❝Luka ini kembali basah hanya karena ku tahu kita saling mencintai❞
Luka yang selama ini ia lupakan kembali basah hanya karena satu laki-laki yang datang menyatakan cintanya.
Zafran tidak menyangka akan bertemu dengan wajah perempuan itu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Zafran berdecak kesal melihat nama yang tertera dalam panggilan itu. Bahkan untuk mendengar setiap kata yang keluar dirinya muak.
Dengan malas ia mengangkat panggilan itu. "Kenapa lagi, sih? Udah puas, kan? Zafran terima semuanya!" Ia tahu, ayahnya meneleponnya hanya akan membicarakan perjodohan tidak penting.
"..."
"Apa? Pah, jangan dimatiin dul—"
Panggilannya berakhir. "Arghh!"
Zafran beranjak dari tempat duduknya. Ia merasa hidupnya akan berakhir hanya karena menuruti kemauan orang tuanya. Dua manusia penggila harta itu tidak ada habis-habisnya memerbudaknya, ia merasa dijual sekarang.
Setelah mengambil tasnya ia segera pergi. Ia tidak perduli dengan segala bentuk makian yang satpam sekolah ucapkan. Zafran memang sengaja pergi tanpa surat izin. Laki-laki itu hanya terlalu tidak perduli.
Zafran melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Membelah jalan yang semakin padat. Salah satu hal yang membuatnya seperti ini adalah perjodohan yang orang tuanya maksud.
Zafran pun sampai di rumahnya. Dimana kedua orang tuanya menunggunya datang.
"Kenapa lagi, sih?" Ia tahu dirinya memang sudah pasrah dengan semuanya. Karena ia tahu membantah pun hanya akan merugikan dirinya. Namun, bukan berarti setelahnya mereka akan dengan mudah menyuruhnya seperti ini. Lalu diancam dengan segala bentuk cara agar dirinya tidak menolak.
"Harusnya kamu segera siap-siap, kita akan ke rumah mereka!" jawab ayahnya.
Zafran tahu bukan saatnya untuk bertengkar kali ini. Namun, pria yang satu ini begitu menguras emosinya.
Dengan kesal Zafran pergi menuju kamarnya. Melakukan persis seperti apa yang pria tua itu katakan. Anggap saja dirinya durhaka. Namun, siapa saja yang menjadi dirinya akan muak dengan ini semua. Ini sebabnya ia hampir tidak pernah di rumah dan memilih ke tempatnya berkumpul dengan teman. Seluruh isi kepalanya akan meledak karena dua makhluk seperti mereka.
Beberapa menit kemudian ia selesai. Setelah jas hitam yang membalut tubuhnya sangat cocok untuknya yang kian dewasa.
Zafran menatap kesal ke arah pria tua yang kini duduk di sampingnya. Ia tahu hidup bukan sebuah lotre, tapi setidaknya ia bisa hidup tenang dengan pilihannya sendiri. Atau bahkan jika saja ia bisa memilih siapa yang akan menjadi orang tuanya, mungkin ia memilih menjadi anak yang terbuang.
***
Plakk
Veyara terbelalak kaget. Gadis itu seketika terbangun ketika tamparan keras ia rasakan. Tubuhnya remuk. Dirinya tidak tahu apa-apa sama sekali.
"Bangun! Dasar anak gak berguna! Sekarang cepat siap-siap!"
"B-buat apa?" tanya Veyara takut. Seketika perasaannya kalut. Gadis itu mengingat seluruh kejadian satu tahun yang lalu. Kenang pahit itu begitu meninggalkan luka yang sangat dalam. Ia pikir orang tuanya melakukannya demi kebahagiaan dan masa depannya. Namun, ternyata itu di luar ekspektasinya.
"Jangan banyak tanya, turutin perintah saya!" bentak pria itu, yang semua orang yakini adalah ayahnya. Pria itu lun keluar lalu mengunci pintu kamar Veyara dengan keras.
Veyara terdiam sejenak. Lagi-lagi dirinya kembali teringat kejadian satu tahun yang lalu. Dimana ia tiba-tiba dijodohkan dengan Alder. Laki-laki dengan tampang baik berhati busuk itu mampu meluluhkan orang tuanya. Tidak, ralat semuanya adalah paksaan demi uang.
Tangannya mengepal kuat. Ia membenci kehidupannya. Ia benci dengan semuanya. Veyara merasa hidup memang tidak adil. Ia berpikir bahwa dirinya dilahirkan hanya untuk disiksa dan dimanfaatkan. Hidupnya sia-sia, jika saja ia tahu sejak awal, mungkin sekarang ia sudah pergi jauh dari dulu. Veyara memilih menjadi orang tak berkeluarga dari pada tinggal dengan manusia bejat seperti mereka berdua. Ralat, mereka bertiga. Arletta adalah dalang dari munculnya ide busuk itu.
Veyara pun bangun dari duduknya lalu masuk ke kamar mandi. Dan beberapa saat kemudian dirinya selesai. Tubuhnya yang remuk kembali merasakan guyuran air dingin yang ia yakin setelah ini keadaannya akan tambah buruk. Terlebih, kamar mandi yang berada di dalam kamarnya tidak terdapat air hangat. Lagi-lagi Arletta yang melakukannya.
Peristiwa kemarin dimana ia dikurung paksa oleh Alder dan berakhir bersama Alvian masih teringat jelas di otaknya. Namun, sekilas kalimat terakhir yang Alvian katakan begitu membekas hingga begitu membuatnya berpikir keras.
"Gue bakal selalu jaga lo, Vey."
Terdengar jelas masuk ke telinganya. Bagaimana Alvian menatapnya dengan kedua matanya begitu membayanginya. Dan pada saat itulah jantungnya berdetak kencang tak tertahan. Ia merasa apa yang Alvian katakan bukanlah sekedar kata-kata biasa atau kiasan.
Veyara tersenyum samar mengingat wajah Alvian saat laki-laki itu mengatakannya. Tepat di hadapannya dengan senyum lebar.
Ia baru pertama kali mendengarnya. Begitu hangat. Ia merasa terjaga, persis seperti satu tahun yang lalu. Dimana ia merasa tubuhnya ditopang lalu dipeluk hangat dengan tubuhnya yang remuk dan basah kuyup. Sosok itu adalah penyelamatnya.
Veyara mengembuskan napasnya panjang. Ia mengedarkan pandangannya hingga menangkap gaun merah tergeletak di atas kasurnya. Siapa yang meletakkan gaun merah ini?
Ia terdiam menatap gaun itu. Lagi dan lagi kenangan satu tahun yang lalu kembali terulang. Gaun merah adalah trauma untuknya. Dan saat itu juga tubuhnya lemas. Tubuhnya bergetar hebat hanya karena gaun merah itu.
"Vey! Cepat!" teriak ayahnya dari lantai bawah.
Tanpa sadar dirinya meneteskan air mata. Ia tahu Tuhan memberi ujian kepada umatnya sesuai dengan kemampuannya. Namun, kali ini dirinha tidak mampu dengan semuanya. Pernah terbesit keinginan untuk bunuh diri. Namun, semuanya gagal terhalang mimpi yang harus ia gapai. Semuanya tidak mudah. Tapi Veyara hanya berharap semuanya berakhir dan dirinya akan hidup dengan tenang. Hanya saja Tuhan terlalu sayang padanya hingga ujian datang bertubi-tubi tanpa henti.
Dengan berat hati ia memakai gaun merah itu dengan tubuh yang bergetar. Bagaimanapun juga, usahanya akan tetap sia-sia untuk lari dari semuanya.
Hingga beberapa menit kemudian Veyara menatap pantulan dirinya dari cermin besar itu. Dipandangnya wajah bengkak penuh lebam dengan hati setegar mungkin. Menahan diri agar air mata brengsek itu tak lagi keluar hingga memperlihatkan betapa miris hidupnya. Bahkan dirinya mencoba tersenyum lalu tertawa sebisa mungkin. Namun, tetap saja. Ia hanya akan merasa bahwa ia adalah makhluk paling sengsara di bumi ini. Walau semua yang ia rasa adalah salah. Veyara hanya tidak tahu seberapa penderitaan dari orang yang tidak ia kenal di luar sana. Hidup kadang tidak adil untuk beberapa waktu. Kalimat roda berputar tidaklah salah.
Veyara pun akhirnya turun dari lantai atas. Ia berjalan dengan pelan sambil menunduk. Ia tahu kedua orang tuanya itu sedang sangat mengamatinya dengan tatapan sinis. Setidaknya jika masih membutuhkan dirinya perlihatkan sedikit senyum, anggap saja seperti berterima kasih untuk uang yang mereka terima karenanya.
Walau dengan tubuh yang tidak bersahabat dengan gaun merah ini. Veyara tetap berdiri dengan wajah datar. Yang ia pikirkan adalah dirinya tidak boleh terlihat lemah di depan dua orang itu. Masa bodoh dengan masa lalu, karena sekarang dirinya harus tetap tegar menghadapi semuanya.
"Veyara gak mau sama Alder!" ujarnya tiba-tiba. Kedua orang tuanya menatap lalu mengalihkan pandangannya. Mereka tidak perduli apapun kecuali menyangkut tentang uang
Hingga beberapa menit kemudia bel rumahnya berbunyi. Saat pintu terbuka lebar Veyara mematung begitu melihat sosok yang berdiri tepat di depan pintu.