Part 1

29 6 2
                                    

Seorang gadis berkulit putih itu tengah berlari mengejar bola lawannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang gadis berkulit putih itu tengah berlari mengejar bola lawannya. Veyara Mahera Falexa, bola basket adalah sahabatnya. Keringat bercucuran dari keningnya. Namun hanya itu yang membuatnya bisa lebih menghargai sesuatu.

"Veyara! Ayo dikit lagi!" teriak Safira dari pinggir lapangan basket.

Gadis itu sudah mengambil alih bola basket itu dan...

Veyara mencetak poin. "Yash! Veyara gue emang paling uwu!" Lagi-lagi Safira berteriak kencang, gadis itu tengah berlari ke arahnya.

"Lo jangan lebay," ujarnya membuat Safira memutar bola matanya malas. Meskipun sifat gadis itu begitu dingin. Namun, Safira selalu ada di samping seorang Veyara.

"Lo tahu enggak gimana muka Vanesa?"

"Nggak, mata gue bisa minus liat wajahnya," jawabnya.

"Gue belum selesai!" Safira menyikut lengan Veyara. "Mukanya udah merah siap meledak, gw ngakak banget, Ra!" jawab Safira lalu tertawa kencang tanpa memedulikan suasana sekitar.

"Lo ketawa jangan kenceng-kenceng! Vanesa muncul bisa mampus lo!"

"Biarin, salah sendiri sombong!"

Mereka duduk di meja kantin yang mulai sepi karena jam istirahat sudah berakhir. Namun, bukan Safira jika tidak kukuh untuk tetap mengikuti Veyara ke mana pun gadis itu pergi. Jika ditanya kenapa Veyara santai, jawabnya karena memang tim basket diperbolehkan istirahat hingga pulang sekolah dan hal itu mengundang rasa iri ingin bolos dalam otak Safira.

"Lo tahu enggak, Ra?"

"Enggak tuh," jawab Veyara santai.

"Ih, serius, Ra!" gerutu Safira.

"Iya apaan?"

"Vanesa tadi, aduh mukanya udah kayak tong-" Safira meneguk salivanya ketika melihat segerombolan perempuan berjalan ke mejanya.

"Ra, itu kan Vanesa!" pekik Safira.

"Emang."

"Dia kayaknya mau kesini deh," kata Safira sambil memukul pundaknya.

Kantin yang sepi menjadi mencekam ketika segerombolan perempuan itu berjalan dengan sombong. Raut wajahnya seakan begitu menyombongkan dirinya. Mengangkat dagunya tinggi sambil bersedekap dada. Langkahnya terhenti. Matanya menelusuri seluruh penjuru kantin. Gadis itu menaikkan alisnya sebelah sebelum melangkahkan kembali kaki jenjangnya.

Sementara Veyara, gadis itu malah sibuk dengan benda pipih berwarna hitam yang kini dipegangnya. Sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan Safira yang sedari tadi sibuk memukul-mukul pundaknya sama sekali tidak digubris olehnya.

Bruk

Veyara tersentak. Bahkan es jeruk yang sebelumnya terisi penuh kini berkurang akibat meja yang ditendang secara tiba-tiba. Jarinya bergerak mematikan benda pipih berwarna hitam itu lalu memasukkannya ke dalam tas yang bertengger di sampingnya. Matanya melirik sekilas Safira yang kini gemetar ketakutan lalu berdiri. Menatap datar wajah sombong Vanesa.

"Lo anak baru jangan belagu deh!" ujar Vanesa lantang. Perempuan itu menatap Veyara dengan wajah merah padam.

"Gue yang belagu atau lo sendiri yang iri?" Veyara tersenyum mengejek sambil menaikkan alisnya. Sebenarnya dirinya sangat malas menanggapi hal tidak berguna seperti Vanesa. Juga sangat memuakkan untuknya.

"Oh, jadi lo nantang gue?" Merasa tertantang. Vanesa menatap Veyara dengan tatapan sombong.

"Geer! Lo yang gak terima!" Veyara memutar bola matanya malas. Gadis itu duduk dengan santai lalu meraih es jeruknya yang tidak lagi terasa dingin. Ia membuang waktunya untuk hal yang tidak berguna.

Saat Vanesa hendak kembali berbicara, suara seseorang lebih dulu mengambil atensi Veyara. "Vey, lo di panggil kepala sekolah, langsung ke ruang kepala sekolah aja," ujar seorang siswa laki-laki. Salah satu anggota osis yang bernama Bian.

Bukannya menjawab, Veyara justru langsung pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun.

"Vey! Urusan kita belum selesai!" teriak Vanesa kesal. Gadis itu mengentak-entakkan kakinya ke lantai. Vanesa tersulut emosi akibat perlakuan Veyara kepadanya.

***

"Kamu belum bayar uang eskul, harusnya kamu bayar awal masuk, tapi ini sudah hampir satu minggu." Seorang pria paruh baya tengah duduk di depannya dengan raut wajah tidak bersahabat. Veyara sendiri bingung ia harus melakukan apa.

"Maaf, Pak." Veyara menundukkan kepalanya.

"Maaf terus dari kemarin, sebaiknya kamu segera bilang sama orang tua kamu sendiri atau saya yang akan lapor, kamu mau?"

"J-jangan, Pak! Kasih saya waktu, saya akan segera bayar kok," ujarnya dengan nada memohon. Ia hanya berharap bapak tua ini baik padanya dengan memberinya kesempatan.

Ceklek

Pintu ruangan itu terbuka tiba-tiba. Sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan tas hitam menggantung di pundaknya. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Dan penuh lebam. Laki-laki itu menatapnya sekilas. Bahkan Veyara tersentak dengan penampilan laki-laki itu.

"Kenapa saya dipanggil kesini, Pak?" tanya laki-laki itu.

"Duduk!" ujar sang kepala sekolah dengan tegas. Pria paruh baya itu menatap kedua siswa itu bergantian dengan raut wajah protes.

"Bisa gak, Pak, jangan tatap saya begitu?" ujar Veyara tiba-tiba. Mulut gadis itu benar-benar tidak bisa dikontrol dengan baik di situasi seperti ini.

"Diam!" Pria paruh baya itu menarik napasnya panjang lalu mengembuskannya kembali. "Kamu ini sebenarnya maunya apa?"

"Saya?" Keduanya menatap kepala sekolah dengan wajah kebingungan.

Pria paruh baya itu menggelengkan kepalanya, menyerah dengan kelakuan dua bocah di depannya ini. "Kamu, Zafran! Satu minggu bolos sekolah dan sekarang muka kamu itu kenapa?" Pria paruh baya itu menunjuk Zafran dan menatapnya sengit.

"B-bolos? Saya buat surat ijin kok, Pak!" jawabnya membela diri. Zafran sendiri kaget karena ia merasa sudah membuat surat ijin yang ia titipkan kepada Aji, temannya.

"Gak ada!" bentak bapak kepala sekolah dengan tegas. Jari telunjuk pria itu bergerak mengarah ke Veyara yang duduk mematung entah memikirkan apa. Yang jelas, keringatnya sedang mengalir deras dari pelipisnya.

"Kamu! Siapa nama kamu?"

"Saya? S-saya Veyara, Pak," jawabnya gugup. Karena pasalnya baru kali ini ia masuk ke ruang kepala sekolah dan berakhir seperti ini. Mungkin jika dilihat dari wajahnya, Veyara terlihat seperti tipikal gadis yang tidak begitu memedulikan lingkungan sekitar. Namun, sebenarnya dirinya adalah gadis pemalu jika di hadapan seorang pria. Benar.

"Ini peringatan terakhir dari saya, kamu bisa di keluarkan dari eskul basketmu kapan saja," ujar pria itu memperingati dengan tegas.

"B-baik, Pak." Veyara menundukkan kepalanya dalam. Tidak ingin menatap wajah pria itu untuk kedua kalinya.

"Ya sudah, kalian keluar sana."

Veyara segera berdiri dari tempat duduknya. Gadis itu terlihat sangat terburu-buru ketika keluar dari ruang kepala sekolah. Sementara Zafran, laki-laki itu terlihat kesal karena baru saja mengetahui bahwa Aji, temannya itu tidak memberikan surat ijinnya. Dirinya perlu bicara dengan laki-laki yang semua orang yakini adalah temannya. Apakah Aji bersikap seperti teman?

Di tengah perjalanannya menuju kelas. Laki-laki itu berhenti di depan toilet perempuan begitu melihat sosok gadis yang sama dengan gadis yang duduk di sampingnya tadi. Gadis itu terlihat sedang terburu-buru masuk ke dalam bilik toilet. Namun, karena rasa kesalnya lebih besar kepada Aji, dirinya memilih melanjutkan langkahnya.

"Zafran!"

Veyara Secret [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang