Sepeninggalan Kiya, Santi memutuskan untuk mencari Evan. Tak bisa jika situasinya terus seperti ini. Semuanya harus segera di luruskan, agar kecanggungan yang ada juga segera menghilang, agar semuanya juga segera baik-baik saja.
Sebelumnya Santi sudah lebih dulu mengirimkan pesan singkat pada Evan yang menanyakan keberadaan pria itu. Evan yang membalas tak kalah singkatnya itu mengatakan, jika sekarang ia sudah ada di apartemen pribadi miliknya.
Santi pun segera pergi menuju apartemen Evan. Beruntung ia sudah tau dimana apartemen Evan, jadi tak perlu susah-susah juga menanyakan alamatnya lagi. Selain itupun, sebenarnya ini bukan pertama kalinya Santi datang ke apartemen Evan.
Belum lama ini juga ia baru tau, jika ternyata apartemen Evan itu satu komplek dengan apartemen Ridho. Dua orang yang sama-sama patah hati dengan Kiya.
Santi heran saja, kenapa harus Kiya? Rasanya masih banyak orang lain, tapi dua laki-laki terdekatnya itu sama-sama terjebak dengan wanita yang sama.
Santi melajukan mobilnya santai menuju apartemen Evan. Sesekali ia bersenandung mengikuti alunan music yang diputarnya itu. Jalanan juga cukup bersahabat, jadi Santi juga tak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke komplek apartemen Evan.
Tot..to..tok... "Van Gue ni." Teriak Santi dari balik pintu. Entah kenapa ia lebih memilih teriak-teriak seperti itu daripada memencet bel saja. Rasanya, memencet bel itu adalah cara yang lebih efesien daripada harus memanggil secara langsung.
Cukup lama Santi menunggu hingga pintu itu di buka, dan yang pertama ia dapatkan adalah omelan Evan. "Kenapa teriak-teriak gitu sih? Kaya orang kampung aja. Noh, ada bel itu di pake, bukan di anggurin."
Santi yang tak perduli itu langsung nyelonong masuk saja. Melempar tasnya asal, dan melenggang ke dapur untuk mengambil minuman. Karena mendadak tenggorokannya itu kering melihat penampilan Evan yang hanya memakai celana pendek dan tidak memakai baju.
Sepertinya Evan baru selesai mandi, karena rambutnya juga masih basah, dan handuk masih tersampir di pundaknya.
"Main nyelonong aja ni bocah, berasa rumah sendiri." Evan mengikuti Santi setelah menutup kembali pintu apartemennya itu.
"Ish apaan sih Van." Santi mendorong Evan, karena ketika ia selesai mengambil minuman dingin di kulkas dan berbalik, sudah ada Evan di sana dengan posisi yang sangat dekat dengan dirinya. Hampir saja Santi menabrak dada bidang Evan. Santi juga bisa mencium aroma maskulin Evan, khas sekali harumnya itu.
"Kenapa? Takut suka lo sama gue?" Bukannya pergi, Evan justru tetap mempertahankan posisinya itu. Mengunci Santi yang ada di hadapannya.
Santi yang tak kehabisan akal itu langsung menyiram muka Evan sedikit dengan air yang di pegangnya, lalu saat Evan mundur ia bergegas pergi.
Namun sepertinya takdir memang sedang tak berpihak padanya, karena kakinya malah terpeleset dengan air karena ulahnya sendiri itu. Dengan sigap Evan menangkap Santi sebelum wanita itu jatuh ke lantai. "Tuh kan, bilang aja kalo modus." Evan menampilkan senyuman liciknya.
Santi gugup dengan posisinya saat ini. Dengan cepat ia melepas, tangan Evan yang memeganginya. "Apaan sih Van. Oiya, mendingan lo pake baju deh sana. Gue tungguin di depan, kita harus ngomong." Setelah mengucapkan itu, Santi meninggalkan Evan dan pergi ke depan masih dengan minuman dingin di tangannya, yang bahkan airnya tinggal sedikit lagi.
Santi duduk di kursi ruang tamu, masih berusaha menetralkan sesuatu yang berdetak lebih cepat itu. Ia sendiri bingung apa yang terjadi, mustahil jika ini artinya ia menyukai Evan. Itu tidak mungkin. Mengingat ia dan Evan selalu bertengkar, meski hanya adu mulut.
Memang jika di pikir-pikir, hanya Kiya yang selama ini aman-aman saja hubungannya dengan siapapun. Pantas saja jika orang memang banyak yang menyukainya.
Evan datang sudah memakai kaos oblong warna putih yang lumayan longgar. Itu juga sudah bisa membuat santi setidaknya lebih nyaman.
"Kenapa sih San pake bertamu segala gini? Udah mau malem ini loh. Gak tau tugas di kejar deadline juga ini?" Evan duduk di kursi tepat di hadapan Santi.
Lebih tepatnya bukan duduk, karena baru saja ia mendudukan pantatnya, posisinya sudah berubah jadi rebahan sekarang di kursi panjang itu.
"Ini tentang lo, tentang kita. Lebih tepatnya tentang persahabatan kita. Sekarang lo ngehindar kan? Ngapain sih segala ngehindar gitu? Karena lo ngehindari Kiya? Mau sampe kapan Van. Bukan gini caranya." Santi to the poin bicara semuanya. Ia hanya tak ingin ini semua berlarut seperti ini
"Gue harus gimana? Lo enak tinggal ngomong gitu. Lo gak ngerasain apa yang selama ini gue rasain. Sakit San, sakit saat gue liat Kiya sama pak Zafran. Sakit saat gue dengar cerita tentang mereka berdua. Jadi gue pikir, mungkin kaya gini akan lebih baik untuk diri gue sendiri."
Santi menghela napas kasar mendengar jawaban itu. Terus, kalo menurut lo ini baik buat lo, gue gimana? Jujur gue gak terbiasa dengan semua situasi ini. Lo yang mendadak hilang tanpa kabar, Kiya yang sekarang udah mulai sibuk dengan pak Zafran. Gue gimana?"
Santi tertunduk, "Apa memang semakin kita dewasa itu perlahan orang yang ada di sekitar kita juga menjauh?"
Evan bingung harus menjawab apa pertanyaan itu. Namun jika ia terus memikirkan orang lain, lantas siapa yang pada akhirnya memikirkan tentang perasaanya. Sudah cukup bukan selama ini ia memendam seorang diri?
Andai perasaanya ini bisa di ubah begitu saja, ingin ia memilih menyukai Santi saja. Yang lebih peka, lebih perduli. Namun siapa yang tau ini semua? Hatinya memilih Kiya, bukan Santi.
"Gimana Van? Gimana?" Santi mengulangi lagi pertanyaannya.
"Gue juga gak tau San, gue cuman butuh waktu untuk semua ini. Semuanya terlalu cepat, dan kalo lo bilang ini gak mudah buat lo, bukan berarti ini juga mudah buat gue."
Kali ini mereka sama-sama diam, memikirkan bagaimana selanjutnya. Apa ini akhir dari persahabatan mereka? setelah banyak hal yang mereka lalui sama-sama, apa akan berakhir dengan tiba-tiba seperti ini?
"Jadi, lo sekarang maunya gimana?"
"Gue maunya tetap kaya gini. Lo bisa tetep ketemu, tetep ngobrol sama gue seperti biasa. Cuman, kalo lo lagi sama Kiya, gue gak bisa gabung. Gue bukan nyuruh lo buat jauhin dia, gue cuman belum bisa. Hati gue belum terima."
Memang, selama ini, mungkin Santi yang terlalu ambil berat, terlalu memusingkan semuanya. Kiya juga yang tak perduli, lebih tepatnya karena dia tidak peka, jadi terkesan dia tidak perduli dengan hal-hal seperti ini. Bahkan sekarang Evan pun yang pada akhirnya sudah menyerah dan memilih mundur.
Evan ada benarnya, mungkin dari sekarang ia juga harus mulai memikirkan dirinya sendiri. Untuk kedepannya, buat dirinya sendiri tenang dulu. Fokus pada hidupnya, fokus pada apa yang ia jalani sendiri.
...
Hola update lagi nih
22 Desember 2020
...
Jangan lupa jejak vote and coment nya
KAMU SEDANG MEMBACA
DOSEN IDOLA (END)✅
General Fiction*cerita masih lengkap* Nyatanya yang pergi tak akan kembali dan yang ada tak mesti sama. Ini tentang bertahan, sejauh mana hati dan seisinya bertahan pada situasi yang tak lagi sama. .. Fiy, aku janji tak ada yang lain. (Nalendra Zafran Akhtar) Dia...