Setelah cukup lama waktu yang di lewati Kiya hari ini, waktu yang menurutnya sangat berharga. Ia banyak bertemu orang-orang hebat, yang membuatnya bisa berfikir, bahwa bukan cuman dia yang di uji dengan berbagai masalah yang selalu datang.
Setelah membersihkan dirinya, maka sudah waktunya ia menghabiskan malam minggu dengan maraton drama korea seperti malam minggu sebelumnya. Ia memang tak pernah melewatkan malam minggu dengan hal lain selain malam minggunya yang ditemani drama korea.
"Dek, drakor lagi?" Tanya Kafka yang entah sejak kapan sudah muncul dari balik pintu kamar Kiya.
"Eh bang, mau join? Sini kalo mau. Ya emang mau ngapain lagi kalo gak nonton drama korea? Lagian aku udah gak sabar lanjutin drama yang aku tonton waktu itu." Kiya menjawab sambil aktifitasnya itu tak berhenti untuk mempersiapkan tontonanya.
Kafka berjalan mendekati adiknya, "Maaf ya kalo abang terlalu protektif sama kamu, abang cuman mau mastiin kamu itu bersama orang yang tepat nantinya. Di umur kamu yang udah segini, masa malam minggu masih aja di temani drama korea." Kafka berkata begitu namun tak menghadap adiknya, ia duduk dengan membelakangi Kiya.
"Yaelah bang, gak masalah kali. Nonton drama korea di malam minggu itu gak buruk-buruk amat. Aku cuman gak mau menambah kemacetan di luar sana, gak terlalu suka juga sih dengan sesuatu hal yang gak ada gunanya." Kiya berucap sambil menyelempitkan rambutnya ke belakang daun telinga lalu menepuk-nepuk pundak Abangnya singkat.
Terjadi keheningan sesaat. Kiya yang masih asik dengan persiapan dramanya itu, juga Kafka yang lebih memilih berkutat pada pikiranya.
Kafka sedikit merasa bersalah pada Kiya, karena semenjak kejadiannya dengan Adit beberapa waktu lalu, Kafka sedikit trauma. Adiknya ini memanglah pintar, tapi tidak kalau untuk masalah percintaan. Dia bisa dengan mudah di bohongi. Efek terlalu menjiwai setiap menonton film, dianggap Dilan itu bisa ada di dunia nyata. Padahal karakter seperti Dilan itu hanya fiksi belaka, tak ada orang yang seperti itu.
"Bang," Panggil Kiya karena dari tadi abangnya itu masih diam dan tetap pada posisinya. "Kenapa sih? abang kali yang punya masalah. Kaku amat, diem aja dari tadi." Kiya turun dari kasurnya lalu berjalan dan meraih kursi belajarnya untuk bisa duduk di hadapan abangnya.
"Masalah abang itu kamu."
"Bang stop." Sebelum Kafka melanjutkan ucapanya, Kiya sudah lebih dulu memotong. "Jangan terlalu pikirin aku, aku itu bukan Kiya yang dulu. Abang sekarang bisa fokus sama hidup abang sendiri, maksudnya ya, masalah cinta, pacar, atau apapun itu lah. Jangan hanya gara-gara aku, semua tentang abang itu jadi terhambat."
"Kamu bukan penghambat abang Kiy, abang sendiri yang memilih untuk memperhatikan kamu. Kita jauh dari papa sama mama. Jadi sudah seharusnya kita seperti ini."
Mendengar kata papa dan mama membuat Kiya teringat dengan dua sosok itu. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak bertemu. Ada rasa rindu di hatinya, ia meridukan keberadaan dua sosok itu bersamanya. Entah harus sampai kapan mereka hidup seperti tak memiliki keluarga seperti ini. Materi memanglah selalu tercukupi, tapi untuk kasing sayang, mereka berdua sungguh kekurangan itu.
"Kamu kangen sama mama sama papa?" Kafka yang menyadari mimik wajah Kiya berubah itu lantas berdiri dan memeluk adiknya. Ia tau betul bagaimana perasaan Kiya, sejak kecil rasanya mereka memang sudah berpisah dengan kedua orangtua karena Kafka dan Kiya yang tetap ingin bersekolah di Indonesia, sedangan kedua orangtua mereka yang mengurus bisnis di luar negeri.
"Banget lah bang, kangen banget. Cuman mau gimana lagi lah, papa sama mama kalo mau di suruh pulang itu susah banget rasanya. Katanya kerja buat kita, padahal kita gak butuh semua harta itu. Kita cuman butuh kasih sayang yang cukup dari mereka."
Sakit mendengar kata-kata itu dari adiknya. Ia juga rindu tentunya dengan kedua orangtuanya, hanya saja ia lebih bisa menerima. Kiya memang yang dari dulu selalu menunggu-nunggu waktu untuk bertemu. Terakhir mereka bertemu itu lebaran 2 tahun lalu, itupun tidak untuk waktu yang lama.
Kafka berjanji pada dirinya sendiri akan selalu menjaga adiknya, dan memastikan setiap air mata yang dikeluarkanya itu hanyalah airmata bahagia. Tak sedikitpun Kafka membiarkan orang lain menyakiti adiknya. Walaupun orang itu temannya sendiri.
...
Waktu berlalu begitu saja. Setiap hari, Zafran selalu medapat wejangan dari Igram. Karena selama bertemu ini, Iqram mendadak menjadi sosok yang lebih dewasa. Iqram banyak menasehati Zafran, membuat pikiran Zafran setidaknya lebih positif.
Iqram tau Zafran sedang berada pada masa butuh support yang lebih. Karena ini kedua kalinya ia merasakan kehilangan yang teramat dalam setelah segala kesusahanya untuk bangkit. Iqram berjanji akan membantu sahabat rasa sodaranya itu.
"Zaf kita misah disini ya, karena abis ini gue masih ada laporan lagi. Pokoknya selalu ingat apa aja yang udah gue omongin kemarin-kemarin itu, gue yakin lo bisa." Iqram menepuk-nepuk pundak Zafran sebelum berlalu meninggalkan Zafran, bahkan Iqram tak menunggu dulu apa jawaban yang akan Zafran berikan.
Gue akan selalu ingat pesan lo Am. Makasih selama ini cuman lo yang masih percaya sama gue, cuman lo yang gak ninggalin gue. Disaat semua orang berpikir negatif tentang gue, lo tetap ada disini, buat nagsih gue support. Gue janji, setelah ini gue akan bangit. Gue gak mau kalah sama keadaan. Karena gue yakin, gue bisa lebih kuat dari itu.
...
"Bapak baru sampai? Apa gak sebaiknya bapak pulang dan istirahat dulu. Kan saya bisa presentasikan laporan itu besok pak." Kiya kaget saat menemui dosennya, ia masih melihat koper besar di sebelah kursi sang dosen.
"Saya gak perlu presentasi kamu, saya perlunya kamu. Apa gak ada sedikit saja kesempatan buat saya untuk membuktikan? bahwa saya tulus sama kamu. Kiya, saya gak tau perasaan ini muncul sejak kapan, tapi sejak kesedihan itu muncul untuk yang kesekian kalinya, cuman kamu yang pada ahirnya bisa membuat saya tenang." Zafran menjeda kalimatnya, menatap dalam mata Kiya, menunggu reaksi wanita itu setelah ia mengatakan yang sejujurnya.
Tak mendapat yang di carinya, ia melanjutkan kembali ucapanya. "Saya tau ini aneh. Semua pasti berfikiran bahwa saya ini aneh. Saya hanya menjadikan kamu pelampiasan atas rasa sakit karena kehilangan itu muncul lagi. Semuanya Kiy, semuanya tidak percaya saya. Saya hanya berfikir, tuhan mengirimkan kamu sebagai penyembuh luka saya."
Kiya masih terdiam, bingung bagaimana harus menanggapi ini semua. Jujur, ia melihat ada kejujuran di mata dosennya itu yang menatapnya lekat. Ia bukan tak percaya, hanya ini terlalu cepat baginya. Terlebih jika di putar kembali dimasa-masa mereka bersama, hubungan mereka berdua tak pernah terjalin baik-baik saja.
...
Jum'at, 4 Desember 2020
Hola, update lagi kan....
Jangan lupa jejak vote and coment nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOSEN IDOLA (END)✅
Ficção Geral*cerita masih lengkap* Nyatanya yang pergi tak akan kembali dan yang ada tak mesti sama. Ini tentang bertahan, sejauh mana hati dan seisinya bertahan pada situasi yang tak lagi sama. .. Fiy, aku janji tak ada yang lain. (Nalendra Zafran Akhtar) Dia...