Bel pulang berbunyi nyaring. Zafran segera bergegas keluar kelas. Laki-laki itu terlihat sangat frustrasi dilihat dari rambutnya yang berantakan. Zafran berulang kali mengecek ponselnya sambil melebarkan matanya.
Tiba-tiba Aji menghentikannya di depan tempat parkir. "Fran, lo kenapa, sih?" tanya Aji yang sudah tidak tahan lagi dengan sikap aneh Zafran hari ini.
"Gak kenapa-kenapa, emangnya kenapa?"
Aji mematung mendengar jawaban Zafran. "What the ff—Fran, gue jadi tambah bodoh gara-gara lo!"
"Sumpah gue gak ngerti, saat ini gue pengen sendiri dulu," ujarnya. Laki-laki itu segera mengambil motornya lalu pergi dari area sekolah. Kini ia benar-benar sedang sangat kacau.
Laki-laki itu berulang kali berpikiran untuk membanting setir motornya. Mungkin dengan masuk rumah sakit ia tidak akan sekacau ini. "Sialan! Bisa gila gue nanti!" umpatnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke tempat biasanya ia dan teman-temannya berkumpul. Sepertinya memang tidak ada tempat yang pas untuknya saat ini.
Tepat berhenti di depan rumah yang sudah lama tidak di bersihkan. Antek-anteknya memang tidak pernah peduli dengan semua itu. Mereka hanya mau tinggal, tidak dengan membersihkannya.
Zafran membuka ponselnya sebelum masuk ke dalam. Laki-laki itu kembali mengacak rambutnya frustrasi. Pesan yang sebelumnya masuk dari nomor tak dikenal itu sedari tadi belum ia jawab. Hal ini salah satu penyebab dirinya menjadi sekacau ini.
+62xxxxxxxxxxx
-Hai
-Ini gue
-Arletta
"Fran!" Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Membuatnya terjingkat kaget.
"Sialan! Ngagetin gue lo!" umpatnya kesal.
Gentha terkekeh geli. "Kenapa lo masih di sini? Ayo masuk!"
Gentha pun masuk. Namun, Zafran masih tetap diam di tempatnya. Laki-laki itu kembali mengecek ponselnya. Ketika dirinya hendak membuka panel notifikasinya, nomor tidak dikenal tiba-tiba membuat ponselnya berdering. Zafran menatap heran layar ponselnya.
Akhirnya laki-laki itu menarik tombol hijau itu. Zafran menarik napas panjang sebelum membuka suara. "Lo si—"
"Zafran, lo harus kesini, gawat! Gue bakal sharelock!" Sang penelepon memutuskan sambungannya.
Zafran mengernyit heran. Kemudian ponselnya kembali berbunyi. Namun, bukan sebuah panggilan, kali ini nomornya yang sama mengirimkannya sebuah lokasi yang cukup jauh dari tempatnya saat ini.
Zafran terlihat sedang berpikir. Apakah ia harus pergi atau masa bodoh dengan semuanya. Orang itu tidak memberitahukan identitasnya. Dan dirinya juga tidak akan mungkin dengan mudah percaya omongan orang itu.
Namun, beberapa saat kemudian, Zafran kembali menaiki motornya lalu melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Entah, firasatnya buruk. Ia merasa akan terjadi sesuatu hal yang besar.
Zafran turun dari atas motornya begitu sampai di depan sebuah rumah dengan rumah yang hampir tak berpenghuni. Entah, dirinya benar-benar tidak tahu kenapa ia terbawa untuk menuju tempat ini. Laki-laki itu berdiri mematung sambil mengedarkan pandangannya ke pekarangan rumah itu.
Ponselnya berbunyi nyaring. Lagi. Laki-laki itu berdecak kesal. Lagi-lagi nomor yang sama mengiriminya sebuah pesan singkat.
+62xxxxxxxxxxx
-Zafran! Cepat kesini!
Laki-laki itu tersulut emosi. Zafran tidak tahu harus tetap tinggal atau pergi ke lokasi yang orang itu berikan kepadanya. Semuanya terlalu rumit.
Akhirnya Zafran memutuskan untuk pergi ke tempat yang orang itu kirimkan. Walau dalam hati dirinya tidak yakin untuk pergi dari sana.
***
"Van, gimana? Jam segini belum nyampe juga, ini jadi atau enggak, sih?" gerutu seorang gadis yang duduk tepat di depan Vanesa.
Cafe dengan interior klasik itu membuat siapa saja yang datang ke sana takjub. Vanesa memang paling pintar menemukan tempat apik untuk saling berkenalan.
"Tenang aja, bentar lagi nyampe kali!" jawab Vanesa santai.
"Itu dia!"
***
Laki-laki itu melepas helm full facenya begitu sampai di tempat yang sudah sesuai dengan lokasi yang diberikan. Zafran mengembuskan napasnya panjang sebelum masuk ke cafe klasik itu.
"Siapa yang ngajak gue kesini?" gumamnya sambil melangkah memasuki cafe tersebut.
"Zafran!"
Zafran berbalik begitu mendengar namanya disebut. Laki-laki itu tertegun begitu melihat apa yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Vanesa yang merasa aneh pun menghampiri laki-laki itu. Gadis itu menepuk pundak Zafran sambil terus memanggil nama laki-laki itu.
"Zafran!"
Atensi laki-laki itu terpusat pada meja dimana ada satu laki-laki dan satu perempuan. Yang semakin membuatnya terkejut adalah keberadaan seseorang yang ia rasa harusnya telah menghilang jauh tanpa bisa lagi menampakkan diri.
"Zafran, ayo!" ajak Vanesa. Gadis itu menarik lengannya dan membawa Zafran mendekat ke meja dimana dua orang itu berada.
"Alvian?"
Laki-laki itu berbalik. Zafran segera menarik lengan laki-laki itu dam membawanya pergi jauh. Ia perlu berbicara dengan laki-laki itu.
"Lo ngapain di sini?" tanya Zafran.
Alvian tersenyum remeh. Laki-laki itu menatap Zafran. "Gue juga gak mungkin buat sembunyi terus, kan? Lagian, semuanya udah selesai, kita gak ada problem lagi," ujar Alvian sambil menaikkan satu alisnya sebelum ia pergi dari hadapan Zafran dan kembali duduk di samping Vanesa.
"Lo udah kenal sama Zafran?" tanya Vanesa kepada Alvian yang baru saja duduk.
"Kita cuma pernah ketemu di suatu tempat." Alvian melirik sekilas Zafran.
"Oh." Vanesa menganggukkan kepalanya.
Kali ini situasi menjadi canggung. Tidak ada yang bersuara selain para pengunjung yang kian berdatangan. Zafran melirik sekilas gadis di depannya. Lagi-lagi bayangan masa lalu terus membayangi seluruh isi kepalanya. Bahkan, suara gadis itu terus terngiang-ngiang di pikirannya. Suara parau meminta sebuah pertolongan kini kembali mengacaukan dirinya.
Beberapa saat kemudian. Zafran tersadar dari semuanya. Mungkin karena kelelahan dirinya menjadi seperti ini.
"Vey," panggilnya sambil menatap gadis di depannya.
Vanesa tertegun begitu menyadari sesuatu. Vanesa menatap gadis di sampingnya dengan tatapan terkejut, seolah berbicara, "apa yang terjadi?" Bahkan, Alvian ikut terkejut mendengarnya.
Gadis yang merasa terpanggil itu segera menoleh menatap Zafran.
Zafran terdiam. Tatapan gadis di depannya sangat berbeda dari yang ia kira dengan kepribadian Veyara yang tertutup. Tatapan antusias? Hal itu tidak terdapat pada diri Veyara.
"Kemarin lo..."
"Eits, kayaknya kita harus pulang dulu, deh. Soalnya gue sama Veyara ada urusan," ujar Vanesa tiba-tiba. Vanesa itu menarik tangan gadis itu lalu segera membawanya pergi dari tempat itu. Lalu diikuti Alvian dari belakang.
Sementara Zafran, laki-laki itu masih saja belum bisa mencerna semuanya dengan baik. Zafran mengacak rambutnya frustrasi sebelum keluar dari tempat itu. Dirinya sedang sangat kacau hari ini. Mungkin seharusnya dirinya tetap berada bersama teman-tangannya.
Zafran melajukan motornya. Di tengah perjalanan rumah kosong yang sempat ia datangi tiba-tiba terpikir olehnya. Entah kenapa Zafran merasa ada sesuatu di rumah kosong itu. Laki-laki itu menghentikan motornya. Zafran mengecek ponselnya. Laki-laki itu mencari Veyara. Pertanyaan yang belum terucap terasa mengganjal jika tidak segera terjawab.
Zafran menelepon Veyara dari ID Line yang Aji berikan. Laki-laki itu mendekatkan ponsel ke telinganya. Hingga panggilan itu tersambung.
"Vey?" panggilnya. Namun, belum ada jawaban.
"Vey?" panggilnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Veyara Secret [END]
Teen Fiction❝Luka ini kembali basah hanya karena ku tahu kita saling mencintai❞ Luka yang selama ini ia lupakan kembali basah hanya karena satu laki-laki yang datang menyatakan cintanya. Zafran tidak menyangka akan bertemu dengan wajah perempuan itu...