Kiya masih berbaring di pangkuan ibunya. Ia sangat merindukan suasana hangat ini. Andai kedua orangtuanya tak sibuk dengan pekerjaan seperti ini. Ia sangat ingin merasakan, diberi nasehat, diberi solusi ketika ia sedang dalam keadaan seperti ini. Namun ia bisa apa? Tak pernah sedikitpun ia mendapatkan itu dari keduanya.
Selalu Kafka dan selalu hanya Kafka yang bisa membuatnya keluar dari setiap masalah yang ia hadapi.
"Sudah ya sayang, sekarang kamu istirahat dulu. Mama juga mau ke kamar istirahat. Besok kita bicara lagi."
Kiya hanya mengangguk apa yang mamanya itu katakan. Mamanya memang sungguh tak mengerti apa yang ia mau dan apa yang ia pikirkan.
Sepeninggalan mamanya, Kiya lagi-lagi memang masih tak bisa tidur. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk ke balkon kamar, menikmati keindahan kota itu di malam hari. Hawa dingin yang pertama kali menyapanya. Juga pemandangan lampu-lampu yang terlihat indah memanjakan mata. Kiya duduk di salah satu kursi yang di sediakan. Dingin sama sekali tak membuatnya ingin segera masuk.
Pikirannya terus pada seseorang yang sekarang berada di Indonesia. Yang ia tinggalkan tanpa sepatah katapun. Semuanya rumit, bahkan sangat rumit. Ketika sahabatnya sendiri menyukainya, ketika orang yang ia anggap teman juga menyukainya. Apa setelah ini, semuanya akan bisa kembali baik-baik saja?
Karena tanpa harus ditanya beberapa kali lagi, semuanya memang sudah jelas. Ia memang sudah menyukai Zafran. Dosennya itu. Zafran memang sudah berhasil membuatnya percaya. Menghilangkan segala keraguannya selama ini.
...
"Nyonya, nyonya! Teriak salah satu pelayan itu di depan pintu kamar kedua orangtua Kiya.
"Ada apa kamu berteriak seperti itu?" Tanya mamanya Kiya masih dengan mata sedikit terpejam. Ia sungguh kesal karena tidurnya terganggu, padahal ia sungguh sangat lelah sekali saat ini.
"Nona... nona Kiya pingsan di balkon." Ucap pelayan itu masih menggebu, berburu dengan napasnya yang tak menentu.
"Apa? Kenapa bisa?" Namun tak menunggu jawaban, wanita paruh baya itu langsung membangunkan suaminya dan segera menuju kamar sang putri.
Sekarang, Kiya sudah dibawa ke kamar oleh papanya. Badannya sangat dingin. Mungkin, sepanjang malam ia memang berada di luar dengan suasana sedingin ini.
"Segera telepon dokter."
"Sudah tuan." Jawab pelayan itu dengan cepat.
"Sayang kamu kenapa? Kenapa bisa sampai seperti ini? Apa yang terjadi?" Maya, yang tak lain adalah mamanya itu mengelus-elus tangan putrinya. Ia bingung, apa yang sebenarnya terjadi dengan putrinya ini.
Tak lama dokter datang dan memeriksa bagaimana keadaan Kiya. "Suhu badannya sangat rendah. Dia pasti telah menghabiskan malam di luar ruangan yang sangat dingin ini. Yang kita tau, bahkan saat kita tidur bergulung selimut saja masih dingin, apalagi jika seperti itu."
"Lalu bagaimana? Apa yang harus dilakukan untuk putri saya ini?"
"Sejujurnya, dia tidak sakit. Sebenarnya ini hanya demam biasa. namun, saya menghawatirkan sesuatu."
"apa itu?"
"Dia memang hanya demam biasa. Hanya mungkin, bisa saja dia tidak akan bangun sampai suhu tubuhnya benar-benar kembali normal. Saya juga sudah pernah menemui masalah yang serupa, dan orang itu bangun setelah sebulan lamanya dia tertidur."
"Sebulan?" Tanya Gunawan tak percaya. Bagaimana mungkin putrinya akan bangun setelah sebulan tertidur saja seperti ini.
"Iya, itu orang lain. Namun kasus ini, bisa saja lebih cepat atau bahkan lebih lama. Dia hanya tertidur, dan saya rasa dia juga dapat mendengar apa yang kita bicarakan sekarang. Namun Kiya enggan bangun. Mungin, ada sesuatu yang dihindarinya. Cara yang paling baik hanya dengan mengajak dia berbicara. Juga menghadirkan orang-orang yang bisa membuatnya bangun."
Maya dan Gunawan saling pandang. Selama ini, mereka berdua sama sekali tak pernah tau apa yang sedang putrinya ini alami. Karena mereka memang terlalu sibuk dengan apa yang mereka kerjakan.
Kiya benar-benar tertidur, dengan wajah pucat dan tubuhnya yang sangat dingin itu. Entah semua orang di situ juga tidak tau, apakah ini adalah bentuknya menyerah dengan keadaan. Namun begitu, tak ada satupun orang di AS yang mengerti apa masalah yang di hadapinya saat ini.
Gunawan maupun Maya baru teringat, bahwa selama ini Kiya tak pernah mau jika di suruh datang ke sini. Dan sekarang dia dengan mudahnya ingin datang. Dalam segala keanehan itu, mungkin saja jika memang telah terjadi sesuatu di Indonesia.
...
Kafka gelisah, benar-benar gelisah. Sepanjang malam ini ia benar-benar tak bisa memejamkan mata. Ia terus memikirkan bagaimana keadaan Kiya. Bagaimana sekarang Kiya di sana? Setelah perginya kemarin, Kiya sama sekali belum ada mengabarinya.
"Astaga Kiy, dimana sih? Kenapa belum ngabarin juga?" Kafka mendadak frustasi karena belum ada kabar sedikitpun dari adiknya itu.
Tak lama suara panggilan yang dikira adalah Kiya itu langsung saja di angkat. "Astaga Kiy, kenapa baru ngabarin? Udah jam berapa ini? Kamu baik-baik aja kan? Kamu udah sampe rumah kan? Bandel amat sih jadi anak tinggal kirim sms aja apa salahnya coba?" Kafka terus nyerocos tanpa melihat dulu, siapa sebenarnya sang penelfon.
"Kaf, Kiya ada di mana?" Bukannya suara sang adik, namun suara penuh keputus asaan itu yang malah ia dengar.
Namun Kafka menjauhkan handphone itu dari telinganya. Melihat ke layar, betapa bodohnya kini. Karena penelfon itu ternyata adalah Zafran. Bukan Kiya yang selama ini ia cemaskan.
"Zaf? Sorry tapi Kiya lagi pergi. Dia mau nenangin diri dulu, tolong biarin dulu dia sendiri."
Zafran sungguh merasa ada yang aneh. Entah ada yang ditutup-tutupi oleh Kafka, atau memang perasaanya saja yang sedang gelisah. Ia benar-benar kepikiran kiya saat ini, ia hanya berdoa semoga Kiya sekarang dalam keadaan baik-baik saja dimanapun dia berada.
"Dia baik-baik aja kan Kaf?"
Kafka tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Karena ia sendiri pun masih belum tau, bagaimana keadaan adiknya. "Udah ya Zaf, gue tutup dulu. Mau boker ni," Elak Kafka pada pertanyaan itu. Daripada ia harus menjawab berbohong, lebih baik ia sudahi saja pembicaraan itu.
Satu panggilan lagi masuk yang ia Kira adalah panggilan dari Zafran lagi namun ternyata itu adalah panggilan dari papanya. "Iya pa, Kiya udah di sana kan pa? gimana? Apa dia baik-baik aja?" Kafka langsung menanyakan keadaan adiknya, karena ia memang sangat khawatir. Entah kenapa, tapi tentang Kiya sangat mengganggunya.
"Kamu bisa kesini sekarang juga? Kiya sakit. Dia butuh kamu, ada sesuatu juga yang harus papa tanyakan sama kamu setelah kamu sampai di sini."
Kafka masih melongo, Kiya sakit? Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya sudah terjadi di sana? "Gimana bisa dia sakit pa? apa yang sebenarnya terjadi?"
"Kamu kesini sekarang. Pesawat kamu berangkat 2 jam lagi. Lebih cepat kamu sampai ke sini maka akan semakin baik." Panggilan ditutup secara sepihak.
Kafka semakin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Namun ia harus segera sampai di sana agar ia segera tau apa yang sebenarnya terjadi. Masalah pekerjaannya mungkin akan ia pikirkan belakangan saja. Karena untuk saat ini, Kiya yang benar-benar ia khawatirkan. Ia benar-benar ingin tau bagaimana keadaan adiknya itu.
...
3 Januari 2021
Wei udah beda tahun ya
Update lagi nih, gimana?
....
Jangan lupa jejak vote and coment nya ya
KAMU SEDANG MEMBACA
DOSEN IDOLA (END)✅
General Fiction*cerita masih lengkap* Nyatanya yang pergi tak akan kembali dan yang ada tak mesti sama. Ini tentang bertahan, sejauh mana hati dan seisinya bertahan pada situasi yang tak lagi sama. .. Fiy, aku janji tak ada yang lain. (Nalendra Zafran Akhtar) Dia...