Ku Panggil Om

1.1K 77 3
                                    

Rak demi rak buku ia lewati, belum ada yang pas di hatinya. Begitu banyak buku yang dipajang, namun tak ada satupun yang membuatnya tertarik. Sudah lebih dari satu jam ia di tempat ini, bahkan mungkin penjaganya pun sudang kenal dengannya. Jika ia sudah ada di tempat ini pasti tak pernah sebentar.

"Udah lama mbak gak kesini?" Itu adalah pertanyaan salah satu penjaga disitu. Yang memang sudah mengenali Kiya, kadang ia juga sering membantu Kiya dalam mencari sesuatu yang dicarinya.

"Eh Do, iya nih akhir-akhir ini emang lagi sibuk banget jadi baru sempet kesini lagi." Kiya tersenyum manis pada Ridho, Ridho adalah teman baiknya di sini. Sudah lama mereka saling mengenal, sejak Kiya sering ke toko buku ini. Ridho juga sudah lama bekerja di sini.

"Aku udah liatin kamu dari tadi. Pasti masih milih ya? Kamu emang kebiasaan banget sih milihnya lama begitu." Ridho memberitahu Kiya jika ia sudah memperhatikanya dari tadi. Makannya sekarang ia memutuskan untuk menghampiri gadis itu.

"Kamu juga dari dulu kebiasaan banget sukanya merhatiin aku." Kiya lantas tertawa setelah mengatakan seperti itu.

Tak berbeda dengan Ridho yang juga langsung ikut tertawa mendengar Kiya tertawa. "Eh Kiy, disini gaboleh rebut loh." Ridho mengingatkan jika disini tak boleh tertawa. Namun ia juga tak henti-hentinnya tertawa.

"Lagian kamu juga siapa suruh ikut ketawa." Kiya menetralkan nafasnya agar tak tertawa lagi.

"Gimana? Hari ini kamu mau cari buku apa? Biar aku bantu cari." Akhirnnya Ridho kembali ke topik awal yang sudah mereka tinggalkan.

"Kalo aku udah tau sih aku gak bakal bingung begini, lagian kamu kan juga tau, aku cuman pengen beli tapi gatau mau beli apa. Ya, cari-cari yang bagus aja lah."

"Iya juga sih, yaudah sini aku kasih rekomendasi. Kamu sukanya novel, aku punya rekomendasi bagus buat kamu." Lalu Ridho menggiring Kiya menuju tempat dimana novel itu disimpan. "Ini Kiy, judulnya Ananta ceritannya bagus banget."

Melihat itu Kiya langsung mengambil diantara semua yang dipajang disitu. "Ini ceritannya tentang apa Do?"

"Yah baca aja lah, dijamin ceritannya bagus deh. Gak bakal ngecewain, kamu tau sendiri kalo rekomendasi dari aku gak pernah ngecewain kan? Intinnya ini tentang perjuangan cinta seseoarng untuk gadis yang disukainnya."

Kedengerannya menarik sih, hargannya juga gak begitu mahal. Boleh deh aku ambil cerita ini." Kiya memasukkan novel itu ke dalam totebag belanjannya.

"Gausah Kiy, ini aku aja yang bayar. Aku pengen kasih kamu hadiah, jadi kalo kamu suka anggap aja ini hadiah buat kamu." Ridho lalu mengambil totebag dari tangan Kiya.

"Lah tapi kan Do, gabisa gitu dong. Kamu kan kerja di sini, gak apa kali aku aja yang bayar. Kamu udah bantuin aku pilih buku juga udah ngebantu banget kok." Kiya tentu saja tak nyaman dengan perlakuan Ridho, rasannya Ridho terlalu baik padannya. Meski mereka kini sudah berteman, tapi ia tak nyaman menerima semua itu.

"Udah Kiy, rezeki gak boleh di tolak. Kali ini aja, aku yang traktir kamu bayarin buku ini." Ridho memohon pada Kiya untuk membayar buku ini. Kiya bisa apa jika sudah seperti itu. Jika ia terus menolak, bisa saja Ridho akan tersinggung karena menolak pemberiannya.

"Yaudah, tapi kali ini aja ya. Aku beneran gak enak aja sama kamu."

Lalu setelahnnya, Ridho mengantar Kiya untuk membayar buku itu. Seelah lama mereka mengantri, akhirnnya selesai juga proses pembayaran itu.

"Makasih ya Do sekali lagi. Lain kali aku bisa bayar sendiri kok." Kiya mengatakan itu sambil tersenyum. "Yaudah Do, kayaknya udah selesai nih, aku balik dulu ya."

"Iya Kiy, hati-hati ya. Santai aja lah, gak usah ngerasa gak enak gitu lah sama aku. Santai aja kali."

Kiya kembali keliling ke tempat apa saja untuk menghabiskan hari itu. Entah ke took sepatu hingga pakaian, dan kebiasaanya dari dulu selalu sama. Ia selalu mencari diskonan. Baginya tak perduli harga, yang penting nyaman dipakai. Lagian, ia memang sudah cantik dari lahir. Jadi, memakai apa saja seperti semuanya sudah pas di badannya.

"Nadhira." Panggil orang di belakang Kiya itu.

Seketika Kiya langsung menegang, ia tau sekali siapa orang itu. Karena yang memanggilnya seperti itu hanya ada satu orang. Lantas gadis itu langsung berbalik. "Pak?"

"Sudah berapa kali saya bilang jangan pernah panggil saya pak? Ini bukan di kampus dan saya bukan bapak kamu." Zafran kembali mengingatkan gadis di hadapannya itu jika ia tak pernah suka dipanggil pak. Rasanya tak enak saja dipanggil begitu, ia hanya ingin lebih dekat dengan gadis itu.

"Yaudah, maaf Om." Satu kata itu yang terlintas di pikirannya saat ini. Tentu saja itu tak juga lebih baik di dengar, bagaimana bisa Zafran dipanggil om.

"Apa taka da panggilan yang lebih baik daripada itu? Sulit sekali rasannya mengajak kamu berbicara."

"Lagian Kiya harus panggil apa, Kiya kan udah terbiasa." Kiya juga tak kalah frustasi. Bagaimana dosenya ini sudah seperti mata-mata baginnya. Selalu ada di mana-mana yang membuatnnya tak nyaman.

"Kita bisa berteman di luar, umur kita tak beda jauh. Bahkan umur saya sama Kafka itu lebih tua Kafka. Kamu jangan panggil saya pak, om, apalagi kakek. Tolong cari pangilan yang sewajarnya."

"Bapak ngikutin saya? Kenapa bapak tiba-tiba ada di sini?" Lantas Kiya mengingat sesuatu. Bagaimana bisa ia selalu bertemu dosennya itu. Tak mungkin bukan jiak semuannya itu karena kebetulan.

"Apa kamu tak suka bertemu saya? Lagian jangan Gr kamu. Liat apa yang saya bawa? Saya sedang membeli hadiah untuk keponakan saya yang lagi ulangtahun hari ini." Begitulah terang Zafran karena Kiya suudzon padannya.

"Ya abisnya, kita terlalu sering bertemu dan mustahil jika itu dibilang kebetulan." Begitulah tutur Kiya yang tak percaya dengan kebeulan yang terlalu sering itu.

"Tapi buktinya lihat apa yang terjadi? Kita kembali bertemu sekarang."

"Yasudah." Begitulah jawab singkat Kiya.

"Nadhira, boleh saya minta tolong sesuatu sama kamu?" Zafran berbicara dengan nada serius kali ini. Tak seperti sebelumnya.

"Minta tolong apa pak?" kembali lagi, kata-kata pak memang mungkin yang paling cocok. Karena nyatannya, berapa kalipun Zafran mengingatkan, tapi pada akhirnya tetap kata itu yang Kiya sebutkan.

Zafran semakin frustasi saja dengan wanita di hadapannya ini. Tapi entah kenapa ia tak pernah bisa marah denganya. "Bisa temani saya ke acara ulangtahun keponakan saya? Please saya gak mungkin sendiri datang kesana." Begitulah bujuknya. Zafran memang tak mungin datang kesana seorang diri. Niat hatinya memang ingin mengajak Kiya, dan tuhan melancarkan niatnya ini dengan mempertemukan mereka disini.

"Tapi pak, apa hubungannya dengan Kiya? Itu kan keponakan bapak. Lagian Kiya siapannya bapak diajak kesana?" Kiya berkata seperti itu bukan tanpa alasan, tentu saja ini aneh. Ia bukan siapa-siapnya Zafran selain hanya dosen dan mahasiswa. Selain itu, ia juga ingat perkataan abangnya itu untuk tak terlalu dekat dengan Zafran. Maka dari itu ia yakin, Kafka pasti punya alasan jika sudah melarangnya seperti itu.

"Ya memang dia keponakan saya, tapi kan gak ada salahnya kamu menemani saya kesana. Saya cuman minta tolong sama kamu, anggap sebagai permintaan maaf saya yang waktu itu, dan saya harap taka da penolakan atas itu. Saya hanya ingin menjalin hubungan baik sama kamu. Jangan setiap bertemu kita selalu bertengkar seperti ini. Keponakan saya pasti senang melihat kamu."

...

@ Nurhidayah202
Follow Ig author.👆

DOSEN IDOLA (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang