Kaget, tentu saja Kiya kaget dengan dosennya itu yang tiba-tiba tak sadarkan diri di hadapannya. Ia bingung harus bagaimana, disisi lain ia sedang kesal sekali dengan dosennya itu, tapi di sisi lain rasa kemanusiaannya juga masih ada. Tak mungkin ia meninggalkan orang yang sedang tak sadarkan diri seperti ini. "Pak, pak bangun dong. Duh, kenapa jadi pingsan gini sih." Kiya melihat sekeliling, tak ada orang yang bisa dimintai tolong. Taman ini tampak sepi, kini ia juga baru sadar, jika ini hari sabtu. Mana ada orang ke kantor di hari libur seperti ini.
Kiya terus berpikir, bagaimana kiranya ia menolong dosennya ini. Mana mungkin ia membawa sendiri dosennya ini ke mobil, tubuh mungilnya ini tentu tak akan mampu, dosen yang ada di depannya ini tidaklah memiliki tubuh yang kecil. Bahkan sudah pasti badannya itu berkali-kali lipat lebih besar dari badan Kiya. "Duh pak, saya harus gimana dong ini? Bapak bikin repot aja sih. Kalo mau pingsan kenapa juga di depan saya. Udah tau saya ini orangnya gak tega'an."
Akhirnya, dengan tenaga extra yang berhasil dikumpulkannya, ia membawa dosennya itu ke mobil. Niatnya kali ini hannya satu, membawa sang dosen ke rumah sakit, lalu ia akan segera pergi meninggalkan dosennya itu. Tapi baru saja membuka pintu mobil, sang dosen ternyata sudah membuka matanya. "Kamu mau bawa saya kemana?"
"Lah, bapak udah sadar? Bagus deh kalo gitu. Jadi Kiya gak susah-susah bawa bapak ke rumah sakit." Kiya spontan melepas tangannya dari bahu sang dosen. Ingin berlalu pergi sebelum sebuah suara mengintruksinnya untuk kembali berhenti.
"kalo kamu gak mau dapat nilai yang jelek, jangan pergi."
"Apa? Maksud bapak apaan sih. Jujur ya pak, sikap bapak dari tadi itu udah buat saya gak nyaman. Bapak boleh punya masalah, saya bisa ngerti itu. Tapi tolong pak, jangan bawa masalah pribadi ke pekerjaan bapak." Entah mendapat energi dari mana, tapi Kiya berhasil mengeluarkan unek-uneknnya itu. Karena menurutnnya, dosennya ini sudah kelewatan dan tentu saja ia tak bisa tinggal diam dengan semua itu.
"Bawa saya ke rumah, dan setelah itu kamu boleh pergi."
Kiya kembali berdalih kesal, namun ia juga tak bisa menolak permintaan dosennya ini. Melihat kondisinnya sekarang pun sedang tidak baik-baik saja.
...
"Sudah ya pak, saya sudah antar sampai di rumah bapak. Sekarang lebih baik bapak turun, saya harus pulang. Ini sudah hampir malam, abang saya pasti mencari kalo saya belum juga pulang."
Setelah berkata seperti itu, tak kunjung ada pergerakan dari orang di sebelahnnya. Kiya baru menyadari jika orang di sebelahnnya itu tenyata tidur, dan baru saja ia ingin membangunkan namun munculnnya seorang perempuan dari dalam rumah membuat pergerakannya terhenti. Terlihat sekali orang itu melihat-lihat, siapakah yang baru saja tiba. Kiya pun turun untuk menyapa orang itu, "Maaf bu, ini benar kan rumahnnya pak Zafran?"
"Iya benar, kamu siapa?"
"Saya Kiya bu, salah satu mahasiswinya pak Zafran. Oh iya, pak Zafran ada di mobil saya, tadi dia pingsan dan setelah sadar beliau minta di antar pulang. Sepertinnya dia kelelahan, sekarang dia masih tidur di dalam mobil."
Terlihat sekali ibu itu sedikit bingung mendengar penjelasan dari Kiya. Tak lekat pandangannya dari Kiya, namun ia segera tersadar. "Panggil saja bi Inah, saya pembantu di rumah ini. Sebentar." Bibi itu memastikan apakah yang ada di dalam mobil itu benar-benar majikannya.
"Astaga, mas Zafran? Neng gimana bisa kaya gini? Apa yang terjadi?" Bibi itu baru benar-benar tersadar melihat siapa yang ada di dalam mobil.
"Ceritannya panjang bi, apa gak sebaiknnya kita bawa dulu pak Zafran ke rumah?" Mendengar apa yang dikatakan Kiya, bibi itu hanya mengangguk saja.
Seelah mengeluarkan tenaga yang extra, sampailah juga pak Zafran di kamarnnya. Kini Kiya pikir tugasnnya selesai sudah dan ia bisa segera pergi. Namun tampaknya, hari ini memang bukan hari keberuntungannya. "Neng, badan mas Zafran panas sekali. Bibi akan turun membuatkan bubur, eneng bisa bantu bibi untuk jaga mas Zafran? Tolong bibi yang neng, mas Zafran belum pernah sepeerti ini sebelumnya. Bibi sangat khawatir."
Tak ada penolakan, tapi Kiya tak juga mengiyakan perkataan bibi itu. Sejujurnya, saat itu Kiya bingung harus bagaimana. Apa yang harus ia lakukan. Kiya meperhatikan lekat-lekat muka orang yang berbaring tak berdaya di hadapanku itu, yah siapa lagi jika bukan pak Zafran dosennya sendiri. Alam telah membawa Kiya kesini, entah dorongan darimana pula, hingga akhirnnya Kiya duduk disana, di ujung kasurnnya. Tak lekat pandangannya dari wajah dosennya itu, dosennya ini memang tampan, wajar memang jika ia menjadi salah satu dosen idola di kampus. Sikapnnya yang ramah, humble, tapi entah bagaimana sekarang. Setelah semua kejadian ini, apa ia masih bisa jadi dosen idola? Karena perubahan sikapnnya memang nyata.
Jika begini, melihat sang dosen terlelap dalam tidurnnya. Mungkin lebih baik ia seperti ini saja, lebih terlihat meneduhkan. Seperti ada magnet yang menarik tangannya kini, Kiya mengelus lembut rambut sang dosen. Duh, ternyata badan pak Zafran panas banget. Kiya tersadar, ia harus mencari sesuatu untuk mengompres dosennya itu. Jiwa manusiawinya masih bekerja saat ini, ia terlalu baik hati jika disuruh meninggalkan dosennya begitu saja.
Entah darimana ia mendapatkan semua peralatan itu, tapi ia telah kembali dengan segala peralatan untuk mengompres Zafran. "Cepet sembuh pak, maaf tadi Kiya kasar sama bapak. Sikap bapak aneh, gak kaya biasannya. Kiya ngerti gimana perasaan bapak, tapi bapak gak bisa begini terus." Kiya berkata sangat pelan, entah itu dapat didengar atau tidak oleh orang di hadapannya itu.
Tak lama, datang Bi Inah dari luar sana. "Gimana neng, ini bibi sudah bawakan bubur untuk mas Zafran. Masih hangat, bisa langsung dimakan biar agak enakan."
"pak Zafran belum sadar bi. Tadi udah Kiya kopres sih soalnnya badannya panas banget."
Bi Inah menghela nafas panjang. "Maaf ya neng kalo bibi ngerepotin eneng. Mas Zafran memang berubah semenjak meninggalnya neng Fiya. Kadang bibi suka gak tega ngeliatnnya. Mas Zafran ini orangnnya baik, dia sayang sekali sama neng Kiya, makannya dia merasa terpukul sekali dengan ini semua."
Kiya hannya mendengarkan dengan seksama penjelasan dari bi Inah itu. Ia memang belum lama mengenal dosennya, karena iapun baru kembali dari pertukaran pelajar itu. Tapi ia cukup tau dari setiap cerita Santi, juga penjelasan abangnnya beberapa waktu lalu.
"Emh, yaudah neng, apa dibangunin aja ini mas Zafran nya? Disuruh makan buburnnya setelah itu minum obat. Biar badannya juga lebih enakan."
Melihat Kiya tetap pada posisinya, bi Inah akhirnnya mengambi alih dan segera membangunkan pak Zafran. "Mas, bangun dulu mas. Bibi udah buatkan bubur untuk mas Zafran, dimakan dulu keburu buburnnya dingin."
Perlahan tapi pasti, karena tidurnnya terusik pak Zafran lalu membuka matannya. Pandangan pertamannya jatuh pada Kiya, lama ia memandang sebelum sebuah intruksi menyadarkan Pak Zafran dari lamunannya itu.
"Mas Zafran, ini buburnya bisa dimakan dulu. Biar badannya agak enakan." Bibi itu mengintruksi lagi.
"Bi, bisa tinggalkan kami berdua disini?"
"Gimana mas?" Bi inah melihat kea rah Kiya sesaat yang tatapannya itu seperti memohon untuk jangan tinggalkan mereka berdua di kamar ini. "baik mas, bibi akan keluar." Setelahnnya bi Inah benar-benar keluar dari kamar itu. Meninggalkan Zafran dan Kiya di sana.
Kiya semakin gelisah di sana, apa yang harus ia lakukan sekarang. Lagian ada apa dengan dosennya ini? Lalu ingatannya kembali pada perkataan Azam tadi sore Makasih, kamu sangat mirip Fiya, mungkin cepat atau lambat Zafran akan menyadari semuannya.
"Kamu takut sama saya?" Satu kalimat itu mampu membuat Kiya mengangkat kepalannya.
"Gimana saya gak takut dengan sikap bapak seperti ini. Bapak mau ngapain? Tadi kan saya bilang cuman anterin bapak pulang aja gak lebih."
"kalo memang benar begitu, kenapa kamu masih ada disini?" lagi, satu kalimat itu mampu membuat Kiya diam seribu bahasa.
"yah.. itu.." Kini Kiya tak tau harus menjawab bagaimana. Ia sudah seperti pencuri yang tertangkap basah sekarang.
"Lagian kamu jangan mikir yang aneh-aneh. Kamu gak lupa kan sama tugas kamu? Mana laporannya? Ini hari terakhir dan saya tidak pernah memberi toleransi, atau nilai teman-teman kamu jadi korbannya." Zafran berkata seperti itu dengan tatapan yang sungguh tak bisa diartikan.
...
@ Nurhidayah202
Follow Ig author.👆
KAMU SEDANG MEMBACA
DOSEN IDOLA (END)✅
General Fiction*cerita masih lengkap* Nyatanya yang pergi tak akan kembali dan yang ada tak mesti sama. Ini tentang bertahan, sejauh mana hati dan seisinya bertahan pada situasi yang tak lagi sama. .. Fiy, aku janji tak ada yang lain. (Nalendra Zafran Akhtar) Dia...