"Dek, kenapa sih ngelamun aja dari tadi?" Kafka heran dengan adiknya yang tengah menonton, tapi seperti pikirannya itu tak berada di sini sekarang. Matanya menatap kosong ke layar televisi.
"Eh bang, enggak kok. Ini__ apa tu, cuman kepikiran aja sama tugas. Soalnya banyak banget, sampe bingung sendiri gimana mau nyelesain itu semua." Bohong. Tentu saja Kiya bohong, bukan itu yang tengah ia pikirkan sekarang. Hanya saja ia enggan untuk menceritakan pada abangnya itu.
Kafka menatap curiga pada sang adik, namun ia tak ingin memperpanjang tentang itu. Rasanya, mulai sekarang ia harus lebih bisa menahan, biar bagaimanapun Kiya berhak punya privasi yang gak semuanya juga harus ia tau.
"Kamu dengan Zafran gimana sekarang?" Ajaib memang. Kafka benar-benar belum tau masalah komitmen antara Kiya dan Zafran, tapi dari pertanyaannya seolah ia memang sudah tau bagaimana kondisinya.
Kiya tak menyangka pertanyaan itu akan ditanyakan abangnya malam ini juga. Ia bingung juga bagaimana harus menjawab itu semua. "Itu__, Kiya sama__"
"Kenapa?" Potong Kafka yang tak sabaran dengan jawaban Kiya. Dengan tingkah Kiya yang seperti itu, tentu saja Kafka jadi semakin Khawatir.
"Kiya udah ngebolehin pak Zafran untuk deket sama Kiya. Maksudnya tu ya lebih dari biasanya gitu. Kiya udah mulai gak jaga jarak lagi." Setelah mengatakan itu, Kiya menggigit bibir bawahnya, tanda bahwa sekarang ia sangat takut dengan bagaimana respon Kafka dengan apa yang baru saja ia katakan. Karena ini juga pertama kalinya ia melanggar larangan Kafka, sebelum ia bicarakan pada orangnya langsung.
Kafka terdiam, ia sudah menyangka jika cepat atau lambat, Kiya pasti akan seperti ini. Lelah dengan segala aturannya, dan memilih untuk melakukan sesuai hatinya saja.
"Kamu yakin jika Zafran tak akan menyakiti kamu seperti Adit dulu yang akhirnya membuat kamu kecewa?"
"Terkadang tuhan mendatangkan seseorang dalam hidup ini, hanya sebagai pengalaman hidup, bukan teman hidup. Mungkin dulu Kiya pernah punya pengalaman buruk sama Adit, tapi itu dulu. Sekarang Kiya udah bisa terima semuanya, dan gak selamanya juga kan Kiya harus menutup diri seperti ini?"
Kafka bangga pada adiknya. Bahkan sangat bangga. Adiknya ini sekarang memang sudah lebih dewasa. Seharusnya ia juga tak harus se-khawatir ini. Mungkin sudah waktunya, ia melihat ada laki-laki lain yang turut membahagiakan adik semata wayangnya ini.
"Bang, abang gak marah kan?" Kiya menggeser duduknya lalu memegang tangan Kafka, seolah ia berkata percaya bang, kali ini Kiya akan lebih berhati-hati.
Kafka tersenyum lantas memeluk adiknya erat. Entah kenapa, suasana ini rasanya sangat haru saja. Seperti setelah ini ia dan Kiya memang akan benar-benar jarang menghabiskan waktu bersama lagi. "Abang gak marah, abang cuman bangga aja sama kamu. Abang akan selalu dukung apapun yang kamu pilih."
Kiya menangis dalam pelukan Kafka. Ia sungguh beruntung memiliki Kafka. Disaat tak ada kasih sayang orangtua yang ia dapatkan, tapi Kafka bisa membuatnya seolah tak pernah kekurangan kasih sayang itu.
...
Kelas berjalan seperti biasanya. Diskusi di kelas juga berbagai aktifitas lainnya. Akhirnya waktu istirahat yang ditunggu-tunggu hadir juga. Kiya tengah fokus memasukkan barang-barangnya ke dalam tas disaat Santi dan Evan tak berhenti memperhatikan segala pergerakannya itu. Tentu saja Kiya kaget ketika menyadari itu semua.
"Eh astaghfirullah, kalian kenapa sih? Ngagetin aja tau, laper ini gak mau cepet ke kantin apa?" Kiya tak mengerti bahkan tak menyadari jika kedua sahabatnya ini tengah memasang ekspresi yang berbeda saat ini.
"Kemarin seharian kemana? Kenapa sama sekali gak datang ke kampus? Kenapa kamu tau kalo kita gak ada kelas?" Santi memberondongi Kiya dengan semua pertanyaan itu.
"Iya, kenapa kamu udah tau kalo bu Jeni itu gak masuk?" Evan juga ikut bertanya. Namun sikapnya lebih ke curiga dengan Kiya saat ini.
"Kemarin aku emang datang telat, terus waktu di jalan aku ketemu sama pak Zafran, dia yang bilang kalo bu Jeni gak masuk. Terus dia ngajak aku pergi karena dia bilang deadline tugasnya itu lama." Kiya memang tak berusaha menutup-nutupi apa yang terjadi. Namun sikap terlalu jujur dan polosnya inilah yang terkadang dapat membuat salah satu hati merasakan sakit.
Santi dan Evan saling pandang mendengar penuturan Kiya. Mereka berdua tentu saja heran, sedangkan Kiya masih tetap memasang wajah polosnya itu.
"Ada yang aneh deh Kiy, kamu kenapa sekarang makin dekat dengan pak Zafran gitu sih? Kamu suka sama dia? Atau gimana?" Santi berusaha menelisik lebih dalam dengan sahabatnya ini. Karena jujur ia memang sangat penasaran dibuatnya. Perubahan itu terlalu cepat menurutnya.
Kiya bingung menjawab pertanyaan yang terlalu to the point itu. Ia memang tak berusaha menutup-nutupi dari sahabatnya atau temannya yang lain sekalipun. Hanya saja ia juga bingung sebenarnya harus bagaimana mendeskripsikan bagaimana hubunganya dengan pak Zafran sekarang.
"Kiy, aku nanya loh ini, bukan malah nyuruh kamu ngelamun kaya gitu." Santi kesal, disaat ia sedang sangat penasaran, Kiya malah bertingkah seperti itu padanya.
"Kamu pacaran sama pak Zafran?" Sekali lagi pertanyaan yang terlalu frontal ditanyakan oleh Evan.
"What, pacaran?" Teriak Santi tak kira-kira dengan bagaimana posisi mereka sekarang. Lantas semua orang yang masih tersisa di kelas langsung menghadap ke arah mereka, dan beberapa juga ada yang memilih acuh.
"Enggak, bukan pacaran. Duh, sebenarnya aku juga bingung sih gimana cara ngejelasinnya. Kita berteman, iya itu, kita berteman. Kita berusaha saling mengenal aja sih."
"Berusaha saling mengenal__ pdkt maksud kamu?" Santi tentu saja masih tak puas dengan jawaban itu.
Semakin jauh sudah pertanyaan-pertanyaan Santi untuknya. Sedangkan Evan juga sudah memasang ekspresi yang lebih tak wajar lagi. Namun Kiya tak menyadari itu. Mungkin Santi yang justru lebih peka dengan keadaan ini.
Daripada membuat semuanya lebih ambigu, Kiya memutuskan untuk menceritakan semua yang terjadi. "Jadi gini__
"Kiy, ada satu hal yang mau saya sampaikan sama kamu."
Kiya menautkan alisnya, bahasanya mulai berbeda. Seperti ada yang lebih penting setelah ini yang ingin di sampaikan dosennya itu.
"kamu mau berkomitmen dengan saya? Berbicara seperti sahabat, berdebat seperti suami dan istri, peduli seperti orangtua, dan saling melindungi seperti sodara. Saya serius sama kamu, karena saya sudah bilang, kamu hadir bukan sebagai bayang-bayang masalalu saya."
"Komitmen? Gimana bisa tiba-tiba aja ngajak komitmen? Komitmen itu untuk orang yang mau ke jenjang yang lebih serius Kiy, aku gak bodoh tentang hal itu." Evan masih saja tak mengerti apa yang berusaha Kiya sampaikan. Kiya juga bingung dengan kondisi ini sekarang.
"Gak tiba-tiba juga, karena setelah pak Zafran balik dari tugas luarnya itu, dia sempat ngajak aku ketemu. Disitu dia ngajak baikan, karena aku sadar, hubungan kita emang gak baik-baik aja walaupun sebatas dosen dan mahasiswi. Aku juga gak nyanga pak Zafran bakalan ngajak berkomitmen kaya gitu, bahkan secepat ini."
Kali ini Evan langsung pergi tanpa pamit. Ia sudah tak sanggup mendengarkan cerita lebih lanjut yang akan Kiya sampaikan. Karena ia tau, cerita selanjutnya pasti tentang Kiya yang menerima komitmen ini.
Evan sadar akan siapa dirinya, ia juga sadar hanya di anggap sebagai sahabat oleh Kiya. Namun ternyata rasanya lebih sakit dari yang ia bayangkan. Padahal, ia masih berharap bisa masuk ke hati Kiya selama ini, namun sekarang mungkin tidak lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOSEN IDOLA (END)✅
General Fiction*cerita masih lengkap* Nyatanya yang pergi tak akan kembali dan yang ada tak mesti sama. Ini tentang bertahan, sejauh mana hati dan seisinya bertahan pada situasi yang tak lagi sama. .. Fiy, aku janji tak ada yang lain. (Nalendra Zafran Akhtar) Dia...