Hari ini entah kenapa Zafran sangat gelisah. Hatinya sungguh tak tenang. Kiya selalu memenuhi pikiranya, seperti ada sesuatu yang terjadi dengannya. Beberapa kali ia menelfon tapi masih juga tidak bisa. Sekarang pun, Kafka juga ikut-ikutan tidak bisa di hubungi. Sebenarnya, kemana mereka pergi? Kenapa tak bisa di hubungi seperti ini?
Hari libur yang di impikan akan menghabiskan waktu bersama Kiya nyatanya tidak bisa. Yang terjadi justru sebaliknya. Zafran justru masih seorang diri seperti ini, dengan Kiya yang pergi entah kemana. Tanpa memberikan kabar apapun sebelumnya
''Mas, ayo sarapan dulu. Sudah dua hari ini mas gak makan masakan bibi. Nanti mas bisa sakit kalau terus seperti ini." Bi Inah khawatir karena majikanya itu tak nafsu makan dari kemarin. Ia hanya takut jika majikanya ini sakit. Karena tak ada sesuap nasipun yang di makannya.
"Saya tidak nafsu makan bi." Jawab Zafran jujur. Ia benar-benar belum bisa nafsu makan sampai ia dapat kabar jika Kiya baik-baik saja. Entah, hatinya merasa tak tenang saja. Ini pernah ia rasakan dulu, saat akan terjadi sesuatu dengan Fiya. Hal yang sangat tak ingin ia dengar atau lihat, sesuatu yang paling ia benci. Sesuatu yang kini memisahkannya dengan Fiya. Namun kini, ia benar-benar tak mau itu terjadi.
...
Lama Kafa berfikir, untuk mmeberitau Zafran atau tidak. Namun akhirnya ia putuskan untuk memberitau sahabatnya itu. Daripada ia harus mengulang sejarah Fiya, karena Azam menutupi kenyataan itu. Mungkin jika Zafran tau, ia bisa membantu, dan Kiya akan benar-benar bisa bangun karena ada Zafran bersamanya.
"Kaf, gimana? Adek kamu belum bangun sampai sekarang? Apa yang harus kita lakukan sekarang kalau dokter pun bilang tak bisa melakukan apa-apa?" bu Maya sangat khawatir. Kini ia sadar, jika sikapnya saat ini salah. Seharusnya ia lebih memiliki banyak waktu bersama anak-anaknya, agar setidaknya ia tau apa masalah yang sedang mereka hadapi.
"Kafka juga gak tau ma. Setau Kafka, selama ini Kiya baik-baik aja. Malah akhir-akhir ini Kiya lagi bahagia. Kiya punya pacar, dan pacarnya itu teman Kafka. Kafka kenal baik sama dia, dia itu orang baik. Sebelum Kiya berangkat ke sini juga, Kiya bilang kalau jangan pernah salahkan Zafran dalam hal apapun, karena Zafran tidak salah."
"Zafran?" Tanya bu Maya sambil mengernyitkan dahinya.
"Iya, Zafran. Sahabat Kafka. Dia dosen Kiya, mereka dekat dan mungkin sekarang udah pacaran. Cuman kalau Kiya udah bilang begitu, Kafka tau sekali berarti bukan dia. Bukan dia alasan Kiya pergi ke sini. Mungkin ada masalah lain, yang membuat Kiya sekaget ini."
Bu Maya berpikir sejenak. "Salah atau tidaknya Zafran dalam masalah ini, ada baiknya suruh dia datang ke sini sekarang juga. Setidaknya, kalau bukan karena dia, mungkin dia bisa bantu berbicara dengan Kiya. Dia juga mungkin bisa aja tau, apa yang terjadi sama adik kamu."
"Iya ma, Kafka sudah kirim email ke dia. Mungkin dia akan langsung terbang ke sini siang ini juga." Bukan tak mau Kafka menelfon Zafran, namun ia tau jika Zafran pasti akan terus bertanya dengan hal-hal yang tak bisa ia jawab. Maka ia memilih jalan yang paling sederhana yaitu dengan email. Ia yakin, jika Zafran akan segera datang setelah membaca email itu.
Pembicaraan berakhir dengan saling diamnya ibu dan anak itu. Pak Gunawan tidak terlihat karena memang ada pekerjaan yang tak bisa di tinggalkan. Sedangkan Kafka disini sudah tak menghiraukan pekerjaanya lagi. Bahkan jika nanti ia akan di pecat pun ia pasrah, karena tak ada yang lebih penting menurutnya selain kembalinya Kiya.
Rumah mewah bak istana itu hanya di isi dengan kesunyian. Orang-orang beraktifitas dalam diamnya. Kejadian yang menimpa Kiya benar-benar membuat segalanya berubah.
"Kiy, kamu dengar kan? Zafran mungkin sebentar lagi akan datang setelah membaca email dari abang. Semoga, dengan datangnya Zafran kamu mau bangun ya. Karena dengan kamu begini, kamu udah bikin semuanya khawatir sama kamu." Kafka menyeka air matanya. Lagi-lagi ia menangis ketika mengajak adiknya itu berbicara.
"Please jangan gini terus. Apapun masalah yang kamu hadapi sekarang, abang akan selalu siap bantuin kamu." Kafka benar-benar menyayangi Kiya. Terbukti dengan sikapnya sekarang. Ia tak memperdulikan pekerjanya. Bahkan pacarnya sekalipun, tak sama sekali ia perdulikan. Meski mungkin sudah ada banyak sekali panggilan atau pesan yang masuk dari pacarnya itu. Namun ia memilih untuk mematikan handphone nya. Itu juga yang menjadi alasanya kenapa mengabari Zafran dengan email.
...
Rasanya Evan merasa bersalah setelah mengatakan itu dengan Kiya. Bukan kejujuran itu yang di sesalinya, lebih tepatnya, bagaimana cara ia menyampaikan lah yang ia sesali. Sebenarnya ia bisa menyampaikan dengan cara yang lebih dapat diterima. Agar tak menyakiti Kiya juga. Mereka sudah bersahabat lama, Kiya pasti sedih dengan apa yang telah ia dan Santi ucapkan kemarin. Selain tidak pekaan orangnya, Kiya juga tak bisa berhenti memikirkan sesuatu yang mengganggu otaknya.
"Van lo sebenarnya kenapa sih? Dari tadi kaya ada yang lo pikirin gitu deh? Lo aneh banget tau. Lo sendiri yang ngajak liburan tapi lo sendiri juga yang gak happy kaya gini. Kenapa sih?" Santi menghentikan aktifitas makannya karena melihat makanan di piring Evan masih sama sekali belum tersentuh.
"Gue kepikiran Kiya. Gimana ya dia sekarang? Pasti dia sakit hati banget kan dengan apa yang kita katakan kemarin? Harusnya sekarang kita juga liburan sama dia. Gak cuman berdua aja kaya gini. Jujur, gue ngerasa bersalah aja sama dia."
Santi melempar sendoknya asal. "Kiya lagi Kiya lagi. Apa sih untungnya mikirin dia? Awalnya gue baik-baik aja saat semua orang di sekitar gue lebih peduli sama dia ketimbang gue. Cuma makin kesini rasanya gue udah gak bisa terima aja. Kenapa sih? Selama ini gue Van, gue yang selalu sama lo. Gue yang selalu ngertiin lo. Kenapa lo ngeliat jauh ke sana? Gak bisa ya liat aja yang ada di depan lo sekarang ini?" Santi kesal dan berlalu pergi setelah mengatakan itu.
"San, Santi!" Namun terlambat sudah panggilan itu. Santi sudah tak menggubris apa yang Evan katakan. Santi benar-benar pergi. Mungkin Evan tau bagaimana rasanya jika kehadiranya selama ini tidak di anggap. Seperti Kiya tak pernah melihat perhatian-perhatian kecilnya itu.
Namun ia juga tidak sadar, jika ia telah berlaku demikian dengan Santi. Cukup sabar Santi selama ini. Namun lagi dan lagi Evan masih saja membahas Kiya. Santi tak pernah membenci Kiya sedikitpun, ia hanya kesal kenapa selalu Kiya. Apa Santi iri? Mungkin jawabanya iya. Cukup sudah sikap semua orang yang lebih memilih Kiya ketimbang dirinya. Apa juga kelebihan anak manja itu ketimbang dirinya?
Evan tak mengejar Santi. Karena ia tau Santi sekarang tengah emosi. Biarkan dulu, nanti ketika semuanya sudah mereda, baru bisa dibicarakan lagi baik-baik. Sungguh bukan itu maksunya. Bukan menyakiti hati Santi yang ia maksud. Namun, mungkin ia juga salah dalam hal ini.
...
Email Kafka sungguh membuat Zafran sangat terkejut. Maka tanpa menunggu waktu lama lagi, ia segera memesan tiket ke AS saat itu juga. Ia harus segera sampai agar ia bisa segera tau apa yang sebenarnya terjadi.
Di otaknya berputar dimana Fiya meninggalkannya untuk selama-lamanya. Tanpa disadari, matanya berkaca-kaca sekarang. Benar-benar tak bisa ia bayangkan, jika itu terjadi lagi. Harus berapa kali lagi hal seperti itu ia alami.
Ya tuhan, apa salahku? Kenapa kau buat begini takdir hidupku ini? Sulit diterima. Zafran pergi tanpa membawa apapun selain dompetnya. Tak ada yang bisa di pikirkannya selain harus segera sampai AS hari itu juga. Andai bisa menghilang, mungkin ia juga akan memilih menghilang agar bisa segera sampai. Liburan yang ia pikir akan menyenangkan, justru menjadi sangat menegangkan seperti ini.
...
3 Januari 2021
Wah udah tahun baru aja ternyata?
Update lagi kan?
...
Jangan lupa jejak vote and coment nya ya
KAMU SEDANG MEMBACA
DOSEN IDOLA (END)✅
General Fiction*cerita masih lengkap* Nyatanya yang pergi tak akan kembali dan yang ada tak mesti sama. Ini tentang bertahan, sejauh mana hati dan seisinya bertahan pada situasi yang tak lagi sama. .. Fiy, aku janji tak ada yang lain. (Nalendra Zafran Akhtar) Dia...