Part 10

3 2 0
                                    

Plakk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Plakk

"Pokoknya kamu gak boleh sampai putus sama Alder, ngerti?" bentak seorang pria bertubuh tinggi yang berdiri tepat di depannya.

Veyara tertegun. Dalam hati dirinya bertanya-tanya kenapa harus dengan Alder, sedangkan lelaki yang ia cintai bukanlah Alder.

"Kenapa harus Alder? Veyara gak mau sama Alder!" ujarnya membela diri. Dalam dua minggu ini hubungan yang terjalin karena sebuah paksaan benar-benar tidak sesuai yang ia harapkan. Kisahnya tidak akan seperti novel romantis lainnya.

"Karena jika bukan karena perusahaan ayah akan bangkrut, dan kalau sampai bangkrut itu berarti salah kamu, kamu tahu 'kan berbuat salah itu ga semudah minta maaf?" jawab pria itu sambil menyeringai.

"T-tapi Veyara gak mau sama dia, Veyara gak kenal!" bantahnya. Ia tidak mengerti bagaimana jalan pikir ayahnya ini. Bukankah kebahagiaan seorang anak adalah kebahagiaan orang tua juga? Lalu siapa yang salah? Takdir?

"Gak usah nangis, hari ini Alder dan orang tuanya bakal datang, kamu cepetan siap-siap!" bentak pria itu. Veyara sudah tidak bisa menahan tangisnya lagi. Harapan memiliki seorang ayah yang penyayang memanglah hanya akan menjadi harapan. Tidak ada yang akan menjadi nyata.

"Tapi, ayah! Veyara gak mau!" Ia masih bersikeras untuk menolaknya. Ini bahkan sama saja dengan dia yang di jual agar ayahnya mendapat keuntungan.

Pria iti sudah lebih dulu melangkah. Veyara segera menyusul walau kakinya seperti tidak bisa digerakkan lagi. Namun, begitu dirinya berdiri, dua orang pria tiba-tiba menariknya lalu membawanya pergi. Dua pria itu tak lain adalah bodyguard ayahnya.

"Ayah!" teriaknya. Dirinya dibawa ke kamarnya lalu dua pria itu pergi dan mengunci pintunya dari luar. Veyara menggedor-gedor pintu itu. Namun, semuanya hanya sia-sia. Jika dirinya tahu semua ini sejak awal, ia pasti kini sudah berada di tempat lain. Jauh dari rumah terkutuk ini.

Hari sudah mulai larut. Dan Veyara masih tetap berada di dalam kamarnya. Hingga beberapa saat kemudia dua orang wanita masuk dengan membawa dua buah gaun berwarna merah pekat. Veyara tahu salah satu gaun itu akan di pakainya malam ini.

"Nona, anda harus segera bersiap," ujar sang wanita yang tak lain adalah pelayan di rumah ini.

Pikirannya buntu. Dirinya sudah tidak bisa lagi untuk berpikir kemana-mana.

Veyara pun berjalan mengambil dua gaun itu untuk dipilihnya lalu berjalan masuk ke kamar mandi. Tidak ada pilihan lain selain berjalan sesuai waktu.

Veyara terdiam memandangi gaun merah itu. Hingga tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Warna gaun itu adalah hal menyakitkan baginya. Warna merah pekat adalah terkutuk untuknya.

Namun, tidak berpikir jauh. Jika saja dirinya terlambat bahkan hanya satu detik dirinya akan lebih hancur dibanding melihat merah pekat ini. Bahkan, ia bisa tiba-tiba mati dan mungkin mayatnya hanya akan membusuk di gudang tua.

Tidak ada jalan lain. Ia segera memakai gaun itu. Walau sesak di dada dan pusing di kepalanya belum sama sekali reda. Bahkan, semakin terasa sakit ketika melihat dirinya dari pantulan cermin. Yang ia lihat adalah dirinya yang penuh dengan bercak darah.

Keringat yang bercucuran dan rasa takut yang menggebu-gebu bahkan tidak sama sekali menghalanginya untuk keluar dan mengikuti segala arahan. Dirinya sudah benar-benar menjadi seperti robot.

Dua wanita itu menghampirinya dan menuntunnya ke meja rias. Beberapa kali mengusap keringatnya yang terus mengalir bak air terjun hanya karena gaun merah ini. Mereka tidak tahu apa dampak gaun merah ini jika sampai melekat di tubuhnya atau bahkan hanya dilihat dari matanya.

"Nona, apakah anda sedang tidak sehat?" tanya sang wanita.

Veyara menatap bingung wanita itu. "T-tidak, aku baik-baik saja!" ujarnya berbohong.

Dua wanita itu segera menyelesaikan pekerjaannya lalu meninggalkan Veyara seorang diri di dalam kamar itu.

Sendiri di dalam ruangan putih dan warna merah berada di dekatnya hanya akan memperburuk dirinya.

Beberapa saat kemudia seseorang membuka pintu kamarnya. Veyara tertegun karena bukan seorang pelayan yang masuk, melainkan seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat berwibawa.

Laki-laki itu mendekat dengan senyum yang sulit diartikan.

Kalut. Perasaannya tidak baik begitu laki-laki ini masuk ke kamarnya dengan senyum aneh itu. Veyara mengambil langkah mundur. Namun, sepertinya akan terjadi sesuatu padanya. Dirinya sudah tidak bisa melangkah lagi.

"K-kamu siapa?"

Laki-laki berhenti. Masih tetap dengan senyum aneh menghiasi wajahnya. Tangannya bergerak, laki-laki itu mengambil langkah cepat hingga telapak tangan kekar itu kini berada di atas pundaknya.

"Gue Alder, orang yang ada di chat kemarin, kau belum tahu?"

Alder, laki-laki yang dimaksud oleh ayahnya. Sebelumnya mereka hanya bertukar nomor ponsel dan belum pernah bertemu sama sekali. Tapi kali ini dirinya benar-benar melihat tampang laki-laki itu.

Veyara menelan salivanya susah payah. Tatapan laki-laki itu seakan menghunus matanya. "B-bisa keluar? Keluar!" Veyara berteriak ketika laki-laki itu semakin mendekat.

Alder mengangkat satu alisnya. "Kenapa? Gue kesini karena mau bawa lo ke bawah," jawab Alder. Telapak tangannya menengadah bersiap bertaut erat dengan jari jemari milik Veyara. "Ayo," lanjutnya.

Tidak ada pilihan lain selain menurut. Setidaknya hanya untuk hari ini saja dan selanjutnya ia harus segera kabur, pikirnya.

Veyara menundukkan kepalanya. Perlahan ia menautkan tangannya hingga berada di dalam genggaman tangan Alder dengan erat. Veyara memejamkan matanya begitu embusan napas tiba-tiba terasa di ceruk lehernya. Dan ketika suara berat itu terdengar ia semakin memejamkan matanya. "Gue harap lo bisa jadi gadis manis seperti di dongeng-dongeng, bahagia dengan sang pangeran." Ia tahu ia akan bertemu dengan mata elang tajam milik Alder.

'Bahagia dengan sang pangeran? Bahkan kau adalah seorang monster besar dengan daun telinga berwarna hijau!' batinnya.

Keduanya pun berjalan ke bawah. Mungkin semua mengira apa yang mereka lihat dengan bergandengan tangan dan senyum merekah adalah nyata tanpa setingan. Namun, itu hanya tampang dari luar.

Ketika sampai di pertengahan tangga. Veyara berhenti dengan tiba-tiba. Alder menatap heran Veyara yang kini terlihat bingung. Tangan kiri yang sebelumnya berada di genggamannya kini terlepas begitu saja.

Bugh

"Veyara!"

"Veyara!"

"Vey!"

"Veyara!"

"Ara!"

Matanya terbuka lebar. Napasnya naik turun. Keringatnya bercucuran. Veyara menatap ke depan. Gadis itu tertegun. Ia mengamati detail ruangan itu. Hingga matanya berhenti pada sosok laki-laki yang duduk tenang di sofa dengan wajah datar menatapnya.

"Apa telingamu tidak bekerja dengan benar?" tanya laki-laki itu.

Veyara masih terdiam. Kepalanya mencerna semua yang terjadi. Hingga ia benar-benar tersadar. Perlahan ia turun dari tempatnya berbaring. Walau tubuh mungkin tidak bersahabat untuk berdiri. Ia akan sebisa mungkin untuk pergi dari tempat ini.

Ketika dirinya sampai di depan pintu. "Sial!"

"Kenapa? Lo mau kabur? Lagi?"

Veyara Secret [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang