnya mengembang begitu sosok laki-laki yang ia tunggu berdiri sambil membawa tasnya.

"Makasih," ujarnya.

"Ayo!" Alvian meraih telapak tangan kanan Veyara.

"Al, gimana kalo lo duluan?" Veyara menatap Alvian tak enak hati.

Laki-laki itu mengernyit heran. "Kenapa?"

"Gue mau ke lapangan basket dulu," jawabnya. Benar, ia sudah lama tidak menyentuh benda bulat itu.

"Ayo, gue temenin!" Alvian tersenyum lalu menarik lengan Veyara menuju lapangan basket. Tanpa sadar, hari ini keduanya menghabiskan waktu bersama. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan mereka masing-masing.

Keduanya sampai di lapangan basket. Lagi-lagi sepi, hanya ada mereka berdua.

Veyara menarik napasnya panjang. Udara di lapangan basket memanglah berbeda. Sorakan penonton basket kini terngiang-ngiang di kepalanya. Ia merindukan masa-masa itu.

Ia mengambil satu bola basket. Memantulkannya ke lantai lalu mencetak poin. Ia melakukan hal itu berulang kali.

Dulunya, bola basket hampir menjadi separuh hidupnya. Kesalnya ia lampiaskan dengan melempar bola, senangnya dengan memantulkan bola hingga menciptakan bunyi yang baginya sangat merdu untuk di dengar.

Sebenarnya menikmati hidup bukanlah hal yang sulit. Sibukkan diri maka kau akan lupa masalah hidupmu, selesai. Itu yang ada di pikiran Veyara. Namun, di tengah kesibukan pasti ada yang membuatnya teringat dengan masa kelamnya.

Ting!

Tiba-tiba ponselnya berbunyi.

Zafran:
-Lo dimana?
Read.

Ia tidak menjawabnya. Dan ia juga tidak perduli. Ia hanya butuh ketenangan hidup. Bahkan jika bisa ia perlu mengasingkan diri, bahkan jika harus ke negeri orang mungkin ia akan melakukannya. Asal ia jauh dengan orang yang membuatnya terluka atau mengulang luka yang telah lama kering.

"Vey!"

Veyara Secret [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang